Nationalgeographic.co.id - Bu Reny mengendarai motor di jalan kecil yang dikelilingi oleh hutan. Kerap kali ia terjatuh selama perjalanan menuju Suku Anak Dalam (SAD) karena medan yang ia tempuh hanyalah jalan tanah dengan kontur yang tidak rata. Namun, tantangan ini tidak menjadi persoalan besar baginya. Ada yang lebih penting, bertemu dengan anak-anak SAD dan belajar bersama.
Bu Reny adalah salah satu relawan pengajar yang tinggal bersama SAD di pinggiran Sungai Pejudian dalam hutan dekat Dusun Tujuh, Desa Muara Medak, Sumatera Selatan.
SAD hidup nomaden, bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tersebar di hutan dalam wilayah Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Kehidupan di alam dan jauh dari kehidupan perkotaan membuat mereka tidak mengenal peradaban yang ada di luar hutan, tidak terkecuali pendidikan.
Baca Juga : Blanko Merah yang Menautkan Kisah Batik Tiga Negeri Di Pulau Jawa
Mengingat pendidikan adalah barang asing bagi mereka, membaca dan menulis pun bukanlah hal yang lazim bagi mereka. Sehingga hal ini menjadi tantangan pertama bagi Bu Reny. Ia masuk ke lingkungan SAD yang saat itu masih hidup berpindah-pindah. Hanya dengan gubuk terpal dan kayu yang jauh dari kata layak, tanpa pasokan listrik, ia tinggal di sana bersama seorang pengajar lainnya.
Penolakan sempat datang dari kebanyakan kepala keluarga SAD yang tinggal di lingkungan tersebut. Hakikatnya, berinteraksi dengan orang luar saja merupakan sebuah pelanggaran adat, apalagi mendapat pendidikan, dan berasal dari orang asing. Terlebih lagi bagi mereka, untuk apa pendidikan jika tidak bisa membantu orang tua mencari ikan untuk makan sehari-hari?
Berbagai penolakan dan rintangan tadi tidak membuat Bu Reny berkecil hati. Ia membuat pendekatan dengan “memanfaatkan” anak-anak dari keluarga yang dapat menerimanya.
Baca-tulis bukan hal yang menarik bagi anak-anak ini, ia paham bahwa hanya alam lah yang paling dekat dengan mereka. Ia mengajak anak-anak ke hutan, memanjat pohon, menggantung kertas-kertas berbentuk alfabet di sana, kemudian meminta mereka untuk mengambil bentuk alfabet yang ia sebutkan. Di lain waktu, mereka belajar berhitung. Ia akan memetik buah-buahan di hutan, kemudian memberikannya kepada anak-anak SAD sambil berhitung.
Metode pengajaran ini efektif untuk anak-anak SAD. Dalam kurun waktu empat bulan, mereka sudah bisa baca tulis dan berhitung.
Membuka Pikiran
Sudah dua tahun Bu Reny tinggal dan mengajar di dalam lingkungan SAD. Anak-anak yang tampak gembira bermain dan belajar bersama pun pada akhirnya membuat anak-anak lain terpanggil. Kini, ada sekitar 15 anak usia 16 tahun ke bawah yang mengikuti kegiatan belajar-mengajar ini.
Penulis | : | Amalia Nanda |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR