“Ini perusahaan keluarga, usahanya gambir. Senggarang dulu pusatnya perkebunan gambir, ada lada juga,” ujar Akong Jhonny.
“Nah itu gambir dulu untuk mengawetkan warna kain dan batik,” ujar Akong Srijoto.
“Batik Lasem dan Pekalongan itu pakai gambir”, timpal Akong Anthony. Wah, Pecinan Senggarang terhubung dengan Pecinan Pekalongan dan Lasem oleh gambir rupanya. Tak heran, di beberapa kawasan pecinan Pulau Jawa selalu ada nama jalan yang diberi nama Gambiran.
“Ini sekarang sepi ya. Tapi di Klenteng ramai pengunjung dari resort Bintan,”ujar Akong Jhonny menggambarkan Senggarang. Ia mengusap kening ketika menceritakan bahwa orang muda di Senggarang banyak yang pergi merantau, bahkan tak jarang yang menjadi warga negara Malaysia dan Singapur.
“Kemunduran ekonomi ya, kota ini berubah dalam 4 tahun belakangan, banyak aturan baru,”jawabnya singkat. Ia pun kembali mengajak saya berkeliling rumah tua itu sambil menceritakan banyak hal tentang rumah Letnan Tan. Keluarga Tan datang ke Bintan sejak pertengahan abad 19 dan menetap di Senggarang. Beberapa nama Tan tercatat menjadi kapitan sejak tahun 1844.
“Rumah ini masih seperti dulu. Bersejarah. Mungkin kalau pemerintah kota membantu merawatnya, bisa menjadi tempat kunjungan wisata sejarah,”ujar Akong Jhonny sambil memperlihatkan beberapa barang peninggalan kakeknya berupa medali kepangkatan dan tongkat jabatan sang letnan.
Baca juga: Kisah Perjuangan Penjaga Tradisi Wayang Cecak di Pulau Penyengat
“Jika rumah ini dirawat dan dibantu oleh pemerintah, pasti warga di sini juga mendapat keuntungan. Supaya Senggarang dan warganya hidup ya,” pungkasnya.
Saya mengangguk-angguk sambil mengamini harapan Akong. Saya berdiri di teras rumah pelantarnya. Sesekali melihat kelompok kecil orang-orang yang melintas sambil berbahasa Mandarin. Wisatawan rupanya, batin saya. Saya memutuskan untuk berkeliling Pelantar Senggarang beberapa saat setelah berpamitan dengan Akong Jhonny. Sepanjang perjalanan saya melintas pelantar, saya selalu disapa oleh warga yang bergiat di teras rumahnya. Senyum ramah pun mengembang di bibir mereka pun mereka fasih bercakap Melayu dengan kawan-kawan saya dari Pulau Penyengat. Kali ini benar, saya mendapat pengalaman baru, menjelajah Pecinan Nusantara rasa Melayu!