Nationalgeographic.co.id - Semburat merah muncul tiap kali kuas itu menyapu kain putih. Para pembatik dengan lihai menghindari bagian yang sudah dicanting dengan malam. Mata saya terbelalak ketika melihat motif keseluruhan dari batik yang sedang dicolet—teknik pewarnaan batik dengan kuas—tersebut.
"Ini motif ganja," ujar Pancasunu Puspitosari, wajahnya semringah seakan sudah bisa menebak reaksi saya. Nunu, panggilannya, adalah pemilik Batik Pratiwi Krajan, kelompok kerja batik kontemporer asal Kelurahan Ngelo, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora.
Kain dengan motif yang tidak biasa itu awalnya merupakan pesanan seorang dokter asal Surabaya. Tidak jelas alasan pemilihan motif itu untuk dibuat menjadi batik, namun Nunu menerima pesanan tersebut dengan senang hati. Tidak diduga banyak pula peminatnya, sehingga motif ini tetap diproduksi.
Baca Juga : Atasi Kekumuhan, Warga Desa Doudo Ubah Sampah Jadi Sesuatu yang Bernilai
Tidak sekali ini saja ia menerima pesanan untuk membuat motif-motif tidak biasa di atas jarik batik, yang kemudian diminati oleh banyak orang lain. Sebelumnya ia sempat mendapat pesanan batik bermotifkan gigi dari seorang dokter gigi asal Kalimantan. Kali lain, ada pula yang meminta untuk dibuatkan batik bermotif sate.
Namun sejatinya Batik Pratiwi Krajan terkenal dengan motif yang bernama "Batik Jatiku". Motif ini menggambarkan berbagai bagian dari pohon jati, dari tunas, daun, batang, ranting, sampai kambium—atau lingkaran tahun pada batang yang menunjukkan usia pohon. Jati adalah salah satu komoditas dagang utama di Cepu. "Batik Jatiku" mendapatkan sertifikat hak cipta dari Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual sejak 2016.
Di balik motif-motif tidak biasa nan kreatif ini, ada sosok suami Nunu, Sulasno. Pria yang bekerja sebagai insinyur mesin di sebuah hotel ternama di Cepu ini menjadi otak dari berbagai motif yang pernah diproduksi Batik Pratiwi Krajan. Sudah ada lebih dari 200 motif yang ia hasilkan, termasuk motif yang sudah dipatenkan di atas dan motif pompa angguk kuno atau "pumpjack" yang juga merupakan tengara nol kilometer 'kota minyak' Cepu.
Sulasno mengaku inspirasi mendesain datang dari kegiatannya berjalan keliling kota, belajar motif batik tradisional, dan pakem-pakemnya. Ia tidak menahan diri dalam mengeksplorasi dan memadupadankan motif tradisional dan baru.
"Batik itu fleksibel," tutur Sulasno saat menceritakan kegiatan favoritnya selama lima tahun belakangan ini. Ia bahkan turut mengikuti pelatihan peningkatan kapasitas bersama kelompok Batik Pratiwi Krajan. Terakhir, bersama para pembatik dan Nunu, mereka sempat belajar tentang desain dan isen-isen atau isian di Museum Batik Jogja.
Nunu sendiri jatuh cinta pada batik saat ia belajar menyanting untuk pertama kalinya pada 2012 silam. Kala itu ia bersama para ibu di desanya diundang mengikuti pelatihan membatik yang diadakan di Kelurahan Ngelo.
Baca Juga : Jelang Libur Natal dan Tahun Baru, Pengawasan Keselamatan Penumpang Kapal Kepulauan Seribu Ditingkatkan
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR