Nationalgeographic.co.id— Perang Jawa pecah di Yogyakarta pada pertengahan 1825. Namun, kasak-kusuk yang tersiar hingga pantai utara Jawa masih berseliweran. Kabar yang terwartakan pun beragam: seorang raja tengah memberontak, musuh dari luar negeri yang tengah berperang dengan serdadu Belanda, hingga aksi gerombolan pengacau. Di Semarang, kabar tersebut sungguh menggelisahkan warga.
Politik segregasi telah menjadi karakter Perang Jawa. Pembantaian warga pecinan yang dilakukan laskar Dipanagara bukan hal garib pada awal perang. Sejak mendeklarasikan diri sebagai “Sultan Ngabdulkamid Erucakra Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah” pada Agustus 1825, Dipanagara menyerukan untuk membinasakan orang Belanda dan Cina di Tanah Jawa, jika mereka tidak bersedia menganut Islam. Tampaknya, pada awal perang ini Sang Pangeran melihat bahwa orang Cina merupakan sumber penindasan perekonomian Jawa.
Pembantaian warga pecinan yang dilakukan laskar Dipanagara bukan hal garib pada awal perang.
Baru pada bulan-bulan berikutnya, warga pecinan Semarang mengetahui peristiwa yang sesungguhnya. Para serdadu Belanda kerap singgah di Semarang, sebelum mereka melanjutkan penumpasan pemberontakan ke Grobogan. Warga menjuluki masa-masa itu sebagai Geger Dipanagara.
Sekitar seabad setelah kecamuk Perang Jawa, Liem Thian Joe (1895-1963) menulis tentang kegelisahan warga pecinan Semarang ketika marak pembantaian orang-orang Cina yang tampaknya dilakukan oleh laskar Dipanagara. Liem merupakan seorang jurnalis kawakan asal Parakan, namun besar di Semarang.
Demi keamanan kawasan Pecinan Semarang, Liem berkisah, Kapitan Cina Tan Tiang Tjhing mengajukan permintaan kepada pemerintah Belanda. Permintaan Sang Kapitan untuk membuat pintu gerbang di empat penjuru pecinan pun dikabulkan.
Baca juga: Keraton Yogyakarta Terlibat dalam Siasat Menjebak Dipanagara?
Satu gerbang dibangun di ujung Jalan Sebandaran, di jalan yang membelok ke Jagalan. Kemudian gerbang lainnya di mulut Jalan Cap-kauw-king (kini Jalan Wotgandul Barat) kawasan Petak Sembilanbelas di Beteng. Gerbang di Gang Warung (kini pintu utama pecinan) sekitar ujung barat Pecinan Lor. Kemudian, gerbang di seberang Jembatan Pekojan (kini Jalan Pekojan). Liem berkisah bahwa keempat gerbang itu dibangun lewat dana yang dikumpulkan dari penghuni Pecinan Semarang.
Liem mengungkapkan bahwa keempat pintu gerbang itu dilapisi tembok tebal sehingga tidak mudah didobrak. Dalam satu gerbang dibuat pintu besar dan pintu kecil yang dibuat di daun pintu besar. Gerbang itu dijaga bergiliran oleh warga pecinan yang sudah dewasa pada setiap malam.
“Pintu itu ditutup setiap hari jika cuaca mulai gelap,” ungkap Liem, “hanya mereka yang punya keperluan penting saja yang diperkenankan keluar, dan mereka harus lewat pintu kecil yang sengaja dibuat di daun pintu itu, sekedar cukup buat satu orang keluar atau masuk.”
Liem mengungkapkan bahwa keempat pintu gerbang itu dilapisi tembok tebal sehingga tidak mudah didobrak.
Salah satu pembantaian sadis dilakukan oleh Raden Ayu Yudakusuma, anak perempuan dari Sultan Kedua. Dia merupakan komandan pembantaian warga Cina di Ngawi pada September 1826. Akhir tahun berikutnya, Raden Tumenggung Aria Sasradilaga, ipar Dipanagara, membantai warga pecinan di Lasem dan menjamahi perempuan Cina secara paksa—pemerkosaan.
Tampaknya kabar pembantaian di kawasan di pesisir utara Jawa itu sampai juga ke telinga Kapitan Cina Tan Tiang Tjhing. Dia telah mengambil keputusan kritis: Jika warganya kalah dalam pertempuran ini, Klenteng Tay Kak Si berikut perempuan dan anak-anak yang mengungsi di dalamnya akan dibakar supaya mereka tidak mengalami penganiayaan. Sang Kapitan pun membuat pertahanan berupa tumpukan kayu-kayu bakar di sekeliling klenteng.