Nationalgeographic.co.id - Bukit Soeharto, Bukit Nyuling, dan Kawasan Segitiga Palangkaraya disebut-sebut menjadi altenatif ibu kota baru menggantikan Jakarta. Ketiga wilayah ini berada di Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Seusai mengikuti rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (18/6), Bambang Brodjonegoro menyampaikan kepada media, bahwa ibu kota sudah hampir pasti pindah. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Bambang, tinggal menunggu keputusan Presiden Jokowi mengenai lokasi pastinya.
“Ya, tahun 2020 pasti ada, kan kita sudah ada persiapan. Tapi maksud saya anggaran signifikan dalam ukuran dan kegiatan yang masif, baru 2021. Konstruksi benar-benar mulai dilakukan. Tahun 2020 kan baru perencanaan,” kata Bambang seperti dikutip oleh sejumlah media.
Baca Juga: Disebut Jadi Calon Ibu Kota Baru, Apakah Benar Sejarah Kota Pontianak Berhubungan dengan Kuntilanak?
Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, rencana pemindahan ibu kota ini menjadi perbincangan hangat. Saputra Adiwijaya, sosiolog dari Universitas Palangkaraya kepada VOA menceritakan bagaimana warga setempat sangat berharap Jokowi memilih daerah mereka nantinya.
“Luar biasa tanggapan masyarakat, dari akademisi tahun lalu sudah ada survei. Seminar internasional yang pernah kami adakan, temanya juga itu, tentang pemindahan ibu kota. Sepertinya seluruh lapisan masyarakat mengharapkan ini betul. Semua disiapkan oleh gubernur yang sekarang,” ujar Saputra.
Baca Juga: New Delhi, Ibu Kota Negara dengan Udara Paling Tercemar di Dunia
Masyarakat Lokal Perlu Disiapkan
Tidak hanya berdampak bagi sebuah kawasan, pembangunan ibu kota baru tentu berpengaruh bagi masyarakat, baik positif maupun negatif. Saputra meyakini, akan ada perubahan drastis di masyarakat lokal. Sekilas masyarakat menyatakan senang dan siap menjadi warga ibu kota, tetapi di balik itu, kata Saputra, kesiapan itu masih dipertanyakan.
Saputra memaparkan, warga lokal mayoritas adalah suku Dayak dengan nilai budayanya. Jika dilihat dari sudut pandang desa sebagai tempat pelestarian nilai budaya, tanpa menjadi ibu kota pun, masyarakat asli pelan-pelan telah kehilangan saringan pengaruh budaya luar.
“Apalagi jika menjadi ibu kota. Identitas orang asli ini yang kita tidak ingin hilang dan tergerus dengan banyaknya orang yang akan datang ke Palangkaraya. Identitas ini perlu dikuatkan, di sanalah peran akademisi, budayawan, tokoh masyarakat yang peduli dengan masyarakat Dayak,” tambah Saputra.
Baca Juga: Tanah Turun 25 Sentimeter Per Tahun, Ibu Kota Iran Akan Segera Tenggelam?
Menurut Saputra, masyarakat Dayak adalah komunitas yang terbuka. Sejak lama, di Kalimantan Tengah pengaruh pendatang dari Banjar dan Jawa terasa di berbagai sektor. Dalam bidang ekonomi, suku Banjar memiliki penguasaan relatif besar. Sementara peran politik masyarakat Jawa juga sangat terasa. Dalam pemilihan kepala daerah, biasanya kombinasi antarsuku diterapkan untuk memperoleh dukungan.
Kondisi ini membuktikan bahwa masyarakat asli Kalimantan Tengah relatif bisa menerima pendatang dari luar. Kuncinya, tambah Saputra, adalah penerapan pepatah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Saputra menilai, seiring kajian dan dimulainya program besar pemindahan ibu kota, masyarakat lokal juga harus disiapkan. Di kota besar seperti Palangkaraya, upaya itu mungkin relatif lebih mudah dibanding di pedalaman. Karena itulah, langkah penyiapan masyarakat perlu dimulai sejak sekarang agar mampu menerima perubahan tanpa gejolak sosial yang berarti.
Baca Juga: Coral Triangle, Ibu Kota Kehidupan Para Makhluk Laut di Asia
Waspada Banjir dan Kebakaran Lahan
Ibu kota baru akan membutuhkan lahan besar yang membawa dampak bagi lingkungan. Pada sisi yang lain, Kalimantan secara umum rentan bencana karena praktik pembukaan hutan dan tambang. Paparan itu disampaikan Dimas Novian Hartono, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah kepada VOA. Menurutnya, kawasan ini rentan bencana ekologis seperti banjir dan kebakaran lahan.
Berita baiknya, dari sisi penanggulangan bencana ekologis, Kalimantan Tengah menjadi salah satu percontohan dalam proyek restorasi gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Pemerintah daerah juga sedang mendorong kajian terkait larangan pembakaran untuk pembukaan lahan baru, tetapi butuh waktu hingga upaya itu memberi dampak positif.
“Kondisi lingkungan di Kalteng ini sudah sangat kritis, sehingga memang prosesnya tidak bisa dalam waktu lima tahun untuk menyelesaikan masalah. Permasalahan kebakaran akan terus terjadi karena kebijakan itu tidak diiringi dengan penegakan hukum, khususnya terhadap perusahaan yang membuka lahan di atas lahan gambut tanpa melihat kondisi lingkungannya,” kata Dimas.
Dimas meminta, upaya pembukaan lahan yang nantinya dilakukan jangan sampai mengganggu proses perbaikan sumber daya alam di Kalimantan Tengah yang saat ini berjalan. Meskipun perencanaan ibu kota di tanah mineral, bukan gambut dan kawasannya tertentu, namun wilayah pengembangannya mungkin tidak terkontrol.
Pemerintah juga harus menyelaraskan program ini dengan upaya melindungi hutan. Kaitannya dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat, harus diperhatikan betul status lahan yang dipakai. Bukan sebatas soal ganti rugi, tetapi kata Dimas yang lebih penting adalah pengakuan terhadap hak kelola masyarakat setempat, terutama hak adat.
Dalam praktiknya, kondisi di lapangan harus menjadi faktor penentu. Apakah lokasi tersebut benar-benar lahan kritis yang bisa diperuntukkan bagi lokasi ibukota atau hutan sekunder yang harus diamankan. Walhi mendorong tindakan penyelamatan bagi hutan yang tersisa.
“Wilayah kelola yang masih dilindungi masyarakat harus diperhatikan karena ini menyangkut kondisi sosial. Masyarakat adat melindungi wilayah biasanya dengan unsur tertentu, ini harus dipahami. Misalnya ada sebutan hutan larangan. Kalau kita kaji lebih dalam, itu sebenarnya daerah serapan air,” tambah Dimas (VOA Indonesia)