Melacak Jejak Peristirahatan Sang Arsitek Masjid Jami Sumenep

By Agni Malagina, Rabu, 5 Juni 2019 | 18:06 WIB
Sentuhan dari negara Cina dan India terdapat pada gerbang utama dengan hadirnya motif Banji (Wan Zi) simbol kesejahteraan. Ketika memasuki bangunan masjid ini, ruangan didalamnya terlihat begitu megah dan besarberabgai ukiran jawa dalam pengaruh berbagai budaya menghiasi 10 jendela dan 9 pintu besar masjid Agung Sumenep (Sigit Pamungkas)

Nationalgeographic.co.id - Sumenep terletak di bagian timur Pulau Madura, Propinsi Jawa Timur. Ia menjadi kota salah satu kota tua yang telah berdiri sejak abad ke-13. Toponimi Sumenep pun bervariasi, mulai dari kisah "Songenneb" yang dipercaya tercantum dalam kitab Pararaton sampai pembahasan toponimi Sumenep mulai dari Poerwaredja, Soemekar, hingga Sumenep versi J.Hageman.

Dalam Bijdragen to de kennis van Residentie Madura (1858) yang terbit dalam Tijdschrift voor Nederlandshe Indie, J. Hageman menyebutkan bahwa sejak Tirta Negara berkuasa menggantikan Tjakranegara II pada tahun 1751, kata Sumenep digunakan secara resmi sebagai arti ‘air yang menetap mengendap’ –bezonke water.

Saat ini, Sumenep terkenal dengan julukan kota batik, kota ukir, bahkan yang terbaru adalah kota keris. Di kota tua ini terdapat dua bangunan ikonik berarsitektur paduan, perpaduan langgam Jawa, Arab, Cina, dan Eropa – Masjid Jami dan Keraton Sumenep.

Baca juga: Serdadu VOC Asal Tanah Madura

Masjid Jami (1779-1787) dan Keraton Sumenep (1781) dibangun oleh Panembahan Sumala (Sumolo). Pada masa sebelumnya, Tirta Negara dan istrinya (Gusti Raden Ayu Rasmana) telah membangun Keraton Dhalem atau Kerato Pajagalan pada mulai tahun 1751-1762.

Panembahan Sumala menunjuk seorang arsitek dari bangsa Cina, yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Lauw Piango untuk merancang desain Masjid dan Keraton Sumenep. Karya sang arsitek masih dapat Anda lihat saat ini! Masjid dan keraton Sumenep berdiri megah dan masih terawat dengan baik. Pemerintah daerah memberikan perhatian pada bangunan pusaka ini secara maksimal untuk dimanfaatkan oleh warga. Bahkan kedua ikon Sumenep ini telah menjadi destinasi wisata sejarah religi dan budaya di Madura. Kedua bangunan pusaka tersebut sarat dengan jejak-jejak akulturasi budaya - Islam, Jawa, Cina, Eropa.

Makam Liu Yu Shan yang dipercaya sebagai Lauw Piango sang arsitek Masjid Jami dan Keraton Sumenep. (Sigit Pamungkas)

Nama Lauw Piango disebut sebagai perancang yang dititah sang raja untuk mendesain bangunan dan ragam hiasnya, kedua bangunan tersebut tentunya dibangun oleh warga Sumenep yang memiliki keterampilan serta cita rasa seni tinggi pada masanya. Ya, nama Lauw Piango masih terekam dalam memori kolektif warga Sumenep tak terkecuali para penjaga masjid dan keraton Sumenep. 

Para penjaga Masjid Jami dan Keraton secara turun temurun mengetahui tentang sang arsitek dan mereka menyebutkan bahwa Lauw Piango dimakamkan di komplek pemakaman Cina yang terletak di desa Pangarangan.

Safiudin (56), ia adalah juru kunci makam sang arsitek. Ia mewarisi profesinya sebagai juru kunci makam dari sang ayah. Tak banyak informasi yang dapat ia sampaikan mengenai makam arsitek yang konon datang ke Sumenep pada tahun 1740 pasca peristiwa ‘Chineesche Moord’ pembuhunan orang-orang Cina di Batavia.

“Iya benar, itu makam arsiteknya Masjid Jami dan Keraton. Bapak hanya nunjuk itu, tapi tidak tau itu tulisannya Cina,”ujar Safiudin menunjuk bong Cina berwarna putih yang terbenam dalam rimbunnya semak, perdu dan rerumputan.

Dari enam belas makam Cina, hanya makam bercat putih tersebut yang berangka tahun paling tua. Memang tak banyak informasi yang dapat diketahui dari nisan. Namun, setidaknya saya dapat mengetahui bahwa nama yang tertera dalam nisan yang dipercaya sebagai makam sang arsitek adalah Liu Yu Shan (dalam bahasa Hokkian: Lauw Giok (Gek) San). Mungkin saja nama Lauw Piango adalah nama keduanya mengingat orang Cina yang baru datang ke tempat baru kerap menggunakan nama ‘baru’.