Berbeda dengan anak-anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang sehat, keturunan DTP tidak akan mengetahui nilai mereka sendiri hingga dewasa.
Anak ini dipaksa mengisi berbagai fungsi yang seharusnya tidak dilakukan. Sebagai contoh, psikopat cenderung tidak bahagia dan rendah diri sehingga memberikan banyak beban emosional ke anak-anaknya.
Mereka dipaksa menjadi pendengar masalah orangtuanya dan sumber kenyamanan emosional.
Parahnya, ini berlangsung selama bertahun-tahun. Neo bercerita, beberapa orangtua pasiennya mengatakan: “Satu-satunya alasan saya melahirkanmu adalah agar kamu dapat merawatku sepanjang hidup.”
Anak-anak ini bahkan tidak diperbolehkan menikah dan memiliki anak. Orangtuanya yang psikopat selalu mengganggu hubungan anak-anaknya, menciptakan drama agar mereka tetap melajang.
Diperlakukan seperti karung tinju
Sepanjang hidupnya, orangtua DTP menganggap anaknya sebagai karung tinju, baik secara fisik maupun mental. Ini menjadi sulit saat mereka tumbuh dewasa karena lebih kuat dan sadar. Untuk mengatasinya, orangtua DTP pun mulai menyerang kepercayaan diri mereka.
“Psikopat sulit melihat anaknya tumbuh menjadi lebih kuat dan percaya diri. Kemudian muncullah kompetisi yang tidak sehat – menjatuhkan buah hatinya sendiri. Mereka akan mengatakan bahwa anak itu gendut, tak berguna, dan jelek,” jelas Neo.
Di saat yang bersamaan, jika anaknya berhasil mencapai sesuatu, orangtua selalu membanggakan dirinya sendiri.
“Setiap hal selalu dikaitkan dengan diri mereka sendiri. Ini membuat anak berpikir: ‘Saya tidak ada artinya dan tidak berharga’,” tambahnya.
Akankah anak psikopat juga menjadi monster?
Salah satu ketakutan anak-anak DTP adalah mereka akan tumbuh seperti ayah atau ibunya. Namun, bagaimana pun juga, menurut Michelle Piper, terapis, kasus ini jarang terjadi.