Kisah Rumah Letnan Tan Soe Kie di Pecinan Senggarang Tanjungpinang

By Agni Malagina, Selasa, 25 Juni 2019 | 16:08 WIB
Letnan Tan dan keluarganya berfoto di area terbuka halaman rumah mereka yang berada di atas pelantar perairan laut Pulau Senggarang. (Agni Malagina)

Nationalgeographic.co.id - Menjelajah Tanjungpinang tilas kerajaan Melayu Riau Lingga nan masyur di Pulau Bintan tak lengkap rasanya jika tak mengunjungi kawasan pecinan di wilayah Tanjungpinang kota dan Pulau Senggarang. Kawasan pecinan tertuanya terletak di Pulau Senggarang. Anda bisa menyeberang dari pelabuhan kapal kecil di Pelantar 1 atau Pelantar 3 Tanjungpinang kota menuju pelabuhan di Pulau Senggarang.

Tanjungpinang juga merupakan kota lama tempat terpusatnya permukiman baru masyarakat Cina Teociu dan Hokkian pada abad 19 hingga abad 20. Tanjungpinang dikenal dengan nama Lao Lai (dalam bahasa Teouciu dan Hokkian) yang artinya ‘datang ke Riau’. Senggarang terkenal dengan nama Chao Po ‘kotanya orang Teociu’, sedangkang Tanjungpinang terkenal dengan nama Fu Po ‘kotanya orang Hokkian’. Bagi generasi tua yang tinggal di Tanjungpinang saat ini, Senggarang dikenal dengan nama Toa Po (kota lama tua) dan Tanjungpinang disebut Siao Po (kota baru).

Senggarang, merupakan permukiman tua yang dibangun oleh komunitas Cina suku Teociu mulai awal abad 18 sekitar tahun 1722. Senggarang berada di seberang kota Tanjungpinang yang sekarang merupakan ibukota propinsi Kepulauan Riau sejak tahun 1958, sebelumnya ia merupakan ibukota Propinsi Riau yang kini ibukotanya telah pindah ke Pekanbaru Riau (daratan).

Baca juga: Singgah dan Mencecapi Legenda Kuliner Kopi di Tanjungbalai Riau

Rumah Letnan Tan Soe Kie di pelantar Pulau Senggarang jauh dari kesan megah layaknya rumah-rumah gedung mewah dari pejabat Cina yang ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa dan Sumatera. (Agni Malagina)

Siang itu saya sengaja berkunjung ke sebuah rumah bersejarah tilas hunian salah seorang Letnan Cina bernama Tan Soe Kie. Rumah tersebut merupakan salah satu tempat bersejarah di Pulau Senggarang selain Klenteng Besar Senggarang, Klenteng Akar, dan permukiman tua Pecinan Senggarang yang kaya akan nilai budaya akulturasi Melayu Cina Bugis.

Wajah Akong (kakek) Jhonny Tan alias Tan Hong Chuang kelahiran tujuh puluh satu tahun lalu tampak ceria walaupun ia datang tergopoh-gopoh sambil menyambut saya, duo Akong - Akong Srijoto dan Akong Anthony – dan beberapa kawan dari Pulau Penyengat di rumah kakeknya, Letnan Tan Soe Kie (Tan Swie Kie) dengan jabatan Liutenant der Chineesen te Noord Bintan (Letnan Cina untuk Bintan Utara) yang menjabat dari tahun 1916 sampai dengan tahun 1942. Dalam Almanak Hindia Belanda, nama Tan Soe Kie juga tercatat juga dengan ejaan Tan Swie Kie. Ia memangku jabatan letnan dan diangkat pada 19 Juli 1916 hingga selesai menjabat pada tahun 1942 (bersamaan dengan selesainya sistem Kapitan Cina di Hindia Belanda). Rumah berkelir warna merah muda itu terletak di Senggarang RT 1 RW 2, No. 21. 

“Kakek itu anak ke dua dari lima bersaudara. Dulu ini rumah ramai, semua tinggal di sini. Kakek meninggal pada tahun 1962 dalam usia 70 tahun, awak (saya) berusia 15 tahun,”ujar Akong Jhonnny sambil menyebutkan bahwa rumah tersebut memiliki luas sekitar 60x30 meter.

Rumah bercat merah muda itu terletak di wilayah pecinan lawas Senggarang disebut Rumah Yuan He Xing (Nguan Hak Hen) diambil dari nama perusahaan gambir dan karet yang dimiliki keluarga Tan. Sambil mengajak saya berkeliling rumah di atas perairan laut yang mengeliling Senggarang. Rumah tersebut sejatinya memiliki dua puluh kamar dan lima buah dapur untuk masing-masing keluarga!

Baca juga: Melacak Jejak Peristirahatan Sang Arsitek Masjid Jami Sumenep

Altar rumah Letnan Tan yang masih digunakan untuk ritual pemujaan leluhur. Terdapat kaligrafi Cina bertuliskan aksara Mandarin yang merupakan puisi 'nama' keluarga Tan per generasi. Saat ini, keluarga Tan di Senggarang telah menempati 13 generasi marga dalam puisi 'nama' tersebut. (Agni Malagina)

“Saya pindah dari rumah ini 40 tahun lalu setelah menikah, ya terlalu banyak orang di sini dan ingin menghindari konflik. Sekarang rumah ini sepi,” ujar Jhonny. Rumah bersejarah itu kini ditinggali oleh dua adik sepupu perempuan Jhonny yang bernama An Neh (65) dan Xiao Ling (44).

“Ini perusahaan keluarga, usahanya gambir. Senggarang dulu pusatnya perkebunan gambir, ada lada juga,” ujar Akong Jhonny.

“Nah itu gambir dulu untuk mengawetkan warna kain dan batik,” ujar Akong Srijoto. 

“Batik Lasem dan Pekalongan itu pakai gambir”, timpal Akong Anthony. Wah, Pecinan Senggarang terhubung dengan Pecinan Pekalongan dan Lasem oleh gambir rupanya. Tak heran, di beberapa kawasan pecinan Pulau Jawa selalu ada nama jalan yang diberi nama Gambiran. 

“Ini sekarang sepi ya. Tapi di Klenteng ramai pengunjung dari resort Bintan,”ujar Akong Jhonny menggambarkan Senggarang. Ia mengusap kening ketika menceritakan bahwa orang muda di Senggarang banyak yang pergi merantau, bahkan tak jarang yang menjadi warga negara Malaysia dan Singapur.

“Kemunduran ekonomi ya, kota ini berubah dalam 4 tahun belakangan, banyak aturan baru,”jawabnya singkat. Ia pun kembali mengajak saya berkeliling rumah tua itu sambil menceritakan banyak hal tentang rumah Letnan Tan. Keluarga Tan datang ke Bintan sejak pertengahan abad 19 dan menetap di Senggarang. Beberapa nama Tan tercatat menjadi kapitan sejak tahun 1844.

“Rumah ini masih seperti dulu. Bersejarah. Mungkin kalau pemerintah kota membantu merawatnya, bisa menjadi tempat kunjungan wisata sejarah,”ujar Akong Jhonny sambil memperlihatkan beberapa barang peninggalan kakeknya berupa medali kepangkatan dan tongkat jabatan sang letnan.

Baca juga: Kisah Perjuangan Penjaga Tradisi Wayang Cecak di Pulau Penyengat

Tanda pangkat dan medali Letnan Tan Soe Kie dari Pemerintah Hindia Belanda. (Agni Malagina)

“Jika rumah ini dirawat dan dibantu oleh pemerintah, pasti warga di sini juga mendapat keuntungan. Supaya Senggarang dan warganya hidup ya,” pungkasnya.

Saya mengangguk-angguk sambil mengamini harapan Akong. Saya berdiri di teras rumah pelantarnya. Sesekali melihat kelompok kecil orang-orang yang melintas sambil berbahasa Mandarin. Wisatawan rupanya, batin saya. Saya memutuskan untuk berkeliling Pelantar Senggarang beberapa saat setelah berpamitan dengan Akong Jhonny. Sepanjang perjalanan saya melintas pelantar, saya selalu disapa oleh warga yang bergiat di teras rumahnya. Senyum ramah pun mengembang di bibir mereka pun mereka fasih bercakap Melayu dengan kawan-kawan saya dari Pulau Penyengat. Kali ini benar, saya mendapat pengalaman baru, menjelajah Pecinan Nusantara rasa Melayu!