Ketoprak Jawa Pernah Dibunuh Dua Kali

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 4 Mei 2019 | 09:00 WIB
Adegan tawur atau perang menjadi daya tarik pemirsanya. Pemain ketoprak membutuhkan kekuatan otot dan nyali. Tidak seperti tayangan film atau sinetron, sedikit lengah badan pemain pun memar. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id— Meskipun kesenian ketoprak merupakan tradisi masyarakat agraris, sejarah lahirnya kesenian ketoprak modern tak bisa lepas dari peran Keraton Kasunanan Surakarta pada awal abad ke-20.

Kristian Haryanto, anggota Dewan Kesenian Surakarta dan salah satu pemain gender terbaik di kota itu, mengatakan bahwa seorang pejabat Kasunanan telah membina seniman-seniman ketoprak lesung, kemudian mementaskan di kediamannya pada 1908. Pentas mereka masih menggunakan lesung, belum menggunukan iringan gamelan.

Baru pada periode 1925-26, pertunjukan ketoprak tak hanya menggunakan iringan musik lesung, tetapi juga gamelan sederhana—juga alat musik gesek dan petik dari Eropa. Tema cerita, tata kostum dan tata pentas pun mengalami kemajuan.

Berbeda dengan wayang orang atau wayang kulit yang menggunakan sumber ceritanya dari epos Mahabarata atau Ramayana, ketoprak melakonkan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasanya sangat cair.

Kristian mengungkapkan bahwa pada masa itu pernah ada lakon yang mengangkat tentang kehidupan perselingkuhan antara istana dan pejabat Belanda. Juga, tema-tema pergerakan menentang penguasa kolonial. “Itu menarik sekali, sebenarnya cerita itu adalah sindiran juga kepada penguasa.”

Baca juga: Memuliakan Sungai, Memuliakan Peradaban

“Akhirnya ketoprak pernah tidak diperkenankan di lingkungan keraton,” ujarnya. ”Namun, di perdesaan masih banyak yang mementaskan.” Meskipun bersifat lokal, pelarangan pertunjukan ketoprak di zaman Hindia Belanda itu menjadi skenario “pembunuhan” pertama yang dialami kelompok kesenian tradisi ini.

Pada 1955-65 kelompok ketoprak telah terbagi dua aliran: PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berafiliasi dengan Lembaga Ketoprak Nasional, dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berafiliasi LEKRA (Lembaga Kebudajaan Rakjat). BAKOKSI (Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia)—yang berhalauan komunis—telah menaungi paguyuban ketoprak dari 275 paguyuban pada 1957 menjadi  371 paguyuban pada 1964.

Boleh dikata, kesenian ketoprak sangat diperhatikan saat itu, bahkan lakon-lakon ketoprak kerap menjadi alat propaganda politik. Namun, terjerumusnya kesenian ketoprak dalam politik telah membuat pada akhirnya meredup kembali. Pembersihan komunis telah turut menciduk seniman-seniman ketoprak—yang sesungguhnya tidak tahu menahu soal organisasi komunis.

Mereka dicari, diasingkan, bahkan dibunuh atau dihilangkan pada periode 1965-1967. Ketakutan pun melanda semua seniman ketoprak. Keterlibatan ketoprak dalam panggung politik pada awal Republik ini berdiri yang akhirnya membinasakan ketoprak itu sendiri—dan juga nyawa para senimannya.

Seorang pemain ketoprak tengah merentang kain jarik yang menjadi busana panggungnya. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Pada dekade 1970-an, menurut Kristian,  ketoprak banyak digunakan untuk kampanye berbagai lembaga pemerintah di tingkat daerah untuk wahana penerangan, cara hidup sehat, dan Program Keluarga Berencana, Penataran Pancasila, sampai perayaan hari-hari besar nasional.