Hikayat Toleransi: Mengenal Tasamuh di Ponpes Al Hidayat Lasem

By Agni Malagina, Kamis, 6 Juni 2019 | 07:00 WIB
Warga Muslim Lasem mengunjungi sebuah festival budaya di pecinan setempat. Simbol budaya Cina telah melebur dengan kebudayaan di kota pesisir utara Jawa itu. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Lasem, Kota Santri di Kabupaten Rembang. Tak ada yang dapat menyangkal. Salah satu kota tua di Nusantara dengan sejarah panjangnya dan kebudayaan berlapis (Jawa, Hindu, Budha, Arab, Cina, Eropa)  ini merupakan basis penyebaran Islam di Jawa. Lasem juga merupakan kota tempat ulama serta tokoh-tokoh mahsyur  berasal seperti Mbah Sambu (Sayyid Abdurrohman), Mbah Baidlowi, Mbah Srimpet (R.M. Tejokusumo I) dan lainnya. Nama besar Sunan Bonang juga menjadi ikon di Lasem dengan adanya situs Pasujudan Sunan Bonang dan Makam Putri Cempo serta Masjid Sunan Bonang. Selain itu, Masjid Jami Lasem merupakan salah satu masjid potensial cagar budaya yang dibangun pada tahun 1588 oleh Adipati Tejokusumo I. Bangunan ini memiliki Mustaka (cungkup) Masjid yang terbuat dari terakota bermotif salah satu dewa dalam agama Hindu dan ragam hias lainnya, saat ini disimpan di Perpustakaan Masjid Jami Lasem.

Kota yang dikenal sebagai Kota Batik dan Tiongkok Kecil sejak awal abad 20 seperti yang terdapat dalam berbagai sumber seperti yang ditulis oleh C.T.H Van Deventer (Overzicht van den Economischen toestand der Inlandsche Bevolking Java en Madorea, 1904, Kota Batik), De KAT Angelino (Batikrapport, 1930, Kota Batik), Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa (1944, Tiongkok Kecil), Claudine Salmon (Chinese Ephigraphic Materials in Indonesia, 1988, Tiongkok Kecil) ini memiliki beberapa pondok yang sudah berabad lamanya berdiri di Lasem, mulai dari Pesantren Puri Kawak (tilas pondoknya telah berganti nama), An Nurriyah, Al Hidayat dan masih banyak lagi.

Pemandangan sehari-hari, kiai dan santri tak terkecuali bergiat di pondoknya dan lingkungan sekitar dengan semangat tenggang rasa yang tinggi, saling menghargai dan menghormati sesama penduduk. Kepada pendatang atau pejalan (sering disebut wisatawan) biasa, masyarakat pondok pesantren sangat terbuka dan menyambut hangat.

Baca juga: Nyah Kiok dan Tujuh Bidadari Lasem, Kisah Batik Tiga Negeri Pantura

Tahun 2018 lalu merupakan tahun tepat satu abad Pondok Pesantren Al Hidayat. Salah satu pondok pesantren tertua di Lasem yang didirikan oleh Mbah Ma'shoem mulai tahun 1916 namun resmi beroperasi sebagai pondok pesantren pada tahun 1918. Gaung satu abad Al Hidayat membawa semangat toleransi dari Lasem untuk Indonesia.

Saya dan Kusumaningdyah N.H., pengajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta beberapa mahasiswanya mengikuti kegiatan komunitas yang diberi judul Hikayat Toleransi. Kusumaningdyah juga kepala Urban Rural Design and Conservation Laboratorium (URDC Labo) di universitasnya yang bergiat meneliti tentang Rumah Batik sebagai Home Based Industries Kluster Pecinan (salah satu kawasan yang ia sebut 'Kampung Pusaka Lasem') di Lasem hampir selama empat tahun belakangan. Sebuah perjalanan bersama para cucu buyut Mbah Ma'shoem yang memperkenalkan nilai-nilai ajaran Mbah Ma'shoem dan perkembangan Islam di Lasem dengan cara yang menyenangkan bagi orang awam dan berbeda religi.

Selain bersama mahasiswa UNS, Kusumaningdyah hari itu datang juga bersama empat mahasiswa dari Universitas Rotterdam Belanda Martijn Hereijgers, Timon Jurisic, Charlote Ross, dan Julia Van Der Leer. Keempat mahasiswa asing ini tampak antusias mengikuti perjalanan dengan rute Pondok Pesantren Al Hidayat, Masjid Jami Lasem, Kampung Kauman dan Pondok Pesantren Kauman yang ditemani oleh Dzurriyyah (keturunan) Al Hidayat  Shahnaz Nabila (28) dan Baidowi Joyotirto (24) atau yang akrab dipanggil Ning Bela dan Gus Dowi.

Kami duduk di ruang Rumah Kasepuhan Al Hidayat. Disambut hangat oleh Gus Affan (Affan Martadi) dan istri beliau, Nyai Hj Maria Ulfa – cucu Mbah Ma’shoem. Banyak hal yang disampaikan Gus Affan mengenai asal mula pondok yang dibangun oleh salah satu pendiri Nahdatul Ulama tersebut. Menurut Gus Affan dan Nyai Maria Ulfa, asal mula Mbah Ma’shoem membangun pondok karena Mbah Mashoem bermimpi dikunjungi Rasulullah sebanyak tujuh kali dengan pesan “kamu segera mengajar.”

Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang BudayaJilid 2, menuliskan bahwa Mbah Ma’shoem yang memiliki nama muda Muhammadun belajar mengaji dari ayahandanya Kiai Haji Achmad Abdulkarim. Muhammadun muda mengembara mondokdi beberapa tempat yaitu Pondok Mlonggo (dekat Jepara), Pondok Sarang (Kragan), Pondok Kajen (di sebelah timur Gunung Muria) Pondok Jamsaren di dekat Solo, dan pondok di Bangkalan Madura yang dipimpin oleh Kiai Cholil. Selesai mondok, Muhammadun muda kembali ke Lasem dan menikah, memiliki 13 orang anak. Pendamping beliau dikenal dengan nama Mbah Nuriyah.

Muhammadun kemudian berniaga sesekali memberi pelajaran di beberapa pondok pesantren. Suatu malam di Tebu Ireng, Muhammadun muda bermimpi dikunjungi Nabi Muhammad yang memerintahkannya untuk menghentikan perniagaan dan mengajar. Maka, beliau segera kembali ke Lasem. Demikian juga hal yang dikisahkan dalam Manaqib Mbah Ma’shoem yang terbit pada tahun 1972, tahun yang sama ketika Mbah Ma’shoem wafat. Putra-putri dan cucu-cucu beliau pun menjadi tokoh-tokoh Islam ternama di Pulau Jawa.

Baca juga: Mereka yang Tak Pernah Lelah Mempertahankan Batik Tiga Negeri Lasem

Gus Affan dan Nyai Maria Ulfa memberikan penjelasan mengenai seluk beluk Pondok Pesantren Al Hidayat dan nilai-nilai kemasyarakatan yang diajarkan oleh Mbah Ma'shoem. Saat ini Ponpes Al Hidayat memiliki santri putra dan santri putri. Pengasuh Pondok Pesantren Putera adalah K.H. Shihabudin Ahmad sedangkan Pengasuh Pondok Pesantren Puteri adalah Nyai Hj Maria Ulfa. (Agni Malagina)

“Mbah Ma’shoem segera mengumpulkan keluarganya dan menyatakan ingin membangun pondok dan mushala, namun tidak memiliki uang. Saat itu Mbah Fatimah memberikan gelang dan kalungnya. Tahun 1916 mulai membangun, namun pengelolaan terstruktur mulai tahun 1918,” ujar Gus Affan yang menjelaskan bahwa Mbah Fatimah adalah ibunda dari Nyai Maria Ulfa.

Gus Affan dan Nyai Ulfa kompak pun memperkenalkan pribadi Mbah Ma’shoem yang berpegang teguh pada toleransi dan tenggang rasa, teguh pada Al Qur’an dan Taqrib.

“Mbah Ma’shoem mengatakan bahwa Thariqah atau amalan beliau adalah Hubbul Fuqara al Masakin mencintai fakir miskin,” ujar Gus Affan. Semasa hidup beliau seperti yang diceritakan oleh Gus Affan bahwa Mbah Ma’shoem sangat mengasihi fakir miskin. Demikian juga keturunan beliau, termasuk Mbah Azizah yang baru saja meninggal pada bulan Desember 2017 di usia yang ke 93.

“Mbah Zah itu persis Mbah Ma’shoem, tak pernah membedakan santri, supir, siapapun beliau anggap setara, seperti anak. Mbah Zah menyayangi fakir miskin,” Nyai Maria Ulfa. Diceritakan bahwa Mbah Mashoem pernah menjabat sebagai anggota MPR/DPR.

“Dulu pondok ini ada gerbang tinggi, seperti rumah-rumah tetangga pecinan. Tiap habis gajian, belum masuk pagar, sudah habis gajinya Mbah Ma'shoem untuk fakir miskin,” ujar Gus Affan sambil melanjutkan memperkenalkan kebiasaan Mbah Ma’shoem mengajak putra putri dan cucunya berkunjung ke tetangganya yang berbeda agama dan etnis, hanya sekedar menyapa, bermain bulutangkis, atau menginap di rumah kawannya yang berbeda etnis.

“Pernah Mbah Ma’shoem berpesan pada Mukti Ali, mantan Menteri Agama yang juga alumni Al Hidayat. Pesannya terkenal. Begini. Kamu tidak boleh membenci NU, kamu tidak boleh membenci Muhammadiyah, kamu tidak boleh membenci PNI, kamu tidak boleh membeda-bedakan etnis tertentu. Kamu harus berada di tengah-tengah, kamu kamu wakil dari negara yang bisa mengayomi masyarakat. Itu pesan terkenal sekali,” ujar Gus Affan.

Sepanjang kegiatan di Ndalem (rumah) Kasepuhan terasa cair dan menyenangkan. Mahasiswa Rotterdam dibantu penerjemah menyimak penjelasan para pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayat yang memiliki 200an santri putra dan santri putri serta memiliki dasar ajarang yaitu Akhlak Mendahului Ilmu. “Siswa harus memiliki akhlak dahulu untuk kemudian diisi ilmu,” ujar Gus Affan.

Timon pun bereaksi memberi tanggapan,”I do think it is beautiful that people here ini Lasem behave on a way. You teach them the way you should behave and the way should act and that is the whole system works in Lasem. This is something beautiful the world can learn from.” Teman-temannya pun turut menanggapi bahwa selama ini mereka mengetahui bahwa Islam identik dengan kata radikal, Timur Tengah dan perang atau bahkan tindakan ekstrim.

We learn something today, people in Lasem living in harmony,” ujar Kusumaningdyah pada mahasiswanya.

Gus Affan dan Nyai Ulfa tersenyum lalu mempersilakan kami semua memakan kudapan kripik dan kue kering yang ada di dalam toples. “Toples ini tradisi, harus selalu terisi, harus segera dihabisi,” ujar Nyai Ulfa menebar senyum lebar. Kami gerak cepat membuka toples tanpa minta ijin terlebih dahulu. Sangat menyenangkan kegiatan di Ndalem Al Hidayat sore itu. Sebelum Gus Affan menutup penjelasannya tentang Al Hidayat, beliau menyampaikan beberapa pesan.

“Kami ingin memberikan gambaran bahwa pesantren tidak eksklusif, pesantren ini terbuka bagi siapa saja yang mau belajar. Dari pesantren kita menyuarakan hal-hal yang bersifat kasih sayang, kedamaian, akhlak yang baik dan Islam membawa rahmah pada seluruh alam semesta. Harmoni di Lasem, juga ada dalam batik tiga negeri, harmoni hidupnya etnis Jawa, Arab, Cina,” ujar Gus Affan menutup penjelasannya.

Gus Dowi dan Ning Bela kemudian mengajak kami semua melihat-lihat Ndalem Kasepuhan. Menunjukkan tempat Mbah Ma’shoem selalu berbaring dan beristirahat bahkan saat kelelahan Mbah Ma’shoem tidak pernah menolak tamu datang. Mereka juga memperlihatkan sebuah lemari kaca yang berisi bungkusan gula pasir.

Lemari berisi gula dan 'jajanan' yang bisa dibagikan oleh Mbah Zah almarhumah semasa hidupnya. Tulisan Arab Pegon Jawa berisi pesan: Gula kabeh wajib ditutupi nek ra ditutupi dileboni cecak wajib ditutupi (gula semua wajib ditutupi, jika tidak ditutupi dimasuki cicak, wajid ditutupi) - Ning Bela. (Agni Malagina)

“Itu tulisan Mbah Zah, jangan sampai ndak diantarkan. Itu tulisann Arab Pegon Jawa,” ujar Ning Bela. 

“Mbah Zah selalu mengirim gula pada tetangga, kawan, kerabat. Jika bepergian selalu membawa jajan dan gula untuk dibagikan,” tutur Gus Dowi.

Satu jam di Pondok Pesantren Al Hidayat terasa kurang bagi kami untuk dapat menggali nilai-nilai ajaran toleransi atau tenggang rasa di Al Hidayat.

Tasamuh, itu ajaran tentang tenggang rasa dan toleransi. Yang ingin belajar bisa menginap di sini, belajar di sini tidak harus 6 tahun,” ujar Nyai Ulfa tersenyum.

Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang Hikayat Toleransi di Lasem?

Mari ikuti perjalanan saya dan Kusumaningdyah menyusuri satu rute sejarah perkembangan Islam di Lasem dengan rute Pondok Pesantren Al Hidayat, Masjid Jami Lasem, Kampung Kauman dan Pondok Pesantren Kauman. Satu rute dari sekian banyak jalur religi di Lasem yang membuat Lasem menjadi destinasi wisata religi sejak dahulu kala.