Bagaimana Situasi Ramadhan di Indonesia Saat Penjajahan Belanda?

By National Geographic Indonesia, Rabu, 15 Mei 2019 | 13:13 WIB
Tentara Belanda sedang memeriksa surat-surat dari perempuan Jawa. (Wikimedia Commons, Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id - Bagaimanakah situasi Ramadhan masyarakat Indonesia di era kolonial?

Menurut dosen Sejarah IAIN Surakarta, Martina Safitry, ketika itu Belanda masih memiliki kontrol terhadap sistem pemerintah Indonesia. Walau demikian, umat Muslim di Indonesia masih diberikan keleluasaan dalam menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan.

Sama seperti masa sekarang, perdebatan mengenai penentuan awal Ramadhan juga telah ada sejak dulu kala. Pada masa sekarang, penentuan awal Ramadhan ditentukan dengan perhitungan hisab dan rukyat yang dipimpin Kementerian Agama. Namun, pada masa penjajahan pihak yang menentukan awal Ramadhan adalah Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau lebih dikenal Hoofdbestuur.

Meski demikian, ternyata dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) memiliki Hoffbestuur-nya sendiri. Lembaga itu juga memiliki peran besar terhadap penentuan awal Ramadhan.

Baca Juga : Kehidupan Anak-anak Kerajaan yang Diabadikan dalam Potret Kuno

"Kedua belah pihak menentukan perhitungan dengan caranya masing-masing," kata Martina mengawali diskusi yang digelar Rumah Budaya Kratonan bekerja sama dengan IAIN Surakarta pada Sabtu (11/5/2019) sore.

Kabar ini juga dipertegas dalam berita yang terekam dalam koran Berita Nahdlatul Ulama (BNO) edisi 1 November 1937 yang memuat maklumat Awal Ramadhan 1356 Hijriah. Selain penetapan melalui mekanisme tersebut, ternyata awal Ramadhan juga disambut masyarakat dengan bunyi-bunyian yang sangat keras.

"Jadi dengan meriam, petasan, mercon dan anak-anak bikin menggunakan pelepah pisang. Pokoknya bunyian yang keras-keras untuk menandakan awal Ramadhan," ucap Martina.

Tak hanya ada di Jawa, tradisi seperti ini juga ada di Sumatera, terutama Sumatera Utara yang terdengar tiga kali tembakan meriam menandai awalnya bulan Puasa.

Libur sekolah

Selain tradisi penentuan awal Ramadhan yang dikaitkan dengan bunyi-bunyian keras, ternyata pada masa penjajahan juga telah ada tradisi libur sekolah selama Ramadhan. Pada masa Kolonial Hindia Belanda, ada wacana untuk meliburkan sekolah selama Ramadhan. Langkah ini merupakan usulan dari Dr N Adriani selaku Penasehat Urusan Bumiputra.

"Dr Adriani sangat memperhatikan umat Islam ketika itu dan memberi saran kepada Directuur Dienst der Onderwijs, Eeredienst an Nijverheid (Kepala Departemen Pendidikan, Keagamaan dan Kerajinan) untuk meliburkan sekolah-sekolah," ujar Martina.

Usulan ini akhirnya disetujui. Sekolah seperti HIS (Holllandsch-Inlandsch School), HBS (Hogere Burger School), AMS (Algemeene Middelbare School), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan lainnya diliburkan karena mayoritas muridnya beragama Islam.Ketika masa libur, anak-anak menghabiskan aktivitasnya untuk melakukan banyak kegiatan seperti membantu orangtua, memancing ikan, shalat di masjid, mengaji, dan lebih banyak fokus terhadap kegiatan keagamaan. 

Baca Juga : Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC

Setelah momentum satu bulan dilaksanakan, tibalah saatnya pada hari yang begitu dinantikan, yaitu shalat Idul Fitri. Pemerintah Kolonial baru mengizinkan shalat ied berjemaah secara terbuka untuk kali pertama pada 1929. Sebelumnya, umat Muslim melakukan shalat hanya berada di masjid kampung. Belanda masih membatasi ruang lingkup umat Islam, apalagi jika jemaah berkumpul dalam jumlah yang sangat besar.

Pihak Kolonial takut terhadap gerakan yang bisa memobilisasi massa, karena acara di tempat terbuka rentan mengancam pemerintah saat itu. Baru setelah 1929, Pemerintah Kolonial memberikan kelonggaran kepada umat Muslim untuk melaksanakan shalat ied berjemaah. Namun, Pemerintah Hindia Belanda yang memberikan tempat pelaksanaan shalat beserta jumlah jemaah.

Ini dilakukan untuk mengawasi agar kegiatan ibadah tak berubah menjadi aksi perlawanan. "Salat ied dilaksanakan di lapangan terbuka Koningsplein atau Stasiun Gambir, Jakarta Pusat (kala itu masih bernama Batavia)," kata Martina.

Martina juga mengatakan, pada 1939 juga dilaksanakan shalat ied bersama di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dengan imam Hadji Muhammad Isa yang saat itu menjabat Ketua Hooft voor Islamietische Zaken (Mahkaman Urusan Agama Islam) dan khatib Hadji Mochtar anggota Hooft voor Islamietishe Zaken.