Kegelisahan Pecinan Semarang Ketika Menghadapi Geger Dipanagara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 21 Juni 2019 | 19:16 WIB
Batik bertema Perang Jawa koleksi Museum Danar Hadi, Surakarta. Perang ini pecah pada Rabu, 20 Juli 1825. Awal perang panjang dan melelahkan ini ditandai penyerbuan dan pembakaran kediaman Dipanagara di Tegalrejo oleh pasukan gabungan Belanda-Keraton. (Mahandis Yoanata Thamrin/NGI)
 
Salah satu gerbang Pecinan Semarang yang dibangun di empat penjuru. Gerbang ini diduga dibangun pada awal Perang Jawa. Kini, bangunan bersejarah ini telah lenyap. Foto dalam bukun"Riwayat Semarang" karya Liem Thian Joe, yang diterbitkan pertama kali oleh Boekhandel Ho Kim Joe-Semarang-Bataviapada 1933. Pada 2004, Penerbit Hasta Wahana Jakarta menerbitkan kembali. ("Riwayat Semarang"—Liem Thian Joe)
 

Liem berkisah, suatu hari pada 1826 warga pecinan segera menutup warung mereka dan bersiap menghadapi perlawanan para “berandal”—demikian Liem menyebut gerombolan pengacau yang kerap  menyerang pecinan. Kekuatan dipusatkan di gerbang Pekojan karena mereka beranggapan “berandal” yang menyerang pecinan pasti melewati gerbang tersebut.

“Orang telah memilih klenteng besar sebagai tempat pengorbanan,” ungkap Liem, “tidak ada tempat yang lebih suci daripada klenteng [...] hingga jika mereka dibakar di situ, niscaya roh mereka akan mendapat perlindungan.”

Keresahan itu tak hanya melanda warga Pecinan Semarang, tetapi juga tetangga mereka: Warga Pekojan—kampung muslim keturunan Koja asal Gujarat, India barat. Liem mengisahkan kedua kampung itu pada akhirnya bekerja sama menghalau para pengacau yang kerap membantai orang-orang Cina pada tahun-tahun awal Perang Jawa. Tampaknya perbedaan keyakinan tidak menghalangi mereka untuk memberikan teladan hidup bertetangga.

Mereka bergerak ke Gedangan, sisi timur kota. Orang-orang Koja berada di barisan depan, sementara orang-orang Cina berada di barisan belakang. “Kalau mereka berpapasan dengan berandal,” kisah Liem, “grup orang Koja akan memberi tanda dengan satu letusan mercon besar, dan grup Tionghoa harus datang membantu.”

Tampaknya perbedaan keyakinan tidak menghalangi mereka untuk memberikan teladan hidup bertetangga.

Awalnya kisah tentang kehidupan sosial dan budaya orang-orang Tionghoa di Semarang diungkap Liem dalam seri catatannya yang terbit di majalah Djawa Tengah Review pada Maret 1931 hingga Juli 1933.

Selanjutnya pada paruh kedua 1933, untaian tulisan Liem dalam majalah itu disatukan dalam buku berjudul Riwajat Semarang : dari djamannja Sam Poo sampe terhapoesnja Kongkoan. Lalu, sekitar satu dekade silam buku tersebut diterbitkan ulang.

Meskipun tampaknya Pecinan Semarang selamat dari aksi penjarahan dan pembantaian, peristiwa kecamuk Perang Jawa telah menjadi suatu tengara masa bagi warga setempat. “Banyak anak-anak Tionghoa atau orang pribumi yang lahir pada zaman itu diberi nama Geger,” ungkap Liem, “untuk peringatan bahwa anak itu telah lahir saat zaman gegeran.”

Sejarah mencatat, Tan Tiang Tjhing diangkat sebagai letnan tituler pada 1809 dan menjadi mayor Cina pertama di Semarang pada 1829. Setahun sebelum menjabat sebagai mayor, jabatan kapitan diwariskan kepada putranya, Tan Hong Yan. Nama ayah dan anak ini sohor karena turut menguasai bisnis madat di Jawa pada awal abad ke-19.

Baca juga: Makam Serdadu dan Anjing Kesayangannya yang Dibantai Laskar Dipanagara

Seorang pemeran menari sebagai Dipanagara dalam pembacaan dramatik Babad Dipanagara. (Budi ND Dharmawan)

Hubungan Jawa dan Cina bagai pasang-surut air laut di negeri ini. Sebelum Perang Jawa, apakah hubungan mereka selalu dalam kebencian?

Saya menjumpai Carey lagi. Kali ini kami berbincang di kediamannya yang anggun, tepi timur Kali Cisadane, Tangerang Selatan. Di ruang tamunya, dia memajang lukisan potret Pangeran Dipanagara bergaya kontemporer.