“Apalagi jika menjadi ibu kota. Identitas orang asli ini yang kita tidak ingin hilang dan tergerus dengan banyaknya orang yang akan datang ke Palangkaraya. Identitas ini perlu dikuatkan, di sanalah peran akademisi, budayawan, tokoh masyarakat yang peduli dengan masyarakat Dayak,” tambah Saputra.
Baca Juga: Tanah Turun 25 Sentimeter Per Tahun, Ibu Kota Iran Akan Segera Tenggelam?
Menurut Saputra, masyarakat Dayak adalah komunitas yang terbuka. Sejak lama, di Kalimantan Tengah pengaruh pendatang dari Banjar dan Jawa terasa di berbagai sektor. Dalam bidang ekonomi, suku Banjar memiliki penguasaan relatif besar. Sementara peran politik masyarakat Jawa juga sangat terasa. Dalam pemilihan kepala daerah, biasanya kombinasi antarsuku diterapkan untuk memperoleh dukungan.
Kondisi ini membuktikan bahwa masyarakat asli Kalimantan Tengah relatif bisa menerima pendatang dari luar. Kuncinya, tambah Saputra, adalah penerapan pepatah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Saputra menilai, seiring kajian dan dimulainya program besar pemindahan ibu kota, masyarakat lokal juga harus disiapkan. Di kota besar seperti Palangkaraya, upaya itu mungkin relatif lebih mudah dibanding di pedalaman. Karena itulah, langkah penyiapan masyarakat perlu dimulai sejak sekarang agar mampu menerima perubahan tanpa gejolak sosial yang berarti.
Baca Juga: Coral Triangle, Ibu Kota Kehidupan Para Makhluk Laut di Asia
Waspada Banjir dan Kebakaran Lahan
Ibu kota baru akan membutuhkan lahan besar yang membawa dampak bagi lingkungan. Pada sisi yang lain, Kalimantan secara umum rentan bencana karena praktik pembukaan hutan dan tambang. Paparan itu disampaikan Dimas Novian Hartono, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah kepada VOA. Menurutnya, kawasan ini rentan bencana ekologis seperti banjir dan kebakaran lahan.
Berita baiknya, dari sisi penanggulangan bencana ekologis, Kalimantan Tengah menjadi salah satu percontohan dalam proyek restorasi gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Pemerintah daerah juga sedang mendorong kajian terkait larangan pembakaran untuk pembukaan lahan baru, tetapi butuh waktu hingga upaya itu memberi dampak positif.
“Kondisi lingkungan di Kalteng ini sudah sangat kritis, sehingga memang prosesnya tidak bisa dalam waktu lima tahun untuk menyelesaikan masalah. Permasalahan kebakaran akan terus terjadi karena kebijakan itu tidak diiringi dengan penegakan hukum, khususnya terhadap perusahaan yang membuka lahan di atas lahan gambut tanpa melihat kondisi lingkungannya,” kata Dimas.
Dimas meminta, upaya pembukaan lahan yang nantinya dilakukan jangan sampai mengganggu proses perbaikan sumber daya alam di Kalimantan Tengah yang saat ini berjalan. Meskipun perencanaan ibu kota di tanah mineral, bukan gambut dan kawasannya tertentu, namun wilayah pengembangannya mungkin tidak terkontrol.
Pemerintah juga harus menyelaraskan program ini dengan upaya melindungi hutan. Kaitannya dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat, harus diperhatikan betul status lahan yang dipakai. Bukan sebatas soal ganti rugi, tetapi kata Dimas yang lebih penting adalah pengakuan terhadap hak kelola masyarakat setempat, terutama hak adat.
Dalam praktiknya, kondisi di lapangan harus menjadi faktor penentu. Apakah lokasi tersebut benar-benar lahan kritis yang bisa diperuntukkan bagi lokasi ibukota atau hutan sekunder yang harus diamankan. Walhi mendorong tindakan penyelamatan bagi hutan yang tersisa.
“Wilayah kelola yang masih dilindungi masyarakat harus diperhatikan karena ini menyangkut kondisi sosial. Masyarakat adat melindungi wilayah biasanya dengan unsur tertentu, ini harus dipahami. Misalnya ada sebutan hutan larangan. Kalau kita kaji lebih dalam, itu sebenarnya daerah serapan air,” tambah Dimas (VOA Indonesia)