Dampak Makan Daging Terhadap Perubahan Iklim, Tidak Seperti yang Dibayangkan?

By National Geographic Indonesia, Minggu, 24 Maret 2019 | 09:05 WIB
(Olha Rohulya/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Ketika dampak perubahan iklim semakin mengkhawatirkan, gerakan mengurangi makan daging menjadi gerakan yang populer. Para aktivis lingkungan mendesak masyarakat untuk mengurangi makan daging untuk menyelamatkan lingkungan. Beberapa aktivis telah menyerukan pemberlakuan pajak atas daging untuk mengurangi konsumsi daging.

Klaim yang mendasari argumen ini menyatakan bahwa secara global, produksi daging menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca dibanding yang dihasilkan seluruh sektor transportasi. Namun, klaim ini terbukti salah, seperti yang akan saya tunjukkan dalam artikel ini. Dan klaim yang salah ini telah menyebabkan asumsi yang salah tentang keterkaitan antara daging dan perubahan iklim.

Baca Juga : 'Meteor' di Langit LA Bikin Panik Masyarakat, Ini Fakta Sebenarnya

Penelitian saya fokus pada cara-cara peternakan mempengaruhi kualitas udara dan perubahan iklim. Dalam pandangan saya, ada banyak alasan untuk memilih protein hewani atau protein nabani. Namun, tidak memilih daging dan produk daging bukanlah ‘obat mujarab’ bagi lingkungan sebagaimana dipercayai para aktivis. Dan jika dilakukan secara ekstrem, itu juga bisa memiliki konsekuensi gizi yang berbahaya.

Apa hubungan antara daging dan gas rumah kaca?

Banyak orang menduga bahwa ternak adalah sumber terbesar gas rumah kaca (GRK) di seluruh dunia. Sebagai contoh, sebuah analisis tahun 2009 yang diterbitkan oleh organisasi Worldwatch Institute yang berbasis di Washington D.C., Amerika Serikat menyatakan bahwa 51% emisi GRK global berasal dari pemeliharaan dan pengolahan ternak.

Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat, sumber terbesar emisi GRK Amerika pada tahun 2016 adalah produksi listrik (28% dari total emisi), transportasi (28%) dan industri (22%). Sektor pertanian secara keseluruhan menyumbang hanya sebesar 9%. Dari sektor peternakan hewan secara keseluruhan menyumbang kurang dari setengah jumlah ini, yaitu 3,9% dari total emisi gas rumah kaca AS. Angka tersebut sangat berbeda dari klaim yang mengatakan ternak memberikan sumbangan GRK lebih banyak dari sektor transportasi.

Mengapa kesalahpahman ini terjadi? Pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menerbitkan sebuah penelitian berjudul “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow),” yang mendapat perhatian luas secara global. Disebutkan bahwa ternak memberikan kontribusi sebesar 18% emisi gas rumah kaca dunia. FAO menarik kesimpulan yang mengejutkan: Peternakan memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam kerusakan lingkungan dibanding semua moda transportasi digabung.

Klaim terakhir ini salah, dan telah dikoreksi oleh Henning Steinfeld, salah seorang penulis senior laporan tersebut. Masalah dari laporan tersebut ada pada metodologi analisis. Analis FAO menggunakan penilaian atas siklus hidup yang komprehensif untuk mempelajari dampak iklim dari ternak, tetapi menggunakan metode yang berbeda ketika mereka menganalisis transportasi.

Baca Juga : Di Vietnam, Daging Tikus Menjadi Makanan Populer yang Digilai

Untuk ternak, mereka mempertimbangkan setiap faktor yang terkait dengan produksi daging. Ini termasuk emisi dari produksi pupuk, mengubah lahan dari hutan menjadi padang rumput, menanam pakan, dan emisi langsung dari hewan (bersendawa dan pupuk kandang) dari lahir hingga mati.

Namun, ketika mereka melihat jejak karbon transportasi, mereka mengabaikan dampak pada iklim proses pembuatan bahan baku dan bagian-bagian kendaraan, perakitan kendaraan dan pemeliharaan jalan, jembatan, dan bandara. Sebaliknya, mereka hanya mempertimbangkan emisi yang dikeluarkan oleh knalpot mobil, truk, kereta api, dan pesawat terbang. Akibatnya, perbandingan FAO tentang emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan dengan sektor transportasi menjadi sangat terdistorsi.