
Mbah Lasinah merupakan ‘ketua’ suku tujuh bidadari Nyah Kiok. Ia bergabung menjadi pembatik di rumah batik Nyah Kiok sejak tahun 1970. Seperti Mbah Suti, mereka berdua masih mengingat batik tiga negeri Lasem tempo dulu.
“Obenge (pembatik) Nyah Kiok ya dulu 70 orang, penuh ini tempat. Juga Kakaknya Nyah Kiok namanya Nyah Le, juga 70 orang. Sekarang tinggal tujuh,” ujar Mbah Las Ditimpali oleh Mbah Suti,”yo saiki tinggal pitu, wis tuwo, ono sing ngaleh, ono sing mati.” (Ya sekarang tinggal tujuh, sudah tua, ada yang pindah, ada yang mati) Mbah Las juga menjelaskan bahwa dahulu semua pembatik di Lasem membuat kain tiga negeri, termasuk membuat motif gunung ringgit pring (gunung ringgit bambu).
“Ya dulu semua mbuat gunung ringgit pring, sekarang jarang ya,” ujar Mbah Las.
Lagi-lagi, Mbah Suti turut menimpali pernyataan Mbah Las sambil tetap serius menorehkan cantingnya menggambar motif gunung ringgit: ”mbatik ngene pegaweane wong tuwo, cah enom ra gelem, ora sabar nek nggawe ngene.” (Membatik seperti ini pekerjaannya orang tua, anak muda tidak mau, tidak sabar kalau membuat yang seperti ini)
“Yo iki wonge mung seglintir, sawangane gampang, sepele, tapi suwi pegaweane, mremet nggawe gunung ringgit pring, yo tinggal kene sing nggawe ngene tok,” ujar Mbah Sabariyah (56) menyambung pernyataan Mbah Suti. (Ya ini orangnya tinggal sedikit, kelihatannya mudah, sepele, tetapi pekerjaannya lama, ‘mremet’ detil membuat pusing membuat gunung ringgit bambu, ya tinggal di sini saja yang membuat (motif) ini)
Rumah batik Nyah Kiok merupakan rumah batik milik Hadi Sutjahyo dan Listyorini (Nyah Kiok), setelah sempat dilanjutkan oleh Hartono (keponakan pemiliki), kini perusahaan tersebut dipegang oleh salah satu anak dari Nyah Kiok. Rumah batik ini tidak membuka gerai penjualan batik, melainkan mengirimkan kain batiknya ke luar kota.
Kain batiknya terdiri dari motif sisik atau gunung ringgit, daun pring/bambu, dan tambahan bunga dan kupu-kupu, untuk isiannya ditambahkan motif-motif khas Lasem seperti latohan (rumput laut), ungker, dan nyok (titik-titik).
Bagi tujuh bidadari, motif batik gunung ringgit pring tak diketahui artinya. Mereka mengaku tak pernah mendengar arti dari motif yang mereka torehkan selama berpuluh tahun.
“Ora dicritani, mbatik yo mbatik, gunung ringgit pring nggak tau artine,” ujar Mbah Suti. (Tidak diceritakan, membatik ya membatik, gunung ringgit bambu tak tahu artinya)
Motif gunung ringgit atau sering disebut motif ‘sisik’ di Lasem, dalam khasanah motif dan ragam hias Tionghoa termasuk dalam ragam hias yang disebut ‘lang’ gelombang air yang berbentuk stilistik setengah lingkaran atau tiga perempat lingkaran bersanding secara pararel.
Seperti yang dijelaskan oleh Wolfram Eberhard dalam A Dictionary of Chinese Symbols Hidden Symbols in Chinese Life and Thought (1986) bahwa motif gelombang ini biasa muncul dalam jubah seragam pejabat kekaisaran di Tiongkok pada masa dinasti. Motif ini merupakan representasi ‘laut’ atau ‘gunung’. Pengguna jubah atau pakaian dengan motif ini diharapkan dapat menjadi pejabat penting. Sedangkan motif bambu dalam khasanah motif Tionghoa melambangkan ‘hijau abadi’ serta ‘kekuatan’, bambu merupakan pohon yang tak akan mati sekalipun pada musim dingin.