Justru warga Kota Batavia sendiri yang kerap berkelakar dengan menjulukinya si singa itu sebagai “anjing pudel kami”.
Sementara julukan untuk orang-orang Surakarta dan Yogyakarta yang bermukim di Batavia adalah “orang peperut”.
Julukan itu diberikan kepada orang yang gandrung minum-minuman keras, menghisap candu, dan jarang bersembahyang.
Sementara, Sang Raden melanjutkan pemeriannya, orang Slam rajin salat lima waktu dan tak berminat untuk usaha membungakan uang. Mereka membeli rumah dan menyewakannya, mirip orang-orang Arab yang bermukim di kawasan kota lama, demikian menurut kisahnya. Namun, ada hal garib dalam budaya orang Slam. Menurutnya, orang Slam memberikan bayaran untuk segala hal, bahkan membayar orang-orang yang menyalatkan jenazah kerabat mereka.
Baca Juga : Keraton Yogyakarta Terlibat dalam Siasat Menjebak Dipanagara?
Tampaknya berbeda dengan di Jawa, tata administrasi di Batavia sungguh ketat. “Setiap pukul delapan malam diadakan pemeriksaan di jalan-jalan; mereka yang tidak membawa keterangan diri akan ditahan tiga hari,” tulisnya. “Orang yang bepergian lewat pukul tujuh malam dilarang membawa senjata dan barang apapun.”
Sastra Darma juga mengungkapkan lembaga kepolisian di Batavia yang tegas, tanpa pandang bulu. "Semua perkara dan persoalan diselesaikan dengan cepat dan tidak memungut bayaran sama sekali," ungkapnya. "Demikian berlaku untuk segala bangsa."