Nationalgeographic.co.id—Pernah pada suatu masa, separuh lebih dari serdadu yang menjaga tembok Kota Batavia terdiri atas orang-orang Madura.
“Opas,” demikian tulis John Joseph Stockdale, “adalah serdadu asal Madura dan Sammanapp [Sumenep] yang selalu menanti para perwira Eropa, dan pada saat yang bersamaan mereka juga sebagai pelayan. Orang-orang Hindia ini pada dasarnya adalah pemberani dan cerdas.”
Stockdale (1770-1847) mengungkapkannya dalam Sketches, Civil and Military, of the Island of Java and Its Immediate Dependencies yang terbit pertama pada akhir 1811. Inilah buku berbahasa Inggris pertama yang berkisah tentang Jawa. Stockdale menyusun buku ini berdasar berita-berita tentang Jawa ketika Inggris tengah melakukan invasi ke pulau itu.
Baca Juga: Stigma Janda Muda dalam Tembok Kota Batavia
Beberapa bagian dari buku sohor itu mengisahkan peran orang-orang asal Madura dalam organisasi pengamanan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada paruh kedua abad ke-18. Kongsi dagang Hindia Timur (VOC) merupakan perusahaan multinasional pertama di dunia yang mulai berdiri pada 1602—dan bangkrut pada 1799. Kongsi dagang ini istimewa lantaran mempunyai hak untuk bernegosiasi dengan negara manapun dan merekrut serdadu. Pos-pos perdagangannya terbentang dari Tanjung Harapan hingga Jepang.
Di Batavia, orang-orang Madura dan Sumenep berada dalam resimen di bawah komanda para pengeran mereka.
Sebuah garnisun yang menjaga tembok kota Surabaya, ungkap Stockdale, dipimpin oleh seorang berpangkat mayor yang sekaligus sebagai komandan seluruh serdadu Eropa dan Hindia. Sang mayor itu membawahi seratus serdadu Eropa—termasuk satu kompi resimen Württemberg yang merupakan tentara kontrakan asal Jerman. Selain itu, sang mayor juga membawahi enam kompi dari infantri asal Madura dan dua artileri asal Madura pula.
Baca Juga: Hikayat Rumah Perdesaan Milik Petinggi VOC di Palmerah
Ketika itu, pusat permukiman itu menjadi depot rekrutmen dengan para pangeran Madura dan Sumenep yang bekerja untuk kompeni. Tampaknya yang dimaksud Stockdale adalah Fort Belvidere, sebuah benteng kecil dengan lapangan arsenal di tepian Kalimas.
Sementara itu Stockdale juga memberikan pemerian tentang sebuah benteng VOC di Cirebon, yang dipersenjatai dengan empat kanon yang buruk. Kendati garnisunnya dikomandoi oleh seorang sersan dan dua kopral Eropa, seluruh awaknya hanya terdiri atas 15 serdadu asal Madura—itu pun dengan bedil yang seadanya.
Baca Juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
Di Batavia, orang-orang Madura dan Sumenep berada dalam resimen di bawah komando para pengeran mereka. Garis pertahanan Kota Batavia terbentang dari muara Sungai Ancol sampai Sungai Angke. Di sebelah tembok kota terdapat beberapa bastion yang dikelilingi parit basah nan dalam dan lebar. Juga, terdapat benteng batu dengan empat bastion, Kastel Batavia, yang terletak di muara Kalibesar. Pertahanan lain yang turut menjaga pusat kota dari barat ke timur adalah Fort Angke di tepian Kali Angke, Fort Vijhoek di tepian Kali Grogol, Fort Rijswijk di tepian Kali Krukut, Fort Noordwijk di tepian Ciliwung. Selanjutnya, Fort Jacatra dan di ujung timur adalah Fort Ancol.
“Serdadu Eropa dan Hindia dipercaya untuk menjaga Batavia dan pos terluarnya,” ungkap Stockdale. Jumlah totalnya mencapai 4.540 orang. Sejumlah 3.300 atau lebih separuhnya adalah orang-orang asal Madura dan Sumenep.
Stockdale menulis perinciannya. Serdadu nasional dalam tiga batalion terdiri atas 2.400 orang. Namun, dari jumlah itu, 200 orang—termasuk perwira, bawahan, dan pelontar granat—merupakan orang-orang Eropa. Sementara, 2.200 sisanya adalah orang Madura dan Sumenep.
Baca Juga: Temuan Peti Harta Karun Kapal Rempah VOC yang Berlayar ke Batavia 1740
Dia melanjutkan pemeriannya, sejumlah 400 orang dari Madura dan Sumenep juga berperan sebagai infantri pemburu dalam batalion ke-1. Sebanyak 600 orang lainnya juga berada dalam artileri berat, dan 100 orang bertugas dalam kompi ke-1 artileri ringan.
Sementara, total serdadu asal Eropa lainnya, yang bertugas dalam kesatuan kavaleri dan serdadu tambahan, jumlahnya hanya 1.040 orang.
Demikianlah takdir orang-orang Madura pada akhir abad ke-18. Seabad sebelumnya, mereka pernah terlibat dalam pemberontakan terhadap sebuah wangsa di Jawa Tengah bagian selatan, dan juga bertempur sengit dengan VOC. Namun, selepas pemberontakan mereka yang gagal, VOC mulai terlibat dalam suksesi di Madura.
Akhirnya, mereka menjadi garnisun sebuah kota dagang terbesar di Asia Tenggara, yang berkembang di bawah kongsi dagang asal Belanda itu. “Semua serdadu itu ditempatkan dalam keadaan lingkungan kota pesisir yang tidak sehat.”
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR