Nationalgeographic.co.id - Dunia berduka atas kematian Tam, badak Sumatra jantan terakhir di Malaysia. Kematiannya diduga karena usia senja. Tam mencapai usia tiga puluhan tahun, tergolong lansia bagi badak Sumatra. Pada 2008, dari alam liar dia dimasukkan ke penangkaran di Borneo Malaysia.
Kesehatannya memburuk sejak April 2019 dan pada akhirnya meninggal pada Mei lalu. Dia meninggalkan seekor betina bernama Iman yang tidak dapat bereproduksi karena tumor yang pecah di rahimnya.
Diperkirakan masih terdapat 80 ekor badak Sumatra yang bertahan hidup di belantara Indonesia. Bukan jumlah yang besar, tetapi angka ini sedikit lebih baik daripada badak Jawa yang mungkin jumlahnya hanya 58 ekor.
Sebagai perbandingan, badak putih Afrika, yang menarik perhatian besar, diperkirakan berjumlah 20.000. Akan tetapi populasi badak Sumatra-badak paling kecil dan paling berambut di dunia-telah menurun 70% dalam dua dekade terakhir, penyebab utamanya adalah perburuan dan hilangnya habitat. Sekarang spesies ini digolongkan sebagai spesies terancam punah dengan risiko kepunahan yang paling tinggi.
Mayoritas badak Sumatra yang tersisa diperkirakan berada di Sumatra. Ada sedikit kemungkinan beberapa hidup di Kalimantan, Indonesia. Mengevaluasi populasi badak Sumatra sangat sulit, karena kelangkaannya. Spesies ini hidup menyebar di hutan pegunungan yang lebat.
Kamera penangkap gambar menjadi alat utama untuk menghitung populasi badak yang relatif kecil dan pemalu ini, tetapi bahkan perkiraan 80 individu ini tingkat akurasinya dipertanyakan. Mungkin ada lebih dari 80 di alam, tapi kemungkinan besar lebih sedikit. Mungkin sedikitnya hanya 30 ekor yang tersisa.
Di Sumatra, populasinya dianggap terisolasi karena habitatnya terfragmentasi menjadi kantong-kantong kecil akibat deforestasi. Hasilnya adalah kawin sedarah dan ini berarti, secara genetik, sub-populasi ini memiliki masa depan yang suram. Mereka telah punah di alam liar di Malaysia sejak 2015. Badak Tam dan Iman tidak dapat menjadi harapan bagi spesies tersebut. Tanpa kemampuan bereproduksi, populasi badak Sumatra di Malaysia telah punah secara fungsional selama bertahun-tahun.
Ukuran populasi yang kecil, badak yang hidup berjauhan satu sama lain, dan terisolasinya habitat yang layak menyebabkan konsekuensi fatal bagi badak Sumatra. Jika betina tidak secara teratur kawin, mereka memiliki kecenderungan untuk mengembangkan kista rahim. Inilah yang membuat badak Iman tidak subur. Fenomena ini disebut ahli biologi konservasi sebagai “efek Allee”: semakin mengecil suatu populasi, semakin sedikit individu yang dapat sukses bereproduksi. Pada akhirnya, spesies ini akan menuju pusaran kepunahan.
Pembiakan di penangkaran
Kematian Tam mungkin mendorong rencana ambisius untuk menyelamatkan badak Sumatra–dengan upaya bersama untuk menangkap sebanyak mungkin badak liar yang tersisa dan membiakkannya di penangkaran.
Seekor badak betina muda bernama Pahu–yang habitat hutannya dihancurkan oleh perusahaan tambang–ditangkap pada 2018 dan tampaknya hidup dengan baik dalam penangkaran. Sayangnya, terdapat risiko terhadap strategi ini. Dengan mengambil badak dari habitatnya, kita mengurangi kemungkinan mereka berkembang biak di alam liar.
Sebagai seorang ahli ekologi, sulit bagi saya untuk mendukung penangkaran. Namun, mau tidak mau, hal itu mungkin satu-satunya harapan untuk menyelamatkan spesies yang tampaknya akan perlahan-lahan menjadi punah.
Konon, keberhasilan pembiakan badak Sumatra di penangkaran masih belum terjamin. Telah ada beberapa keberhasilan di kebun binatang Amerika Serikat, tetapi dari 45 badak yang ditangkap sejak 1984, hanya empat anak badak yang telah lahir). Bahkan geopolitik memperlakukan spesies ini dengan buruk. Malaysia punya Iman dan sel telurnya–satu-satunya badak penangkaran Sumatra yang masih hidup di pulau Kalimantan. Malaysia juga punya sperma Tam yang baru saja mati.
Akan tetapi, Malaysia harus berkolaborasi dengan Indonesia, yang memiliki tujuh badak di penangkaran yang sejauh ini menghasilkan dua anak.
Bangkit dari kematian?
Harapan terakhir mungkin harus menggunakan telur dan sperma yang badak, termasuk Iman dan Tam, untuk melakukan inseminasi buatan atau bayi tabung dengan ibu pengganti dari spesies yang sama. Sebab, badak Sumatra benar-benar unik, mereka adalah satu-satunya anggota dari genus mereka. Dengan tidak adanya spesies badak terkait, satu-satunya kandidat pengganti harus merupakan badak Sumatra lain. Jika berhasil, keturunannya berpotensi berasal dari gen yang hilang, seperti yang telah disarankan untuk badak putih Afrika.
Meski ilmu ini sedang berkembang, “de-extinction/membangkitkan spesies yang punah” masih merupakan kemungkinan dengan keberhasilan rendah yang mahal dan membawa dilema praktis dan etisnya sendiri.
Jika berhasil, kita bisa membiakkan spesies yang telah mati secara ekologis. Saya ingin hewan liar berada di alam liar sehingga dapat berkontribusi pada ekosistem tempat mereka berevolusi dan tidak hidup di kebun binatang selamanya.
Kedua mode penyelamatan–penangkaran dan kebangkitan genetik–adalah upaya yang terlalu kecil dan terlalu terlambat, seperti petugas pemadam kebakaran mengambil tindakan ketika kerusakan sudah terlalu jauh.
Semakin lama masyarakat menunggu untuk membantu spesies yang jumlahnya menurun, semakin besar keterlambatan dalam mengatasi faktor-faktor yang mengancam spesies dalam bahaya kepunahan, seperti perburuan liar, hilangnya habitat, spesies non-asli, atau perubahan iklim. Akibatnya, semakin rendah kemungkinan keberhasilan upaya penanganan dan semakin besar biaya yang dihabiskan.
Tam hanyalah seekor badak. Dia bukan yang terakhir dari spesiesnya, atau bahkan pejantan terakhir dari spesiesnya, tetapi kita kehilangan satu lagi dari populasi yang sudah terbatas. Semakin kecil ukuran populasi, semakin besar dampak kehilangan satu ekornya.
Matinya Tam membunyikan alarm yang memperingatkan kita akan ketidakmampuan kita untuk bertindak cepat untuk menngatasi ancaman terhadap spesies, yang tujuan akhirnya untuk menyelamatkan kehidupan di Bumi.
Setiap badak Sumatra yang mati sekarang akan disambut dengan peliputan dan perhatian publik. Ini adalah upaya yang benar, tetapi kita juga harus mulai melakukan tindakan konservasi cukup dini agar upaya itu tidak sia-sia.