Nationalgeographic.co.id — Rumah para petinggi VOC memang dikisahkan glamor dan megah. Tampaknya itulah kesan dari koleksi litografi yang tersimpan di Perpustakaan Nasional. Sayangnya, tak banyak rumah penata laksana abad ke-17 dan ke-18 yang selamat dari beringasnya peradaban kota yang pernah mereka bangun.
Sekitar abad ke-18, banyak warga kelas atas di Batavia membangun berbagai vila di seantero pinggiran kota itu. Penyebabnya, kawasan tembok kota yang kian tak sehat, bising, dan berbau. Situasi di dalam tembok kota Batavia sudah sebegitu padatnya, tak menyisakan tempat untuk membangun rumah baru.
Andries Hartsinck, petinggi VOC di Batavia, membangun sebuah vila di pinggiran Kali Grogol, Palmerah pada 1790-an. Dia berjejak pertama kali di kota itu sebagai akuntan penggajian VOC pada akhir 1774.
Baca Juga : Kisah Malang Hypatia, Dibunuh Karena Melakukan Penelitian Ilmiah
Hartsinck adalah Sang Tuan Tanah yang menguasai Palmerah. Kala itu kawasan Palmerah masih berupa hutan, jauh dari hiruk pikuk kota. Kira-kira dua jam berjalan kaki dari pusat Kota Batavia.
Vila milik Hartsinck berarsitektur Nederlandsche-Indische. Bertakhtakan empat pilar dengan lekukan besi tempa yang menyangga atap terasnya. Tampak depannya menghadap arah matahari terbit. Pekarangannya luas. Vila itu didesain memiliki beberapa karakteristik untuk menyesuaikan dengan iklim tropis.
Hunian ini dibangun dalam dua lantai, lantai dasarnya bergaleri, bergaya atap tradisi Jawa dan memiliki atap ganda yang meluas ke semua sisi. Lantai dasar berubin dengan pola dekoratif, sementara lantai ruang atasnya dari kayu jati. Semuanya memberikan ruang, kesejukan, cahaya, dan udara yang cukup. Bahkan, kenyamanan itu terasa hingga saat ini. Mungkin—boleh dikatakan—inilah kearifan kolonial.
Gaya arsitektur ini diadopsi oleh banyak rumah perkebunan dalam periode 1750 - 1800, sebagai contoh adalah Rumah Pondok Gedeh (dibongkar pada awal 1990-an), Rumah Tjengkareng (dibongkar pada 1980), dan Rumah Tjililitan Besar.
Tampaknya Hartsinck membangun vila itu usai dia pensiun dari tugasnya sebagai Residen Surakarta, setelah sebelumnya berdinas di Pekalongan dan Rembang. Sebagai residen di jantung Jawa, selama bertugas dia tinggal di Fort Vastenburg pada 1788-1790.
Hartsinck memiliki pembawaan yang tenang, berbeda dengan pendahulunya. Tabiat ini tentunya memberikan kemudahan untuk melakukan proses politik dalam agenda VOC.
Namun, mengapa Hartsinck memiliki periode singkat sebagai Residen Surakarta? Para petinggi VOC di Batavia menduga Hartsinck sebagai pengkhianat lantaran menyembunyikan informasi rencana pembantaian orang-orang Eropa yang bermukim di Surakarta. Hartsinck pun disingkirkan dan ditarik kembali ke Batavia pada akhir Agustus 1790.
Namun, pada kenyataannya rumor itu tidak dapat dibuktikan, dan peran konspirasi Hartsinck tentang pembantaian itu juga tidak pernah dijelaskan oleh VOC. Hartsinck difitnah. Dia tak lebih dari korban politik antara Keraton Surakarta dan VOC.
Andries Hartsinck menikahi sembilan perempuan dan memiliki keturunan sepuluh anak, termasuk dua anak dari hubungan tak resmi dengan budaknya.
Andries Hartsinck menikahi sembilan perempuan dan memiliki keturunan sepuluh anak, termasuk dua anak dari hubungan tak resmi dengan budaknya. Hubungan asmara majikan dan budak saat itu sangat lazim, yang kelak melahirkan peradaban indis.
Berikut istri-istri Hartsinck: Saijo Boerat (anaknya bernama Johanna Susanna Hartsinck yang lahir pada 1777; Willemijntje (anaknya bernama Andries Hartsinck dan Paulus Hartsinck. Keduanya lahir pada 1791 dan 1794); Mida (anaknya bernama Pieter Hartsinck, lahir 1793; Roosje van Mandaar (anaknya bernama Frederik Ditloff Hartsinck, lahir 1800); Moetiara van Loean (anaknya bernama Balthazar Frederik Wilhelm Hartsinck, lahir 1800); Malatie van Mandaar (anaknya bernama Anna Hartsinck, lahir 1801); Matra (anaknya bernama Petronella Cornelia Hartsinck, lahir 1794); seorang pribumi mungkin budak (anaknya bernama Sara Cornelia Hartsinck); dan Moetiana van Boegis (anaknya bernama Anthonetta Henrietta Hartsinck).
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR