Nationalgeographic.co.id— Kisah ini bermula dari sebuah drama di perkampungan Makassar di Ayuthia, Negeri Siam—kini Thailand—pada akhir abad ke-17. Seorang pangeran Makassar, bernama Daeng Mangalle, telah dituduh terlibat dalam persekongkolan muslim yang berencana membunuh Raja Siam.
Akhirnya, tuduhan yang belum terbukti itu telah berujung pada tewasnya Daeng Mangalle dan orang-orang Makassar dalam suatu penyerbuan militer atas perintah Sang Raja. Lelaki ningrat asal Makassar itu meninggalkan dua orang anak berusia belasan tahun. Namanya, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo.
Kisah dua priyayi asal Makassar ini pertama kali diungkap oleh Christian Pelras (1934-2014), seorang etnolog Prancis yang ahli mengenai Indonesia, khususnya sosial budaya Sulawesi. Ia membahasnya dalam artikel yang terbit di Masyarakat Indonesia edisi Juni 1982, berjudul "Beberapa penjelasan mengenai dua anak bangsawan Makassar yang pernah ke Perancis pada abad ke XVI." Kemudian Pelras menuliskannya juga di jurnal Archipel edisi 1997. Tajuk pembahasannya, La première description de Célèbes-sud en français et la destinée remarquable de deux jeunes princes makassar dans la France de Louis XIV.
Belakangan Bernard Dorleans memasukkannya dalam Les Francais et l'Indonesie due XVIe au Xxe siecle, terbit pada 2001. Buku ini disusul edisi bahasa Indonesianya berjudul Orang Indoesia & Orang Prancis Dari Abad XVI Sampai dengan Abad XX, KPG, terbit pada 2006.
Bagaimana nasib Daeng Ruru dan Daeng Tulolo? Mungkin karena iba kepada dua bocah itu, kantor perwakilan dagang Prancis di Siam memberi kesempatan kedua pangeran malang itu untuk belajar ke Prancis. Pada masa itu pendidikan militer untuk anak lelaki telah menjadi tradisi kebanggan kerajaan-kerajaan Nusantara.
Saat itu pelayaran ke Eropa sungguhlah lama. Keduanya berlayar dengan kapal Coche menuju Eropa pada akhir November 1686, dan baru berjejak di Prancis pada September 1687. Setelah dibaptis, mereka mendapatkan nama kehormatan—bak Raja Prancis. Daeng Ruru bergelar Louis Pierre Makassar, sementara saudaranya Daeng Tulolo mendapat gelar Louis Dauphin Makassar.
Baca juga: Lika-liku dari Anjangsana Para Pelestari Alam Indonesia di Makassar
Sebagai anak dari tanah seberang benua dan samudra, keduanya mendapat pengajaran bahasa Prancis di kolose jesuit Lycée Louis-le-Grand. Lembaga sekolah yang didirikan akhir abad ke-16 tersebut, hingga kini masih mengajarkan nilai tradisi Prancis dan mempertahankan tradisi keterbukaan terhadap dunia luar. Setidaknya sepersepuluh dari siswanya selalu berasal dari penjuru dunia.
Setelah lulus dari kolose jesuit itu mereka diterima di sekolah tinggi Clermont yang bergengsi. Kemudian, keduanya mendapat rekomendasi dari Louis XIV untuk melanjutkan ke sekolah perwira angkatan laut yang pada sohor sebagai perintis sekolah marinir di Prancis. Salah satu syarat untuk diterima menjadi kadet adalah si calon harus berusia di bawah 18 tahun dan berasal dari keluarga ningrat.
Karir marinir Daeng Ruru meroket. Dia lulus tercepat dengan menempuh sekolah selama dua tahun. Pangkatnya letnan muda pada usia 19 tahun—setara letnan di angkatan darat. Setahun kemudian dianugerahi pangkat letnan angkatan laut.
Bantuan keuangan sungguh diperlukan, lantaran Ruru tak hanya membutuhkan kecerdasan, tetapi juga uang. Tak seperti kakaknya yang berkarir melejit, Daeng Tulolo harus menanti 13 tahun lamanya untuk mendapatkan pangkat letnan muda.
Baca juga: Adakah Hubungan Antara Salatiga, Arthur Rimbaud, dan Soekarno?
Masa-masa keemasan kedua ningrat itu kian mendekati akhir. Pada 1707, Daeng Ruru bertugas di sebuah kapal yang menyergap kapal-kapal militer Belanda dan membantu armada Spanyol untuk memerangi Inggris di Havana. Ironisnya, Pada 19 Mei 1708 Daeng Ruru tewas karena perkara yang tidak jelas.
Sementara itu, Daeng Tulolo yang karirnya mentok berpangkat letnan muda, melanjutkan dinasnya di sebuah kapal India. Dia wafat 30 November 1736. Beberapa kolega angkatan laut menghadiri penghormatan terakhir kepada Sang Louis Dauphin Makassar. Suatu kehormatan, keturunan raja-raja Makassar itu dimakamkan di tempat terhormat dalam Gereja Saint-Louis de Brest, barat laut Prancis.
Pada 1944, kecamuk Perang Dunia Kedua menghancurkan Kota Brest, termasuk gereja itu. Pascaperang, sekitar 1950-an, gereja itu dibangun kembali. Hingga kini belum ada laporan nasib makam Daeng Tulolo di gereja baru Saint-Louis de Brest. Apakah makamnya turut hancur atau masih lestari?
Demikianlah kisah dua bangsawan asal Tanah Daeng yang mengembara hingga ke Prancis. Tampaknya hubungan antara orang Prancis dan orang Indonesia sudah terjalin sejak ratusan tahun silam.