Perjumpaan di Stasiun Kereta Listrik Pertama Hindia Belanda

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 30 Maret 2019 | 19:22 WIB
Pintu masuk utama Stasiun Tanjungpriuk. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Mungkin saat itu para kolonialis telah memiliki pandangan jauh ke depan, setidaknya pembangunan angkutan kereta api di Hindia Belanda sangat menguntungkan secara ekonomi. “Jadi pemerintah kolonial sudah berpikir bagaimana pengangkutan murah, efektif, dan bisa melibatkan banyak sekali sistem lain yang akan tentunya membuka lapangan pekerjaan baru,” ujarnya. “Itu Fakta!”

Ada delapan peron lengkap dengan pagar pembatas semasa. Stasiun Tanjungpriuk setiap hari melayani enam kali perjalanan ke Stasiun Jakarta Kota. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)

 

Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van De Beele melakukan pencangkulan pertama untuk pembangunan rel kereta api rute Kemijen–Tanggung. Pembangunan rel ini mendapat pengawasan dari J.P. de Bordes dari Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).  Akhirnya, NISM meresmikan jalur kereta api Semarang–Tanggung sejauh 25 kilometer pada 10 Agustus 1867. Inilah peristiwa bersejarah ketika untuk pertama kalinya roda-roda kereta uap menggelinding di Hindia Belanda.

“Jadi pemerintah kolonial sudah berpikir bagaimana pengangkutan murah, efektif, dan bisa melibatkan banyak sekali sistem lain yang akan tentunya membuka lapangan pekerjaan baru,” ujarnya. “Itu Fakta!”

Namun, penawaran investasi kepada pihak swasta ternyata berakhir dengan kerugian pihak swasta, ujar Rusdhy. NISM tak kuasa menanggung semuanya. Tampaknya investasi di Hindia Belanda tidak selalu mulus seperti di Eropa. Akhirnya, pemerintah membuat sendiri Staatsspoorwegen untuk kepentingan penanganan masalah keamanan dan pertahanan—termasuk untuk memadamklan pemberontakan.

“Mengangkut tentara itu paling efektif dengan kereta api,” ujarnya. “Makanya, kalau di Jawa utamanya untuk ekonomi, pertanian, dan perdagangan, di Sumatra kereta api betul-betul untuk perlawanan terhadap para perusuh.”

Arus modal telah membuat wajah Hindia Belanda berubah. Investor besar membangun jalan kereta api, sementara investor lain membangun trem. Rusdhy mengingatkan bahwa  kereta api dan trem  mempekerjakan buruh yang begitu banyak di berbagai bidang. Kereta api menjelma sebagai salah sektor angkutan padat karya.

“Di negeri mana pun organisasi buruh rawan terlibat masalah politik,” ujarnya. “PKI lahirnya dari organisasi buruh kereta api dan trem di Semarang.”

Tangga melingkar yang menghubungkan lantai dasar, yang kini telah terendam air laut, hingga lantai di atap Stasiun Tanjungpriuk. Tangga ini digunakan oleh awak stasiun, bukan oleh penumpang kereta. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Kenapa sejarah kereta api begitu penting?” Rusdhy kembali menyodorkan pertanyaan retoris. “Karena cara memaknainya itulah letak pentingnya.” Kemudian dia menambahkan, “Masa kereta api uap sudah terbukti bahwasanya kereta api itu menguntungkan, terutama bagi rakyat kecil.”

Rusdhy menunjuk atap Stasiun Tanjungpriuk yang melengkung megah. Kendati pembangunannya bersamaan dengan kecamuk Perang Dunia Pertama di Eropa, seluruh rangka besi dan porselennya diimpor dari Eropa. Pagar-pagar yang membatasi kawasan peron pun masih orisinal.

"Jadi saya pikir," ujarnya, "menapaki masa lalu itu sungguh penting. Hanya mereka yang bisa memahami masa lalu, yang akan meraih masa depan!" Menurutnya, masa lalu turut menjadi bagian budaya kita, sehingga berbanggalah kita sebagai manusia Indonesia yang masih memiliki budaya. "Seyogyianya, perhatian kita ke masa-masa yang akan datang,  jangan sampai menghapus sejarah."

Di atap stasiun, para pejalan bisa berfoto dengan latar belakang peti-peti kemas di Pelabuhan Tanjungpriuk. Pada awalnya, stasiun ini dibangun karena kesibukan pelabuhan. Namun, lantaran kini akses ke pelabuhan dapat ditempuh dengan berbagai moda angkutan, stasiun ini seolah tenggelam dalam gelumat kota. (Mahandis Yoanata Thamrin)