Seharusnya penerbitan IMB merujuk pada perda zonasi dan tata ruang yang masih digodok Anies, kata Bestari.
"Dasar dari membuat IMB itu adalah peruntukan di atas tanah itu apa? Mana hijau, mana konservasi, mana biru, mana kuning perumahan, iya kan? Itu kan belum ada,"
"Kita enggak mau nanti semuanya seperti itu, sudah jadi dulu semua (bangunannya) baru perda tinggal ngikutin. Kalau kita nanti maunya di situ enggak ada bangunan gimana? Kan harus dibongkar. Tapi itu akan menimbulkan permasalahan baru," tuturnya.
Meski demikian, ia mengaku belum merumuskan rekomendasi seandainya hak interpelasi bergulir di lantai parlemen.
Baca Juga: Jakarta dan Rencana Penggunaan Bus Listrik Bagi Bus Transjakarta
"Nanti kita lihat lagi pandangan-pandangan berbagai pihak, sebaiknya kalau begini bagaimana? Supaya jangan jadi kesalahan yang bertumpuk-tumpuk," imbuh Bestari.
Pada bulan Desember 2017, selain menarik dua draf raperda reklamasi dari pembahasan DPRD, Anies yang ketika itu baru dua bulan menjabat sebagai gubernur Jakarta juga mengirim surat permohonan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN untuk menunda dan membatalkan seluruh HGB semua pihak ketiga Pulau C, D dan G yang telah dikuasai pemprov.
Pulau C dan D merupakan pulau yang dikelola pengembang PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group.
Pada Juni 2018, ia kemudian menyegel bangunan-bangunan yang sudah lebih dulu didirikan tanpa izin di atas Pulau C dan D. Tak lama, Anies lantas mencabut izin pembangunan 13 pulau reklamasi yang belum terbangun.
Saat melakukan penyegelan 7 Juni 2018, seperti dikutip detik.com, Anies berucap, "Nanti kita lihat, karena kita lihat juga sesuai dengan rencana pengembangannya seperti apa."
Pakai Pergub Ahok, LSM sindir Anies Baswedan
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (RCUS) Elisa Sutanudjaja menyindir Anies Baswedan yang berdalih di belakang Pergub DKI Nomor 206 Tahun 2016 untuk penerbitan izin mendirikan bangunan di pulau reklamasi.Pergub itu diketahui ditandatangani gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sebagai panduan rancang kota pulau C, pulau D, dan pulau E hasil reklamasi di utara Jakarta. Pergub itu ditetapkan Ahok pada 25 Oktober 2016.Menurut Elisa, seperti dilansir oleh CNN Indonesia, jika Anies memang mau menghentikan swasta dalam proses pembangunan di pulau reklamasi seharusnya mencabut atau mengubah pergub tersebut, dan menunggu perda baru yang masih akan dibahas dengan DPRD DKI Jakarta.
Baca Juga: Antisipasi Rabies, KPKP DKI Jakarta Laksanakan Sosialisasi dan Vaksin Serentak
"Saya selalu bilang pergub itu harus dibatalin atau diubah. Pokoknya kalau misalnya mau serius bikin Pulau C dan Pulau D untuk kepentingan publik, itu pergubnya dulu harus diubah," kata Elisa saat dihubungi, Jumat (14/6). "Karena pergub itu (206/2016) yang bisa menjadi dasar bikin untuk HGB dan IMB [di pulau reklamasi]," ucapnya.
Elisa mengatakan jika Anies memang memiliki visi yang berbeda dari Gubernur sebelumnya terkait masalah reklamasi, seharusnya secara tegas harus mencabut dan mengubah pergub tersebut. Kemudian, Elisa pun menjelaskan janji Anies adalah menjadikan kawasan Pulau Reklamasi tersebut menjadi milik publik, bukan dikuasai oleh swasta, sebagaimana yang terjadi saat ini."Nah, kalau saya bilang, kalau dia (Anies) bilang (reklamasi) untuk kepentingan publik itu harus tertuang di Panduan Rencana Tata Ruang kotanya, bukannya malah mengakomodasi panduan rancang kota gubernur sebelumnya," kata dia.
Sebelumnya, kemarin Anies meminta publik untuk membedakan antara penghentian reklamasi dan IMB yang terbit untuk bangunan-bangunan yang sudah berdiri di sana. Dari jawaban resmi Anies yang diterima lewat Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta Benny Agus Chandra, menyatakan IMB tersebut bukan soal reklamasi sudah dihentikan atau tidak, tapi soal izin pemanfaatan lahan hasil reklamasi dengan cara mendirikan bangunan.Ia mengatakan berdasarkan PP Nomor 36 tahun 2005 ketika kawasan yang belum memiliki RTRW dan RDTR, maka pemda dapat memberikan persetujuan pendirian bangunan untuk jangka waktu sementara."Pulau C dan D sudah ada di RTRW DKI Jakarta namun belum ada di RDTR DKI Jakarta. Oleh karenanya, gubernur saat itu mengeluarkan Pergub 206 tahun 2016 dengan mendasarkan pada PP tersebut. Jika tidak ada pergub tersebut maka tidak bisa ada kegiatan pembangunan di lahan hasil reklamasi. Suka atau tidak suka atas isi Pergub 206 Tahun 2016, itu adalah fakta hukum yang berlaku dan mengikat," tuturnya.
Sebagai landasan hukum, sambung Anies, Pergub 206/2016 pengembang pun melakukan pembangunan di pulau hasil reklamasi. Jika pergub itu dicabut untuk membongkar bangunan, lanjutnya, kepastian atas hukumnya pun ikut menghilang. "Bila dilakukan, masyarakat, khususnya dunia usaha akan kehilangan kepercayaan pada pergub dan hukum. Efeknya, pergub yang dikeluarkan sekarang bisa tidak lagi dipercaya, karena pernah ada preseden seperti itu," tutur Anies.