Perjumpaan di Stasiun Kereta Listrik Pertama Hindia Belanda

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 30 Maret 2019 | 19:22 WIB
Pintu masuk utama Stasiun Tanjungpriuk. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id— “Ini adalah foto kedatangan rombongan Jenderal Soedirman dalam kaitannya pasca-Perundingan Linggarjati,” ujar Rusdhy Hoesein menunjuk sebuah foto yang dipamerkan di aula utama Stasiun Tanjungpriuk. “Jenderal Soedirman didampingi Mayor Jenderal Abdulkadir tiba di Stasiun Manggarai pada bulan November 1946.”

Dia melanjutkan bercerita, kedatangan mereka berkaitan dengan konferensi garis pertahanan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Jadi, imbuhnya, ketika Jakarta diduduki oleh Sekutu, kemudian oleh Belanda, banyak orang Republik yang terjebak. Mereka tidak sudi untuk berada di wilayah pendudukan Belanda.

“Bagaimana mereka diangkut ke dalam Republik?” tanyanya dengan gaya retorik. “Diangkut kereta api atas biaya pemerintah—tidak bayar!”

Rusdhy menarasikan sederet foto-foto terkait kereta pada masa revolusi Indonesia. Jelang Pertempuran 10 November, ujarnya sambil menunjuk sebingkai foto, banyak sekali pejuang yang datang dari luar Surabaya. Mereka menunggu di stasiun-stasiun di jawa Timur untuk diangkut ke Surabaya.

Foto lain bercerita tentang masa Bersiap, ketika Republik Indonesia bekerja sama dengan serdadu Sekutu untuk mengangkut tentara Jepang pulang ke negerinya pada April 1946. Tampak Tentara Keamanan Rakyat turut berjaga-jaga.

Pintu masuk utama menampilkan semangat arsitektur awal abad ke-20, yang menjargonkan keserhanaan sebagai jalan terdekat menuju keindahan. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Bagaimana mereka diangkut ke dalam Republik?” tanyanya dengan gaya retorik. “Diangkut kereta api atas biaya pemerintah—tidak bayar!”

Rusdhy, yang kerap berompi, dikenal sebagai dokter dan sejarawan. Siang itu dia menjelaskan tentang foto-foto yang dipamerkan dalam "Pesta Peron Stasiun Tanjung Priok 2016” yang digelar oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) pada pertengahan November. Acara ini dihadiri oleh komunitas pencinta sejarah dan pencinta kereta. 

Keberadaan stasiun ini tidak terlepas dari lokasi Pelabuhan Tanjungpriuk sebagai pintu gerbang Kota Batavia pada akhir abad ke-19. Stasiun yang kami kunjungi ini mulai dibangun dalam pemerintahan Gubernur Jendral Alexander Willem Frederik Idenburg  pada 1914. Bersamaan dengan perayaan setengah abad Staatsspoorwegen beroperasi di Hindia Belanda pada 6 April 1925, stasiun ini pun diresmikan. Sang arsitek, C.W. Koch, menampilkan semangat rasionalisme dalam balutan selimut art-deco nan megah. Inilah tengara arsitektur awal abad ke-20.

Rusdhy Hoesein, seorang dokter dan sejarawan, tengah menarasikan foto-foto peristiwa yang terkait kereta api pada awal kemerdekaan Republik ini. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)

 
Namun, kabarnya, bangunan itu menggantikan stasiun lama yang dibangun pada 1885. Tapak stasiun lama itu berada di sisi utara Stasiun Tanjungpriuk yang sekarang. Alasan utama pembangunan stasiun baru adalah kepadatan penumpang dan kesibukan bongkar muat pelabuhan yang kian meningkat hingga awal abad baru.

Stasiun Tanjungpriuk merupakan stasiun pertama yang melayani kereta listrik. Saat peresmiannya, lokomotif listrik ESS-3200 melaju dengan kereta penumpang yang menempuh rute Tanjungpriuk-Meester Cornelis. Ada dua rute utama, lewat Kemayoran dan lewat Koningsplein—sekarang kawasan Istana Merdeka.

Boleh dikata, inilah stasiun pertama yang melayani kereta listrik yang menjadi cikal bakal Commuterline kebanggaan warga Jakarta dan sekitarnya pada saat ini. Lewat penelusuran sejarah, apakah kita akan merayakaan Hari Kereta Listrik setiap April?  

 

Di depan enam jalur rel, saya kembali menjumpai Rusdhy. Saya menunjuk tulisan di topi yang dikenakannya sambil berujar, "No History No Future". Saya bertanya kepadanya, "Apa sih yang bisa kita pelajari dari sejarah kereta api di Indonesia?"

Dia tersenyum, lalu menjawab pertanyaan saya. Di Asia, ujarnya, sejarah kereta api Indonesia memiliki riwayat tertua setelah India. Tampaknya, semasa kolonial pun orang sudah berpikir bahwa pada suatu hari jalan raya tidak akan mampu menampung begitu banyaknya kendaraan.

Mungkin saat itu para kolonialis telah memiliki pandangan jauh ke depan, setidaknya pembangunan angkutan kereta api di Hindia Belanda sangat menguntungkan secara ekonomi. “Jadi pemerintah kolonial sudah berpikir bagaimana pengangkutan murah, efektif, dan bisa melibatkan banyak sekali sistem lain yang akan tentunya membuka lapangan pekerjaan baru,” ujarnya. “Itu Fakta!”

Ada delapan peron lengkap dengan pagar pembatas semasa. Stasiun Tanjungpriuk setiap hari melayani enam kali perjalanan ke Stasiun Jakarta Kota. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)

 

Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van De Beele melakukan pencangkulan pertama untuk pembangunan rel kereta api rute Kemijen–Tanggung. Pembangunan rel ini mendapat pengawasan dari J.P. de Bordes dari Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).  Akhirnya, NISM meresmikan jalur kereta api Semarang–Tanggung sejauh 25 kilometer pada 10 Agustus 1867. Inilah peristiwa bersejarah ketika untuk pertama kalinya roda-roda kereta uap menggelinding di Hindia Belanda.

“Jadi pemerintah kolonial sudah berpikir bagaimana pengangkutan murah, efektif, dan bisa melibatkan banyak sekali sistem lain yang akan tentunya membuka lapangan pekerjaan baru,” ujarnya. “Itu Fakta!”

Namun, penawaran investasi kepada pihak swasta ternyata berakhir dengan kerugian pihak swasta, ujar Rusdhy. NISM tak kuasa menanggung semuanya. Tampaknya investasi di Hindia Belanda tidak selalu mulus seperti di Eropa. Akhirnya, pemerintah membuat sendiri Staatsspoorwegen untuk kepentingan penanganan masalah keamanan dan pertahanan—termasuk untuk memadamklan pemberontakan.

“Mengangkut tentara itu paling efektif dengan kereta api,” ujarnya. “Makanya, kalau di Jawa utamanya untuk ekonomi, pertanian, dan perdagangan, di Sumatra kereta api betul-betul untuk perlawanan terhadap para perusuh.”

Arus modal telah membuat wajah Hindia Belanda berubah. Investor besar membangun jalan kereta api, sementara investor lain membangun trem. Rusdhy mengingatkan bahwa  kereta api dan trem  mempekerjakan buruh yang begitu banyak di berbagai bidang. Kereta api menjelma sebagai salah sektor angkutan padat karya.

“Di negeri mana pun organisasi buruh rawan terlibat masalah politik,” ujarnya. “PKI lahirnya dari organisasi buruh kereta api dan trem di Semarang.”

Tangga melingkar yang menghubungkan lantai dasar, yang kini telah terendam air laut, hingga lantai di atap Stasiun Tanjungpriuk. Tangga ini digunakan oleh awak stasiun, bukan oleh penumpang kereta. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Kenapa sejarah kereta api begitu penting?” Rusdhy kembali menyodorkan pertanyaan retoris. “Karena cara memaknainya itulah letak pentingnya.” Kemudian dia menambahkan, “Masa kereta api uap sudah terbukti bahwasanya kereta api itu menguntungkan, terutama bagi rakyat kecil.”

Rusdhy menunjuk atap Stasiun Tanjungpriuk yang melengkung megah. Kendati pembangunannya bersamaan dengan kecamuk Perang Dunia Pertama di Eropa, seluruh rangka besi dan porselennya diimpor dari Eropa. Pagar-pagar yang membatasi kawasan peron pun masih orisinal.

"Jadi saya pikir," ujarnya, "menapaki masa lalu itu sungguh penting. Hanya mereka yang bisa memahami masa lalu, yang akan meraih masa depan!" Menurutnya, masa lalu turut menjadi bagian budaya kita, sehingga berbanggalah kita sebagai manusia Indonesia yang masih memiliki budaya. "Seyogyianya, perhatian kita ke masa-masa yang akan datang,  jangan sampai menghapus sejarah."

Di atap stasiun, para pejalan bisa berfoto dengan latar belakang peti-peti kemas di Pelabuhan Tanjungpriuk. Pada awalnya, stasiun ini dibangun karena kesibukan pelabuhan. Namun, lantaran kini akses ke pelabuhan dapat ditempuh dengan berbagai moda angkutan, stasiun ini seolah tenggelam dalam gelumat kota. (Mahandis Yoanata Thamrin)
 

Kami memasuki aula berlangit-langit tinggi, yang dihubungkan oleh beberapa pintu. Ruangan ini memiliki semacam meja resepsionis layaknya hotel. Di sebelahnya terdapat ruangan lagi dengan pilar-pilar. Setiap sisi pilarnya tertambat meja gantung, mungkin digunakan untuk menulis berkas pendek.  

Selain sebagai stasiun kereta, dahulu bangunan ini juga merangkap sebagai penginapan. Setelah lelah mengarungi samudra, para pejalan bisa beristirahat di penginapan Stasiun Tanjungpriuk sembari menanti keberangkatan mereka ke Stasiun Bogor, atau tujuan lain. Sederet kamar penginapan berlokasi di lorong kantai kedua pada sayap barat stasiun, hingga kini masih lestari. Deretan kamar itu dihubungkan oleh dua anak tangga di setiap ujungnya.

Kami memasuki kamar kecil yang terletak di balik aula tadi. Tiga urinoar porselen putih berlabel “R.S.Stokvis & Zonen – Rotterdam” warna biru masih memukau perhatian. Bisnis perusahaan yang didirikan Rafael Samuel Stokvis ini sohor melayani kebutuhan kendaraan bermotor, sepeda, hingga urusan peturasan.

“Budaya keramik ini pernah menyemarakkan pembangunan Kota Jakarta,” ujar Rusdhy sambil menunjuk lantai kamar kecil yang menampilkan paduan pola nan indah. "Gaya-gaya seperti inilah yang mewakili awal abad ke-20."

Sejak bersolek kembali sejak pascarevitaslisasi pada 2009, stasiun ini menerbitkan minat penghobi fotografi (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

"Jadi saya pikir," ujarnya, "menapaki masa lalu itu sungguh penting. Hanya mereka yang bisa memahami masa lalu, yang akan meraih masa depan!"

Di atap Stasiun Tanjungpriuk, saya memandangi kesibukan derek yang memindahkan peti kemas di pelabuhan. Kesibukan yang pernah menandai kemunculan stasiun ini pada abad akhir ke-19. 

Kita telah berkereta satu setengah abad. Apa yang bisa kita petik dari riwayat kereta api untuk masa depan Indonesia? Saya teringat perkataan Rusdhy bahwa andaikata perkerataapian di Indonesia bisa dibangun hingga sepuluh tahun mendatang, kelak hasilnya sangat berdampak pada kemajuan transportasi di Indonesia.

Pintu masuk utama Stasiun Tanjungpriuk, yang menghadap ke terminal bus dan angkutan kota lainnya. Satu-satunya kawasan di Jakarta yang menautkan angkutan kapal, kendaraan bermotor, dan kereta api! Kendati telah satu setengah abad melenggak-lenggok di Indonesia, peran kereta masih aktual sebagai moda angkutan kota dan antarkota. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kereta boleh jadi transportasi paling murah. Sekarang, kereta api lebih sehat dan aman ketimbang kereta pada satu dekade silam. Stasiun-stasiun juga bersolek sehingga membuat nyaman penumpang, kendati belum semuanya bisa dikategorikan nyaman. Tampaknya, ada penanda peradaban baru dalam berkereta listrik di Indonesia: tersedianya tempat duduk prioritas bagi penumpang berkebutuhan khusus dan tak ada lagi penumpang di atap kereta. Untuk segelintir persoalan di metropolitan, tampaknya kereta telah mengubah budaya transportasi kita. 

Salah satu upaya membangkitkan kembali semangat berkereta sebagai solusi transportasi zaman kini, menurut Rusdhy, adalah merevitalisasi aset-aset kereta api kita. Upaya utamanya, meruwat jalur-jalur rel kereta yang hilang di Jawa, Madura, Sumatra, dan Sulawesi. Mungkin, panjang rel yang tak lagi digunakan, atau bahkan hilang, mencapai ribuan kilometer.

“Dulu di Madura ada kereta api, di Sulawesi ada kereta api, kenapa sekarang hilang?” Kemudian Rusdhy  menandaskan, “Jadi bangsa kita, abis menjebol, lupa membangun!”

Langit-langit peron nan megah di Stasiun Tanjungpriuk, yang dibangun 1914-1925. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)