Perjumpaan di Stasiun Kereta Listrik Pertama Hindia Belanda

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 30 Maret 2019 | 19:22 WIB
Pintu masuk utama Stasiun Tanjungpriuk. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kami memasuki aula berlangit-langit tinggi, yang dihubungkan oleh beberapa pintu. Ruangan ini memiliki semacam meja resepsionis layaknya hotel. Di sebelahnya terdapat ruangan lagi dengan pilar-pilar. Setiap sisi pilarnya tertambat meja gantung, mungkin digunakan untuk menulis berkas pendek.  

Selain sebagai stasiun kereta, dahulu bangunan ini juga merangkap sebagai penginapan. Setelah lelah mengarungi samudra, para pejalan bisa beristirahat di penginapan Stasiun Tanjungpriuk sembari menanti keberangkatan mereka ke Stasiun Bogor, atau tujuan lain. Sederet kamar penginapan berlokasi di lorong kantai kedua pada sayap barat stasiun, hingga kini masih lestari. Deretan kamar itu dihubungkan oleh dua anak tangga di setiap ujungnya.

Kami memasuki kamar kecil yang terletak di balik aula tadi. Tiga urinoar porselen putih berlabel “R.S.Stokvis & Zonen – Rotterdam” warna biru masih memukau perhatian. Bisnis perusahaan yang didirikan Rafael Samuel Stokvis ini sohor melayani kebutuhan kendaraan bermotor, sepeda, hingga urusan peturasan.

“Budaya keramik ini pernah menyemarakkan pembangunan Kota Jakarta,” ujar Rusdhy sambil menunjuk lantai kamar kecil yang menampilkan paduan pola nan indah. "Gaya-gaya seperti inilah yang mewakili awal abad ke-20."

Sejak bersolek kembali sejak pascarevitaslisasi pada 2009, stasiun ini menerbitkan minat penghobi fotografi (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

"Jadi saya pikir," ujarnya, "menapaki masa lalu itu sungguh penting. Hanya mereka yang bisa memahami masa lalu, yang akan meraih masa depan!"

Di atap Stasiun Tanjungpriuk, saya memandangi kesibukan derek yang memindahkan peti kemas di pelabuhan. Kesibukan yang pernah menandai kemunculan stasiun ini pada abad akhir ke-19. 

Kita telah berkereta satu setengah abad. Apa yang bisa kita petik dari riwayat kereta api untuk masa depan Indonesia? Saya teringat perkataan Rusdhy bahwa andaikata perkerataapian di Indonesia bisa dibangun hingga sepuluh tahun mendatang, kelak hasilnya sangat berdampak pada kemajuan transportasi di Indonesia.

Pintu masuk utama Stasiun Tanjungpriuk, yang menghadap ke terminal bus dan angkutan kota lainnya. Satu-satunya kawasan di Jakarta yang menautkan angkutan kapal, kendaraan bermotor, dan kereta api! Kendati telah satu setengah abad melenggak-lenggok di Indonesia, peran kereta masih aktual sebagai moda angkutan kota dan antarkota. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kereta boleh jadi transportasi paling murah. Sekarang, kereta api lebih sehat dan aman ketimbang kereta pada satu dekade silam. Stasiun-stasiun juga bersolek sehingga membuat nyaman penumpang, kendati belum semuanya bisa dikategorikan nyaman. Tampaknya, ada penanda peradaban baru dalam berkereta listrik di Indonesia: tersedianya tempat duduk prioritas bagi penumpang berkebutuhan khusus dan tak ada lagi penumpang di atap kereta. Untuk segelintir persoalan di metropolitan, tampaknya kereta telah mengubah budaya transportasi kita. 

Salah satu upaya membangkitkan kembali semangat berkereta sebagai solusi transportasi zaman kini, menurut Rusdhy, adalah merevitalisasi aset-aset kereta api kita. Upaya utamanya, meruwat jalur-jalur rel kereta yang hilang di Jawa, Madura, Sumatra, dan Sulawesi. Mungkin, panjang rel yang tak lagi digunakan, atau bahkan hilang, mencapai ribuan kilometer.

“Dulu di Madura ada kereta api, di Sulawesi ada kereta api, kenapa sekarang hilang?” Kemudian Rusdhy  menandaskan, “Jadi bangsa kita, abis menjebol, lupa membangun!”

Langit-langit peron nan megah di Stasiun Tanjungpriuk, yang dibangun 1914-1925. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)