Kegelisahan Pecinan Semarang Ketika Menghadapi Geger Dipanagara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 21 Juni 2019 | 19:16 WIB
Batik bertema Perang Jawa koleksi Museum Danar Hadi, Surakarta. Perang ini pecah pada Rabu, 20 Juli 1825. Awal perang panjang dan melelahkan ini ditandai penyerbuan dan pembakaran kediaman Dipanagara di Tegalrejo oleh pasukan gabungan Belanda-Keraton. (Mahandis Yoanata Thamrin/NGI)

Nationalgeographic.co.id— Perang Jawa pecah di Yogyakarta pada pertengahan 1825. Namun, kasak-kusuk yang tersiar hingga pantai utara Jawa masih berseliweran. Kabar yang terwartakan pun beragam: seorang raja tengah memberontak, musuh dari luar negeri yang tengah berperang dengan serdadu Belanda, hingga aksi gerombolan pengacau. Di Semarang, kabar tersebut sungguh menggelisahkan warga.  

Politik segregasi telah menjadi karakter Perang Jawa. Pembantaian warga pecinan yang dilakukan laskar Dipanagara bukan hal garib pada awal perang. Sejak mendeklarasikan diri sebagai “Sultan Ngabdulkamid Erucakra Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah” pada Agustus 1825, Dipanagara menyerukan untuk membinasakan orang Belanda dan Cina di Tanah Jawa, jika mereka tidak bersedia menganut Islam. Tampaknya, pada awal perang ini Sang Pangeran melihat bahwa orang Cina merupakan sumber penindasan perekonomian Jawa.

Pembantaian warga pecinan yang dilakukan laskar Dipanagara bukan hal garib pada awal perang.

Baru pada bulan-bulan berikutnya, warga pecinan Semarang mengetahui peristiwa yang sesungguhnya. Para serdadu Belanda kerap singgah di Semarang, sebelum mereka melanjutkan penumpasan pemberontakan ke Grobogan. Warga menjuluki masa-masa itu sebagai Geger Dipanagara.

Sekitar seabad setelah kecamuk Perang Jawa, Liem Thian Joe (1895-1963) menulis tentang kegelisahan warga pecinan Semarang ketika marak pembantaian orang-orang Cina yang tampaknya dilakukan oleh laskar Dipanagara. Liem merupakan seorang jurnalis kawakan asal Parakan, namun besar di Semarang.  

Demi keamanan kawasan Pecinan Semarang, Liem berkisah, Kapitan Cina Tan Tiang Tjhing mengajukan permintaan kepada pemerintah Belanda. Permintaan Sang Kapitan untuk membuat pintu gerbang di empat penjuru pecinan pun dikabulkan.

Baca juga: Keraton Yogyakarta Terlibat dalam Siasat Menjebak Dipanagara?

Warga keturunan Tionghoa beribadah di Kelenteng Tay Kak Sie, di kawasan Pecinan, Semarang. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Satu gerbang dibangun di ujung Jalan Sebandaran, di jalan yang membelok ke Jagalan. Kemudian gerbang lainnya di mulut Jalan Cap-kauw-king (kini Jalan Wotgandul Barat) kawasan Petak Sembilanbelas di Beteng. Gerbang di Gang Warung (kini pintu utama pecinan) sekitar ujung barat Pecinan Lor. Kemudian, gerbang di seberang Jembatan Pekojan (kini Jalan Pekojan). Liem berkisah bahwa keempat gerbang itu dibangun lewat dana yang dikumpulkan dari penghuni Pecinan Semarang.

Liem mengungkapkan bahwa keempat pintu gerbang itu dilapisi tembok tebal sehingga tidak mudah didobrak. Dalam satu gerbang dibuat pintu besar dan pintu kecil yang dibuat di daun pintu besar. Gerbang itu dijaga bergiliran oleh warga pecinan yang sudah dewasa pada setiap malam.

“Pintu itu ditutup setiap hari jika cuaca mulai gelap,” ungkap Liem, “hanya mereka yang punya keperluan penting saja yang diperkenankan keluar, dan mereka harus lewat pintu kecil yang sengaja dibuat di daun pintu itu, sekedar cukup buat satu orang keluar atau masuk.”

Liem mengungkapkan bahwa keempat pintu gerbang itu dilapisi tembok tebal sehingga tidak mudah didobrak.

Salah satu pembantaian sadis dilakukan oleh Raden Ayu Yudakusuma, anak perempuan dari Sultan Kedua. Dia merupakan komandan pembantaian warga Cina di Ngawi pada September 1826. Akhir tahun berikutnya, Raden Tumenggung Aria Sasradilaga, ipar Dipanagara, membantai warga pecinan di Lasem dan menjamahi perempuan Cina secara paksa—pemerkosaan.

Tampaknya kabar pembantaian di kawasan di pesisir utara Jawa itu sampai juga ke telinga Kapitan Cina Tan Tiang Tjhing. Dia telah mengambil keputusan kritis: Jika warganya kalah dalam pertempuran ini, Klenteng Tay Kak Si berikut perempuan dan anak-anak yang mengungsi di dalamnya akan dibakar supaya mereka tidak mengalami penganiayaan. Sang Kapitan pun membuat pertahanan berupa tumpukan kayu-kayu bakar di sekeliling klenteng.

 
Salah satu gerbang Pecinan Semarang yang dibangun di empat penjuru. Gerbang ini diduga dibangun pada awal Perang Jawa. Kini, bangunan bersejarah ini telah lenyap. Foto dalam bukun"Riwayat Semarang" karya Liem Thian Joe, yang diterbitkan pertama kali oleh Boekhandel Ho Kim Joe-Semarang-Bataviapada 1933. Pada 2004, Penerbit Hasta Wahana Jakarta menerbitkan kembali. ("Riwayat Semarang"—Liem Thian Joe)
 

Liem berkisah, suatu hari pada 1826 warga pecinan segera menutup warung mereka dan bersiap menghadapi perlawanan para “berandal”—demikian Liem menyebut gerombolan pengacau yang kerap  menyerang pecinan. Kekuatan dipusatkan di gerbang Pekojan karena mereka beranggapan “berandal” yang menyerang pecinan pasti melewati gerbang tersebut.

“Orang telah memilih klenteng besar sebagai tempat pengorbanan,” ungkap Liem, “tidak ada tempat yang lebih suci daripada klenteng [...] hingga jika mereka dibakar di situ, niscaya roh mereka akan mendapat perlindungan.”

Keresahan itu tak hanya melanda warga Pecinan Semarang, tetapi juga tetangga mereka: Warga Pekojan—kampung muslim keturunan Koja asal Gujarat, India barat. Liem mengisahkan kedua kampung itu pada akhirnya bekerja sama menghalau para pengacau yang kerap membantai orang-orang Cina pada tahun-tahun awal Perang Jawa. Tampaknya perbedaan keyakinan tidak menghalangi mereka untuk memberikan teladan hidup bertetangga.

Mereka bergerak ke Gedangan, sisi timur kota. Orang-orang Koja berada di barisan depan, sementara orang-orang Cina berada di barisan belakang. “Kalau mereka berpapasan dengan berandal,” kisah Liem, “grup orang Koja akan memberi tanda dengan satu letusan mercon besar, dan grup Tionghoa harus datang membantu.”

Tampaknya perbedaan keyakinan tidak menghalangi mereka untuk memberikan teladan hidup bertetangga.

Awalnya kisah tentang kehidupan sosial dan budaya orang-orang Tionghoa di Semarang diungkap Liem dalam seri catatannya yang terbit di majalah Djawa Tengah Review pada Maret 1931 hingga Juli 1933.

Selanjutnya pada paruh kedua 1933, untaian tulisan Liem dalam majalah itu disatukan dalam buku berjudul Riwajat Semarang : dari djamannja Sam Poo sampe terhapoesnja Kongkoan. Lalu, sekitar satu dekade silam buku tersebut diterbitkan ulang.

Meskipun tampaknya Pecinan Semarang selamat dari aksi penjarahan dan pembantaian, peristiwa kecamuk Perang Jawa telah menjadi suatu tengara masa bagi warga setempat. “Banyak anak-anak Tionghoa atau orang pribumi yang lahir pada zaman itu diberi nama Geger,” ungkap Liem, “untuk peringatan bahwa anak itu telah lahir saat zaman gegeran.”

Sejarah mencatat, Tan Tiang Tjhing diangkat sebagai letnan tituler pada 1809 dan menjadi mayor Cina pertama di Semarang pada 1829. Setahun sebelum menjabat sebagai mayor, jabatan kapitan diwariskan kepada putranya, Tan Hong Yan. Nama ayah dan anak ini sohor karena turut menguasai bisnis madat di Jawa pada awal abad ke-19.

Baca juga: Makam Serdadu dan Anjing Kesayangannya yang Dibantai Laskar Dipanagara

Seorang pemeran menari sebagai Dipanagara dalam pembacaan dramatik Babad Dipanagara. (Budi ND Dharmawan)

Hubungan Jawa dan Cina bagai pasang-surut air laut di negeri ini. Sebelum Perang Jawa, apakah hubungan mereka selalu dalam kebencian?

Saya menjumpai Carey lagi. Kali ini kami berbincang di kediamannya yang anggun, tepi timur Kali Cisadane, Tangerang Selatan. Di ruang tamunya, dia memajang lukisan potret Pangeran Dipanagara bergaya kontemporer.

Pada akhir abad ke-18, keturunan Cina punya berbagai peran di Jawa: pengusaha untuk keraton, ahli medis, hingga selir. Dari naskah keraton yang dirampas Inggris, Carey berkata bahwa Sultan Kedua punya seorang tabib pribadi keturunan Cina. Beliau juga punya selir bernama Mas Ayu Sumarsanawati yang keturunan Cina di pesisir utara. Selir itu melahirkan Jayakusuma, paman Dipanagara yang menjadi panglima dan ahli siasat perangnya, ujarnya.

“Saya kira,” kata Carey, “saat Dipanagara dibesarkan di Yogya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, belum ada semacam apartheid antara Tionghoa dan Jawa.” Dia menduga, istri pertama yang sah dari Dipanagara adalah keturunan Cina. “Yang menjadi betul-betul parah adalah sesudah Belanda kembali. Belanda memaksa sebuah sistem yang bersekutu dengan keturunan Tionghoa sebagai bandar tol.”

Mengapa orang-orang Cina itu mau bersekutu untuk memeras pada 1820-an? Rupanya mereka pendatang baru asal Fujian yang tidak bisa berbahasa Jawa—apalagi kenal budayanya—dan tidak lancar berbahasa Melayu.

Awal perang memang penuh teror terhadap warga Cina. Namun, belakangan, orang Jawa merindukan mereka juga. “Situasi seperti balik ke semula,” ujarnya. “Bahwa orang Tionghoa dibutuhkan untuk menjadi pembekal sebab mereka punya jaringan di pesisir. Mereka menyelundupkan mesiu dalam paket-paket ikan asin”—sebagian bertempur di pihak Dipanagara!

Baca juga: Ketika Dipanagara Bermalam di Fort Ontmoeting

Wayang Dipanagara karya Ledjar Subroto yang dipentaskan di Galeri Nasional Jakarta , Juni 2012. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Ketika kebencian terhadap orang-orang Cina masih bergolak, Dipanagara bersama laskarnya pernah bermalam di Kedaren, dusun berbenteng jurang dekat Jatianom. Dalam babadnya, dia mengisahkan suatu malam, seorang perempuan Cina yang menjadi tawanan diutus sebagai tukang pijitnya. Lalu, Sang Pangeran terlena dan berselingkuh dengan perempuan Cina itu. Menurut Dipanagara, peristiwa malam di Kedaren itulah yang membuatnya keok dalam pertempuran Gawok, Oktober 1826. Dia terluka parah di bagian dada kiri dan tangan kanannya.

“Dia bukan orang yang munafik,” ujar Carey. Dipanagara mengakui bahwa sifat buruknya masih melekat dan dia mengakui pula bahwa kelemahannya terhadap kaum hawa. “Dia terus terang, dan itu yang menarik dari babad.”

Apakah kita masih bisa menemui empat pintu gerbang pecinan yang dibangun atas prakarsa Kapitan Cina Tan Tiang Tjhing?

“Sayangnya keempat gerbang tadi sudah tidak ada bekasnya lagi,” ujar Yogi Fajri, pegiat dan ketua komunitas pemerhati sejarah Lopen Semarang. Menurut pengamatannya, banyak bangunan asli khas arsitektur Tionghoa telah lenyap dan sulit ditemui lagi di jalan-jalan utama kawasan pecinan. “Kebanyakan udah dirombak pada masa Orde Baru,” imbuh Yogi, "dan itu berlanjut hingga sekarang."