Suku Anak Dalam Batin Sembilan: Lebih Terbuka dan Memiliki Harapan

By Amalia Nanda, Minggu, 21 April 2019 | 12:30 WIB
Suku Anak Dalam hidup berpindah. (Zhu Qincay)

Ketika pertama kali masuk, CSR JOB PTJM mengikutkan program mereka, Jambi Merang Mengajar ke SAD yang buta huruf. Namun keterbatasan waktu membuat mereka mencari cara lain yang lebih efektif. Bekerja sama dengan SEAD (Sobat Eksplorasi Anak Dalam), Suci dan Reny menjadi dua pengajar pertama yang terjun langsung tinggal di lingkungan SAD. Mereka memprioritaskan pengajaran untuk anak-anak.

Adi dan Baim adalah dua dari anak-anak SAD yang sekarang antusias bersekolah, mereka akan mengikuti ujian paket A tahun depan. “Dulu kami lari ke hutan, nggak mau sekolah,” cerita Adi bersemangat. Ketika ditanya kenapa, Baim menyahut, “Takut.”

“Trus dikejar dan ditangkap sama bapak,” kata Adi sambil tertawa. Ia merupakan anak Pak Jauhari.

“Anak-anak ini baca belajar sekolah. Baca tulis. Kalau dulu nggak tahu apa-apa. Harapannya, anak-anak ini kalau mereka mau, sekolah lah lebih tinggi di luar. Jangan kaya kita kan, nggak sekolah.” kata Pak Jauhari.

Karyawan dari JOB-PTJM sendiri, yang bahkan bukan dari divisi CSR seperti teknisi, ikut turun tangan langsung membantu dan membina masyarakat SAD. Filter air, listrik tenaga surya, rumah, dibangun untuk mereka.

”Nah, yang bikin air bersih itu Pak Fiqi. Kalau lampu Pak Timo, kalau rumah itu sebenarnya Pak Tri. Cara pakai atau membersihkannya itu dajari bapak-bapak itu.” Pak Jauhari bercerita dengan lancar menyebutkan nama orang-orang yang bekerja sama dengannya selama ini.  “Langsung turun di lapangan, bukan lagi ada perantara-perantara. Makanya kami jadi percaya. Itulah.”

Secara berkala, juga didatangkan bidan sebagai tenaga medis yang tinggal di Desa Muara Medak. Ketika sarana air bersih, hunian sehat, dan pendidikan mulai masuk ke kehidupan SAD, masyarakat pun mulai dapat beranjak untuk memikirkan kebutuhan lainnya, yaitu ekonomi.

(Zhu Qincay)

Bersama dengan masyarakat, tim CSR pun mencari cara untuk menggerakkan perekonomian SAD. Semula mereka yang tidak dapat membaca nominal uang, kini mulai mengenal nominal uang sehingga tidak lagi ditipu saat transaksi jual beli di dusun.

Para kepala keluarga diajarkan budidaya ikan toman, dan para ibu dibekali dengan pengetahuan untuk membuat ikan asin yang dapat meningkatkan nilai jual. Ada sebuah tempat pengeringan ikan asin yang digunakan bergiliran oleh tiap keluarga. Saat alam lebih ramah, dan hasil tangkapan ikan melimpah, mereka dapat memproduksi hingga 20 kg ikan asin.

“Kalau seperti sekarang, lagi sulit cari ikan. Ini 3kg tidak sampai,” kata Ci Uda, salah satu ibu di SAD, sambil menunjukkan ikan asin yang dibuat.

Baca Juga : Tersambar Petir? Inilah Berbagai Hal yang Akan Terjadi pada Tubuh Anda

KPHP Lalan membantu dengan melepaskan dua hektare tanah untuk setiap kepala keluarga SAD. Tanahnya adalah lahan gambut, dan saat ini tim CSR dan masyarakat sedang mencari solusi terbaik untuk pemanfaatan lahan. “Kami sedang mencoba beberapa tanaman yang bisa dibudidayakan dan dapat tumbuh di lahan gambut ini,” jelas Nurseno.

Meski menjadi kelompok terpinggirkan dan tinggal di dalam hutan, semakin lama, mereka mendapat dampak dari perkembangan ‘dunia luar’. Tidak lagi bisa sepenuhnya bergantung pada alam, perubahan cara berpikir dan pola hidup menjadi satu-satunya cara mereka untuk bisa bertahan hidup dengan layak.