Hikayat Toleransi: Mengenal Tasamuh di Ponpes Al Hidayat Lasem

By Agni Malagina, Kamis, 6 Juni 2019 | 07:00 WIB
Warga Muslim Lasem mengunjungi sebuah festival budaya di pecinan setempat. Simbol budaya Cina telah melebur dengan kebudayaan di kota pesisir utara Jawa itu. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

“Mbah Ma’shoem segera mengumpulkan keluarganya dan menyatakan ingin membangun pondok dan mushala, namun tidak memiliki uang. Saat itu Mbah Fatimah memberikan gelang dan kalungnya. Tahun 1916 mulai membangun, namun pengelolaan terstruktur mulai tahun 1918,” ujar Gus Affan yang menjelaskan bahwa Mbah Fatimah adalah ibunda dari Nyai Maria Ulfa.

Gus Affan dan Nyai Ulfa kompak pun memperkenalkan pribadi Mbah Ma’shoem yang berpegang teguh pada toleransi dan tenggang rasa, teguh pada Al Qur’an dan Taqrib.

“Mbah Ma’shoem mengatakan bahwa Thariqah atau amalan beliau adalah Hubbul Fuqara al Masakin mencintai fakir miskin,” ujar Gus Affan. Semasa hidup beliau seperti yang diceritakan oleh Gus Affan bahwa Mbah Ma’shoem sangat mengasihi fakir miskin. Demikian juga keturunan beliau, termasuk Mbah Azizah yang baru saja meninggal pada bulan Desember 2017 di usia yang ke 93.

“Mbah Zah itu persis Mbah Ma’shoem, tak pernah membedakan santri, supir, siapapun beliau anggap setara, seperti anak. Mbah Zah menyayangi fakir miskin,” Nyai Maria Ulfa. Diceritakan bahwa Mbah Mashoem pernah menjabat sebagai anggota MPR/DPR.

“Dulu pondok ini ada gerbang tinggi, seperti rumah-rumah tetangga pecinan. Tiap habis gajian, belum masuk pagar, sudah habis gajinya Mbah Ma'shoem untuk fakir miskin,” ujar Gus Affan sambil melanjutkan memperkenalkan kebiasaan Mbah Ma’shoem mengajak putra putri dan cucunya berkunjung ke tetangganya yang berbeda agama dan etnis, hanya sekedar menyapa, bermain bulutangkis, atau menginap di rumah kawannya yang berbeda etnis.

“Pernah Mbah Ma’shoem berpesan pada Mukti Ali, mantan Menteri Agama yang juga alumni Al Hidayat. Pesannya terkenal. Begini. Kamu tidak boleh membenci NU, kamu tidak boleh membenci Muhammadiyah, kamu tidak boleh membenci PNI, kamu tidak boleh membeda-bedakan etnis tertentu. Kamu harus berada di tengah-tengah, kamu kamu wakil dari negara yang bisa mengayomi masyarakat. Itu pesan terkenal sekali,” ujar Gus Affan.

Sepanjang kegiatan di Ndalem (rumah) Kasepuhan terasa cair dan menyenangkan. Mahasiswa Rotterdam dibantu penerjemah menyimak penjelasan para pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayat yang memiliki 200an santri putra dan santri putri serta memiliki dasar ajarang yaitu Akhlak Mendahului Ilmu. “Siswa harus memiliki akhlak dahulu untuk kemudian diisi ilmu,” ujar Gus Affan.

Timon pun bereaksi memberi tanggapan,”I do think it is beautiful that people here ini Lasem behave on a way. You teach them the way you should behave and the way should act and that is the whole system works in Lasem. This is something beautiful the world can learn from.” Teman-temannya pun turut menanggapi bahwa selama ini mereka mengetahui bahwa Islam identik dengan kata radikal, Timur Tengah dan perang atau bahkan tindakan ekstrim.

We learn something today, people in Lasem living in harmony,” ujar Kusumaningdyah pada mahasiswanya.

Gus Affan dan Nyai Ulfa tersenyum lalu mempersilakan kami semua memakan kudapan kripik dan kue kering yang ada di dalam toples. “Toples ini tradisi, harus selalu terisi, harus segera dihabisi,” ujar Nyai Ulfa menebar senyum lebar. Kami gerak cepat membuka toples tanpa minta ijin terlebih dahulu. Sangat menyenangkan kegiatan di Ndalem Al Hidayat sore itu. Sebelum Gus Affan menutup penjelasannya tentang Al Hidayat, beliau menyampaikan beberapa pesan.

“Kami ingin memberikan gambaran bahwa pesantren tidak eksklusif, pesantren ini terbuka bagi siapa saja yang mau belajar. Dari pesantren kita menyuarakan hal-hal yang bersifat kasih sayang, kedamaian, akhlak yang baik dan Islam membawa rahmah pada seluruh alam semesta. Harmoni di Lasem, juga ada dalam batik tiga negeri, harmoni hidupnya etnis Jawa, Arab, Cina,” ujar Gus Affan menutup penjelasannya.

Gus Dowi dan Ning Bela kemudian mengajak kami semua melihat-lihat Ndalem Kasepuhan. Menunjukkan tempat Mbah Ma’shoem selalu berbaring dan beristirahat bahkan saat kelelahan Mbah Ma’shoem tidak pernah menolak tamu datang. Mereka juga memperlihatkan sebuah lemari kaca yang berisi bungkusan gula pasir.