Nationalgeographic.co.id - Lasem tenar dengan julukan Kota Batik, setidaknya industri batiknya telah berkembang sejak pertengahan abad 19 ketika bisnis opium di kota ‘corong candu’ Hindia Belanda perlahan menurun.
Pada tahun 1892, seperti yang tercatat dalam Kolonial Verslag, Bijlage C, No. 10 bagian Rembang terdapat 4.300 pembatik yang kebanyakan adalah perempuan. Pekerja pria bertugas di bagian batik cap. Ribuan orang pembatik tersebar di pelosok desa di Lasem bekerja harian menangani bidang artistik hingga pengemasan.
Akhir abad 19, batik Lasem tak hanya dijual di dalam negeri, pasar ekspornya meliputi Singapura, Malaysia, Myanmar, Ceylon.
Pada tahun 1900, dalam laporan yang berjudul De Matregelen in Het Belang van de Inlandsche Nijverheid op Java en Madoera I, disebutkan bahwa Lasem bersama Pekalongan dan Surakarta merupakan daerah dengan produksi kain batik yang sangat besar sebagai pemasok kebutuhan kain batik di Jawa dan Madura hingga ke luar Jawa.
Sampai tahun 1931, tercatat Lasem memiliki 120 pengusaha batik yang seluruhnya adalah etnis Tionghoa. Tak heran, warna merah yang merupakan lambang kebahagiaan menjadi warna dominan dari batik Lasem. Saat ini terdapat 120an pengusaha batik di Lasem beragam etnis dan latar belakang budaya.
Baca Juga : Selama 22 Tahun, Pria Ini Lestarikan Budaya Mongolia Melalui Topeng
Perkembangan batik Lasem tak lepas dari kisah batik tiga negeri di Jawa Tengah. Konon, batik tiga negeri merupakan batik yang mengalami proses pencelupan di tiga kota. Pencelupan warna merah di Lasem, biru di Pekalongan, dan coklat soga di Solo. Atau terdapat arti lain dari batik tiga negeri yaitu batik dengan tiga warna, merah-biru-coklat.
Terkait dengan penggalan sejarah batik tiga negeri di Jawa Tengah, saya dan Feri Latief telah melaporkan penelitian serta perjalanan menulusuri jejak batik tiga negeri Lasem, Pekalongan, Solo untuk National Geographic Indonesia pada edisi Februari 2018.
Hampir seluruh pengusaha batik tulis Lasem konsisten memproduksi batik tulis dengan aneka kreasi motif klasik bersanding dengan motif kreasi dikelir warna-warna terbaru. Beberapa rumah batik tetap konsisten memproduksi batik tradisi, yaitu batik tiga negeri. Beberapa di antaranya yaitu rumah batik Nyah Kiok, Pusaka Beruang, Maranatha, Mawar, Lumintu, Sekar Kencana, Katrin Bee, Padi Boeloe, Batik Gajah, Dua Putri, Kidang Mas, Purnomo, Ningrat, Sumber Rejeki, Mulya Jaya, Asri Ana Budaya, Sekar Mulya, Ar Rahma, Gendhis, Hamdanah, Pesona Canting, Gading Kencana, Najam, dan Barokah.
Namun, ada satu rumah batik di Lasem yang memiliki ciri khas unik, sedari awal berdirinya hanya membuat satu buah motif batik tiga negeri dan masih memroduksi motif yang sama hingga sekarang yaitu rumah batik tiga negeri Nyah Kiok.
Rumah Batik Nyah Kiok terletak di Jalan Karangturi Gang VI, desa Karangturi, Lasem. Diperkirakan beroperasi sejak awal abad 20.
Menempati rumah kuna gaya Cina Hindia sederhana, para pembatiknya kini hanya tersisa tujuh orang. Saya menyebutnya ‘tujuh bidadari Nyah Kiok’. Tujuh orang tersebut adalah Mbah Suti, Mbah Lasinah, Mbak Kuntati, Mbah Suharmi, Mbah Sabariyah, Mbah Marni. Mbak Sumirah. Mbah Suti adalah pembatik senior di antara mereka bertujuh. Ia berusia 69 tahun dan telah membatik di Nyah Kiok sejak tahun 1969. Ia hafal motif gunung ringgit pring yang sedari dulu diproduksi oleh Nyah Kiok. Ia langsung menorehkan cantingnya menggambar motif gunung ringgit dan bunga bambu setiap membatik di atas kain putih polos. Demikian pula dengan rekan-rekannya yang lain walaupun usianya tak setua Mbah Suti. Lihai!
Mbah Lasinah merupakan ‘ketua’ suku tujuh bidadari Nyah Kiok. Ia bergabung menjadi pembatik di rumah batik Nyah Kiok sejak tahun 1970. Seperti Mbah Suti, mereka berdua masih mengingat batik tiga negeri Lasem tempo dulu.
“Obenge (pembatik) Nyah Kiok ya dulu 70 orang, penuh ini tempat. Juga Kakaknya Nyah Kiok namanya Nyah Le, juga 70 orang. Sekarang tinggal tujuh,” ujar Mbah Las Ditimpali oleh Mbah Suti,”yo saiki tinggal pitu, wis tuwo, ono sing ngaleh, ono sing mati.” (Ya sekarang tinggal tujuh, sudah tua, ada yang pindah, ada yang mati) Mbah Las juga menjelaskan bahwa dahulu semua pembatik di Lasem membuat kain tiga negeri, termasuk membuat motif gunung ringgit pring (gunung ringgit bambu).
“Ya dulu semua mbuat gunung ringgit pring, sekarang jarang ya,” ujar Mbah Las.
Lagi-lagi, Mbah Suti turut menimpali pernyataan Mbah Las sambil tetap serius menorehkan cantingnya menggambar motif gunung ringgit: ”mbatik ngene pegaweane wong tuwo, cah enom ra gelem, ora sabar nek nggawe ngene.” (Membatik seperti ini pekerjaannya orang tua, anak muda tidak mau, tidak sabar kalau membuat yang seperti ini)
“Yo iki wonge mung seglintir, sawangane gampang, sepele, tapi suwi pegaweane, mremet nggawe gunung ringgit pring, yo tinggal kene sing nggawe ngene tok,” ujar Mbah Sabariyah (56) menyambung pernyataan Mbah Suti. (Ya ini orangnya tinggal sedikit, kelihatannya mudah, sepele, tetapi pekerjaannya lama, ‘mremet’ detil membuat pusing membuat gunung ringgit bambu, ya tinggal di sini saja yang membuat (motif) ini)
Rumah batik Nyah Kiok merupakan rumah batik milik Hadi Sutjahyo dan Listyorini (Nyah Kiok), setelah sempat dilanjutkan oleh Hartono (keponakan pemiliki), kini perusahaan tersebut dipegang oleh salah satu anak dari Nyah Kiok. Rumah batik ini tidak membuka gerai penjualan batik, melainkan mengirimkan kain batiknya ke luar kota.
Kain batiknya terdiri dari motif sisik atau gunung ringgit, daun pring/bambu, dan tambahan bunga dan kupu-kupu, untuk isiannya ditambahkan motif-motif khas Lasem seperti latohan (rumput laut), ungker, dan nyok (titik-titik).
Bagi tujuh bidadari, motif batik gunung ringgit pring tak diketahui artinya. Mereka mengaku tak pernah mendengar arti dari motif yang mereka torehkan selama berpuluh tahun.
“Ora dicritani, mbatik yo mbatik, gunung ringgit pring nggak tau artine,” ujar Mbah Suti. (Tidak diceritakan, membatik ya membatik, gunung ringgit bambu tak tahu artinya)
Motif gunung ringgit atau sering disebut motif ‘sisik’ di Lasem, dalam khasanah motif dan ragam hias Tionghoa termasuk dalam ragam hias yang disebut ‘lang’ gelombang air yang berbentuk stilistik setengah lingkaran atau tiga perempat lingkaran bersanding secara pararel.
Seperti yang dijelaskan oleh Wolfram Eberhard dalam A Dictionary of Chinese Symbols Hidden Symbols in Chinese Life and Thought (1986) bahwa motif gelombang ini biasa muncul dalam jubah seragam pejabat kekaisaran di Tiongkok pada masa dinasti. Motif ini merupakan representasi ‘laut’ atau ‘gunung’. Pengguna jubah atau pakaian dengan motif ini diharapkan dapat menjadi pejabat penting. Sedangkan motif bambu dalam khasanah motif Tionghoa melambangkan ‘hijau abadi’ serta ‘kekuatan’, bambu merupakan pohon yang tak akan mati sekalipun pada musim dingin.
Dalam beberapa tutur lisan yang beredar di Lasem, motif gunung ringgit sendiri terdapat pemakmanaa gunung dan ‘ringgit’ uang, merupakan gambaran kesejahteraan.
Berapa lama proses pembuatannya?
“Paling cepet ya tiga bulan, yo paling 100 lembar,” ujar Mbah Las yang menceritakan bahwa empunya rumah batik Nyah Kiok selalu datang setiap bulan dari Surabaya untuk menyiapkan racikan warna, memeriksa kualitas dan menengok para pembatiknya.
Para bidadari Nyah Kiok mengisahkan peran pemilik sekarang yang sangat dekat dengan mereka. “Juragane yo deket sama kami, saya tau kecilnya, kalau mau lebaran nanti kami dapat te ha er,” ujar Mbah Las sambil menceritakan jika ada keluarga mereka yang sakit, tak jarang sang juragan pun membantu.
Sepeda-sepeda para tujuh bidadari diparkir di area gang rumah Nyah Kiok. Tas keranjang anyaman mereka hampir mirip, anyaman berbahan plastik dengan warna warni pastel yang tampak pudar warnanya. Di dalamnya terdapat bekal sarapan dan makan siang mereka yang sederhana. Namun, saya dapat menemukan hal yang sama menjadi isi tas mereka yaitu kerupuk! Saya pun sering melihat di beberapa tempat mbatik, para pembatiknya selalu membawa kerupuk. Saya pun bertanya karena penasaran.
Tak dinyana, Mbah Suti menjawab,”Asale mbiyen ejeh enom aku mlaku soko omah teko kene. Saiki nyepedah. Anak telu nembe aku nyepedah. Mbiyen mlaku ki mangan krupuk la wong mlakune sejam. Yo mben ndino nggowo krupuk.” (asalnya dahulu waktu masih muda, aku jalan kaki dari rumah sampai sini – rumah Nyah Kiok. Sekarang naik sepeda. Punya anak tiga baru aku naik sepeda. Dulu jalan sambil makan kerupuk karena jalan kakinya satu jam).
Baca Juga : Empat Makanan Tradisional Dunia yang Mungkin Bisa Ciutkan Nyali Anda
Bagi saya warisan batik tiga negeri tidak hanya warna, motif, dan pemasaran yang luas, namun juga tentang kehidupan pembatiknya yang sederhana–pengabdian, sepeda, dan kerupuk.
Batik tiga negeri di Jawa merupakan warisan budaya akulturasi dari beberapa titik wilayah seperti Lasem, Pekalongan (kota dan Batang), Solo, dan beberapa di Cirebon, Semarang, Kudus, sampai Surabaya. Menilik keberadaan batik tiga negeri di beberapa titik di Jawa menunjukan penurunan. Setidaknya di kota pusat legenda batik tiga negeri berkembang yaitu Lasem Solo Pekalongan.
Tiga negeri Solo telah mati, tiga negeri Pekalongan dalam keadaan krisis pembatik tiga negeri, tiga negeri Lasem… mungkin merupakan yang terbanyak memiliki pembatik tiga negeri.
Mungkinkah kita masih bisa berharap pada para pengusaha, seniman dan pembatik di Lasem? Tantangan yang dihadapi tak sedikit, terlebih mengenai pelestarian motif kuna, produksi, permodalan, penggunaan warna, limbah batik, tenaga kerja, kesejahteraan seniman batik, pemasaran, produk kreatif, industrialisasi batik (cap, sablon, hingga kain printing motif batik) hingga keberlanjutannya yaitu regenerasi.
Bagaimana nasib kain tiga negeri Lasem kelak?
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR