Schumanniade, Gempita Sang Maestro Romantik di Jantung Jakarta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 24 Juni 2019 | 15:58 WIB
Robert Schumann, lahir di Zwickau, 8 Juni 1810 – wafat di Bonn, 29 Juli 1856 pada umur 46 tahun. Penggubah dan pianis Jerman, yang dianggap sebagai salah satu dari komponis musik Romantik Eropa yang terpenting. Musiknya menggambarkan sifat romantisme yang sangat pribadi. (Orchestra of the Age of Enlightenment)

Baca juga: Musik Memiliki Hubungan yang Erat dengan Tingkat Empati Seseorang

Konser Jakarta City Pilharmonic ke-21 membawakan tajuk Schumanniade—pentas merayakan karya Robert Schumann. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pada kesempatan malam itu Jakarta City Philharmonic memilih karya komponis besar asal Makassar, Mochtar Embut, yang bertajuk Suita Kaliurang. Kita mengenal keduanya sebagai komponis romantik. Namun, ia tidak seperti Schumann. Mochtar Embut mulai bermain piano pada usia lima tahun. Dan, dia menggubah lagu sederhana bertajuk Kupu-kupu pada usianya yang kesembilan. Genius!

Lagu-lagu ciptaan Embut mencerminkan hidupnya yang sepi, pemalu, dan tak menyukai publisitas. Karya itu sejatinya dimainkan untuk piano, namun pada pentas malam itu karyanya telah menjelma sebagai orkestra berkat sentuhan Budi Utomo Prabowo dan Fafan Isfandiar. Harapannya, setelah proses orkestrasi, audiens bisa lebih merasakan Kaliurang saat mendengarkan karya tersebut.

Fafan Isfandiar, violis dan Dewan Komisaris Jakarta City Philharmonic, mengatakan terdapat beberapa bagian yang akan mereka tampilkan. Pertama, Gethuk Lindri yang merupakan nama kudapan khas Jawa yang berbahan utama singkong. Dalam Getuk Lindri, lanjut Fafan, terdapat bagian-bagian yang dimainkan bergantian mewakili ragam warna getuk lindri dengan instrumen yang berbeda. Kedua, Rumah Gadang—perkara judul ini Fafan pun masih bertanya-tanya mengapa ada rumah gadang di Kaliurang. Ketiga, Merapi yang sangat terikat dengan Kaliurang yang berada di lereng gunung tersebut. Dan, terakhir bukan menggambarkan Kaliurangnya, ujar Fafan, melainkan bercerita tentang satu keluarga di kawasan itu. Namanya, Keluarga Pak Pawira. “Nah, Keluarga Pak Pawira dan Getuk Lindri memang suasananya sangat terasa di Kaliurang,” kata Fafan.

Aditya Setiadi, musikolog muda Indonesia, mengungkapkan lebih jauh tentang Keluarga Pak Pawira dalam buku program Schumanniade. Menurutnya karya itu mengisahkan tentang kehidupan keluarga agraris di Jawa. Pak Pawira bekerja di kebun atau sawahnya, sementara istrinya bekerja mengurus rumah. “Keeratan hubungan kekerabatan pada struktur masyarakat tradisional seolah memantikkan kekaguman bagi seorang komposer yang lebih banyak menghabiskan hidupnya di metropolitan…,” ungkapnya.

Baca juga: "Milky Way Blues" , Perkawinan Musik Jazz dengan Galaksi Bima Sakti

Pemandangan konser Jakarta City Philharmonic yang bertajuk Schumanniade yang dilihat dari Lantai 3, Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Juni 2019. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Dalam misi menghadirkan musik klasik yang terjangkau warga, pemerintah (Badan Ekonomi Kreatif, Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dan Unit Pelaksana Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki) tertantang untuk mendukung peningkatan kualitas dan kesinambungan pada setiap gelaran konser Jakarta City Philharmonic. Warga kota pun cukup mendaftar secara daring—dan memberikan donasi sukarela. Mereka bisa menikmati program kesenian berkualitas tinggi, namun tetap terjangkau dan dapat dinikmati publik.

Leonardus Yudi Andreas, seorang penikmat musik klasik yang kebetulan memiliki hari lahir yang sama dengan Robert Schumann, memberikan impresinya tentang konser ini. Kendati ia bukan penggemar berat Schumann, karya yang ditampilkan terasa menyenangkan untuk disimak. Ia mengapresiasi pemilihan karya yang tepat ini karena sejatinya banyak karya Schumann yang lebih rumit. Di konser ini “bagi orang yang tidak pernah mendengarkan Schumann pun bisa menikmati karyanya,” ujar Yudi. “Rohnya ada di konserto piano pada babak pertama.”

Ia juga melihat sisi apresiasi audiens. Konser malam itu—dan konser sebelumnya—banyak dihadiri oleh audiens milenial. Namun, ia heran mengapa pada sesi setelah istirahat banyak audiens yang meninggalkan gedung konser. Ia menyarankan, “Mungkin karya-karya chorus yang bersifat pakem musik klasik ditampilkan di sesi satu.” Kemudian ia melanjutkan, “Lalu, pada sesi dua menampilkan orkestra yang bersifat populer—namun tetap dalam tema sama—yang ditujukan untuk audiens pemula.”

Clara Wieck dan Robert Schumann. Clara lebih dikenal sebagai pianis tenar dan penampil ketimbang sebagai komponis. Dialah yang pertama kali memopulerkan karya-karya Schuman, suaminya. (Wikimedia Commons)