Bekas kota garnisun ini membuat Rimbaud merasa sangat tak kerasan, sementara Soekarno merasa sangat kasmaran.
Perkembangan Salatiga tidak bisa dilepaskan dari perannya sebagai kota garnisun sejak pertengahan abad ke-18. Betapa tidak, usai Geger Pacinan, Gubernur Jenderal VOC Gustaf Willem Baron von Imhof melakukan ekspedisi melancong perdananya ke Semarang-Ungaran-Salatiga-Surakarta.
Langkah berikutnya, jalur logistik militer itu diamankan dengan menempatkan garnisun dan pertahanan benteng. Keberadaan benteng acap kali dihubungkan dengan kemunculan suatu kota, kawasan pecinan dan pasar.
Litografi kuno karya Joseph Jeakes, perupa asal Inggris yang masyhur awal abad ke-19, melukiskan keadaan Benteng Hersteller di Salatiga. Jeakes menorehkan sebuah bangunan kokoh bermenara pengawas. Di depannya terhampar tanah lapang menghijau. Nun jauh, terlihat latar pegunungan Telomoyo yang membiru di sisi barat daya kota ini.
Namun, kini Salatiga bukan kota garnisun lagi. Tampaknya, benteng itu dihancurkan sendiri oleh Belanda—entah pada tahun berapa.
Di kawasan bunderan yang bergelora karena sosok Dipanagara yang tengah berkuda, tampak dua rumah indis yang berlatar Merbabu. Satu rumah berpilar besi tempa dengan beranda luas dan rumah lainnya berpilar putih gaya tuskan.
Kedua rumah yang dibangun sekitar pertengahan abad ke-19 ini dulunya rumah tinggal asisten residen, kini sebagai kompleks Rumah Dinas Walikota Salatiga.
Sebuah inskripsi yang baru diresmikan pada 1997 oleh duta besar Prancis terpampang di teras rumah berpilar putih gaya tuskan itu. Inskripsi itu menjadi pengingat bahwa penyair besar Prancis, Jean Nicolas Arthur Rimbaud (1854-91), pernah berdiam di Salatiga dari 2 sampai 15 Agustus 1876.
Dunia memang mengenal Rimbaud sebagai seorang penyair kampiun yang berpengaruh besar pada sastra modern, sekaligus pelancong yang sudah mengencani tiga benua. Lalu untuk apa Rimbaud jauh-jauh ke Hindia Belanda?
Singkat cerita, pemuda yang tak punya bakat di bidang militer itu mendaftar sebagai serdadu Hindia Belanda. Dia tercatat bergabung dengan batalion infanteri di Batavia, lalu bersama kesatuannya berlayar ke Semarang.
Perjalanan berlanjut dengan kereta dari Kedungjati hingga Tuntang, lalu jalan kaki ke tangsi militer Salatiga. Sebagai seorang pelancong, tentunya Rimbaud terbiasa dengan perjalanan panjang ini.
Namun, kurang dari dua minggu di tangsi Salatiga, Rimbaud dikabarkan hilang saat apel. Memang tak ada informasi soal bagaimana cara sang penyair muda itu melarikan diri dari tangsi militer. Yang jelas, sekitar empat bulan kemudian dia telah berada di rumah keluarganya di Prancis.
Kalau Rimbaud pernah bersyair “Love is to be reinvented, that is clear”, mungkin itulah yang dialami oleh Soekarno tatkala bersantap di rumah dinas walikota Salatiga di suatu siang pada 1952.
Di rumah inilah si Bung Besar menemukan cintanya yang keempat usai menyantap lodeh buatan seorang janda muda, Hartini.
Dua tahun berikutnya si Bung pun meminang Hartini. Kelak, perkawinan ini pula menyebabkan Fatmawati hengkang dari istana.
Kebetulan rumah Hartini berada tak jauh dari rumah dinas walikota, Jalan Diponegoro 6. Beranjak dari rumah dinas walikota, saya menyeberang untuk bertandang ke bekas rumah Hartini itu.
Meskipun kini pemilik rumah bukan keluarga Hartini atau Soekarno, rumah yang berlanggam arsitektur era 1930-an itu hingga kini masih tampak asri seolah tak terpengaruh riuhnya dinamika kota.
Ketika berlalu dari seputar kawasan bunderan menuju pinggiran permukiman Eropa, saya berpikir, mungkin Salatiga telah ditakdirkan sebagai tempat persinggahan para pemuja keindahan, seperti Rimbaud dan Soekarno. Perbedaannya, Rimbaud merasa sangat tak kerasan di kota ini, sedangkan Soekarno merasa sangat kasmaran.
Dalam bentangan Merbabu-Telomoyo yang membiru, persinggahan antara Semarang dan Surakarta ini menawarkan pesona wisata yang menandai retasan masa yang dilaluinya.
Sebagai seorang pejalan, saya pun tersenyum ketika menapaki keanggunan Salatiga dan mendendangkan syair yang pernah ditulis Rimbaud. ”Lead on the travelers through the windspouts of the valley and the whirlpool. These are the conquerors of the world. Seeking their personal chemical fortune.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR