Hikayat Toleransi: Mengenal Tasamuh di Ponpes Al Hidayat Lasem

By Agni Malagina, Kamis, 6 Juni 2019 | 07:00 WIB
Warga Muslim Lasem mengunjungi sebuah festival budaya di pecinan setempat. Simbol budaya Cina telah melebur dengan kebudayaan di kota pesisir utara Jawa itu. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Lemari berisi gula dan 'jajanan' yang bisa dibagikan oleh Mbah Zah almarhumah semasa hidupnya. Tulisan Arab Pegon Jawa berisi pesan: Gula kabeh wajib ditutupi nek ra ditutupi dileboni cecak wajib ditutupi (gula semua wajib ditutupi, jika tidak ditutupi dimasuki cicak, wajid ditutupi) - Ning Bela. (Agni Malagina)

“Itu tulisan Mbah Zah, jangan sampai ndak diantarkan. Itu tulisann Arab Pegon Jawa,” ujar Ning Bela. 

“Mbah Zah selalu mengirim gula pada tetangga, kawan, kerabat. Jika bepergian selalu membawa jajan dan gula untuk dibagikan,” tutur Gus Dowi.

Satu jam di Pondok Pesantren Al Hidayat terasa kurang bagi kami untuk dapat menggali nilai-nilai ajaran toleransi atau tenggang rasa di Al Hidayat.

Tasamuh, itu ajaran tentang tenggang rasa dan toleransi. Yang ingin belajar bisa menginap di sini, belajar di sini tidak harus 6 tahun,” ujar Nyai Ulfa tersenyum.

Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang Hikayat Toleransi di Lasem?

Mari ikuti perjalanan saya dan Kusumaningdyah menyusuri satu rute sejarah perkembangan Islam di Lasem dengan rute Pondok Pesantren Al Hidayat, Masjid Jami Lasem, Kampung Kauman dan Pondok Pesantren Kauman. Satu rute dari sekian banyak jalur religi di Lasem yang membuat Lasem menjadi destinasi wisata religi sejak dahulu kala.