Suku Anak Dalam Batin Sembilan: Lebih Terbuka dan Memiliki Harapan

By Amalia Nanda, Minggu, 21 April 2019 | 12:30 WIB
Suku Anak Dalam hidup berpindah. (Zhu Qincay)

Nationalgeographic.co.id - “Kalau dulu kami mencar-mencar. Ndak ngumpul seperti ini. Setelah dibangun rumah bagus, ada air bersih, kami mulai berkumpul, banyaklah sekarang kemajuan,” cerita Pak Jauhari. Ia adalah orang yang dituakan dalam kelompok Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan yang bermukim di Sungai Pejudian, di dalam hutan di Provinsi Sumatera Selatan.

Permukiman mereka dapat dicapai dari Dusun Tujuh, Desa Muara Medak. Di dusun tersebut, terdapat sebuah dermaga kecil. Dengan menumpang perahu selama 40 menit, kita akan sampai ke area permukiman SAD.

Suku Anak Dalam tersebar di area hutan dalam kawasan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Hidup jauh dari peradaban luar, membuat mereka sulit untuk didekati.

Baca Juga : Raih 13 dari 20 Proper Emas, Menteri LHK: Juaranya Adalah Pertamina

Akhir tahun 2015, CSR JOB Pertamina-Talisman Jambi Merang (JOB-PTJM) mulai memiliki perhatian khusus pada SAD yang tinggal di kawasan tersebut. Tahun 2016 mereka memulai pencarian informasi dan riset dengan mendatangi Ketua RT terdekat. Saat itu, salah satu masyarakat SAD ‘ke luar’, istilah yang digunakan untuk mereka ketika pergi ke dusun. Dermaga kecil yang memang bertempat di dekat rumah Ketua RT menjadi tempat mereka bertransaksi untuk menjual ikan.

“Awalnya, takut mereka. Tapi kita coba berkoordinasi dengan pihak RT juga selaku pemerintah di sini. Kita ingin silaturahmi, mencari ada kesulitan apa yang dialami masyarakat. Awal-awal datang, sekali dua kali, loh udah nggak ada lagi mereka,” cerita Nurseno Dwi Putranto, CSR Officer yang terlibat langsung dalam bantuan untuk Suku Anak Dalam.

(Zhu Qincay)

“Itu mereka (CSR JOB-PTJM) datang ke kita, tiga-empat kali, banyak yang lari kemarin. Tinggal aku dewe,” kata Pak Jauhari dengan campuran logat Sumatera dan Jawa. Dusun terdekat dari mereka banyak dihuni oleh transmigran dari Jawa, sehingga bahasa pun terpengaruh dari hasil interaksi.

Pengalaman pahit juga yang membuat mereka tidak lagi percaya pada orang luar. Beberapa kali ada oknum yang mengatasnamakan bantuan, meminta cap jempol mereka pada dokumen yang bahkan tidak bisa mereka baca. Ditunggu pun, tidak ada bantuan yang datang. Beberapa kali juga mereka dieksploitasi, difoto, didata, untuk mencari keuntungan.

“Orang tu (CSR JOB-PTJM) terbukti pengen bantu. Seperti Pak Fiqi (salah satu karyawan), filter air ini dibikin dulu. Tengoklah dulu, ini ada filter air katanya. Jadi, ‘jaku berarti orang ni mau bantu beneran. Bukan bohongan,” jelas Pak Jauhari. Hal inilah yang membuat Pak Jau mau berbicara pada kepala keluarga lainnya, dan membuat mereka mau mulai mendekat untuk berkumpul.

Suku Anak Dalam mengenal buku dan pendidikan. (Zhu Qincay)

“Ada juga bu gurunya langsung datang, Suci sama Reny dulu. Jadi anak-anak mereka disekolahkan, diantarkan nginep di gubuk aku dulu.” Sebelum ada hunian yang dibangun, masing-masing kepala keluarga mendirikan gubuk sendiri yang jaraknya setiap sekitar 200 hingga 500 meter di pinggiran sungai. Berkunjung ke gubuk lain menggunakan sampan buatan sendiri.

Ketika pertama kali masuk, CSR JOB PTJM mengikutkan program mereka, Jambi Merang Mengajar ke SAD yang buta huruf. Namun keterbatasan waktu membuat mereka mencari cara lain yang lebih efektif. Bekerja sama dengan SEAD (Sobat Eksplorasi Anak Dalam), Suci dan Reny menjadi dua pengajar pertama yang terjun langsung tinggal di lingkungan SAD. Mereka memprioritaskan pengajaran untuk anak-anak.

Adi dan Baim adalah dua dari anak-anak SAD yang sekarang antusias bersekolah, mereka akan mengikuti ujian paket A tahun depan. “Dulu kami lari ke hutan, nggak mau sekolah,” cerita Adi bersemangat. Ketika ditanya kenapa, Baim menyahut, “Takut.”

“Trus dikejar dan ditangkap sama bapak,” kata Adi sambil tertawa. Ia merupakan anak Pak Jauhari.

“Anak-anak ini baca belajar sekolah. Baca tulis. Kalau dulu nggak tahu apa-apa. Harapannya, anak-anak ini kalau mereka mau, sekolah lah lebih tinggi di luar. Jangan kaya kita kan, nggak sekolah.” kata Pak Jauhari.

Karyawan dari JOB-PTJM sendiri, yang bahkan bukan dari divisi CSR seperti teknisi, ikut turun tangan langsung membantu dan membina masyarakat SAD. Filter air, listrik tenaga surya, rumah, dibangun untuk mereka.

”Nah, yang bikin air bersih itu Pak Fiqi. Kalau lampu Pak Timo, kalau rumah itu sebenarnya Pak Tri. Cara pakai atau membersihkannya itu dajari bapak-bapak itu.” Pak Jauhari bercerita dengan lancar menyebutkan nama orang-orang yang bekerja sama dengannya selama ini.  “Langsung turun di lapangan, bukan lagi ada perantara-perantara. Makanya kami jadi percaya. Itulah.”

Secara berkala, juga didatangkan bidan sebagai tenaga medis yang tinggal di Desa Muara Medak. Ketika sarana air bersih, hunian sehat, dan pendidikan mulai masuk ke kehidupan SAD, masyarakat pun mulai dapat beranjak untuk memikirkan kebutuhan lainnya, yaitu ekonomi.

(Zhu Qincay)

Bersama dengan masyarakat, tim CSR pun mencari cara untuk menggerakkan perekonomian SAD. Semula mereka yang tidak dapat membaca nominal uang, kini mulai mengenal nominal uang sehingga tidak lagi ditipu saat transaksi jual beli di dusun.

Para kepala keluarga diajarkan budidaya ikan toman, dan para ibu dibekali dengan pengetahuan untuk membuat ikan asin yang dapat meningkatkan nilai jual. Ada sebuah tempat pengeringan ikan asin yang digunakan bergiliran oleh tiap keluarga. Saat alam lebih ramah, dan hasil tangkapan ikan melimpah, mereka dapat memproduksi hingga 20 kg ikan asin.

“Kalau seperti sekarang, lagi sulit cari ikan. Ini 3kg tidak sampai,” kata Ci Uda, salah satu ibu di SAD, sambil menunjukkan ikan asin yang dibuat.

Baca Juga : Tersambar Petir? Inilah Berbagai Hal yang Akan Terjadi pada Tubuh Anda

KPHP Lalan membantu dengan melepaskan dua hektare tanah untuk setiap kepala keluarga SAD. Tanahnya adalah lahan gambut, dan saat ini tim CSR dan masyarakat sedang mencari solusi terbaik untuk pemanfaatan lahan. “Kami sedang mencoba beberapa tanaman yang bisa dibudidayakan dan dapat tumbuh di lahan gambut ini,” jelas Nurseno.

Meski menjadi kelompok terpinggirkan dan tinggal di dalam hutan, semakin lama, mereka mendapat dampak dari perkembangan ‘dunia luar’. Tidak lagi bisa sepenuhnya bergantung pada alam, perubahan cara berpikir dan pola hidup menjadi satu-satunya cara mereka untuk bisa bertahan hidup dengan layak.