Schumanniade, Gempita Sang Maestro Romantik di Jantung Jakarta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 24 Juni 2019 | 15:58 WIB
Robert Schumann, lahir di Zwickau, 8 Juni 1810 – wafat di Bonn, 29 Juli 1856 pada umur 46 tahun. Penggubah dan pianis Jerman, yang dianggap sebagai salah satu dari komponis musik Romantik Eropa yang terpenting. Musiknya menggambarkan sifat romantisme yang sangat pribadi. (Orchestra of the Age of Enlightenment)

“Dia seorang komponis yang memiliki ciri-ciri musiknya sangat menyatu dengan kehidupannya,” ujar Eric Awuy di atas pentas Teater Besar, Taman Ismail Marzuki. "Kalau kita membaca biografinya, Schuman juga mempunyai penyakit syaraf. Beberapa orang bilang dia kadang sedikit gila."

Eric, musisi terompet senior, hadir sebagai pemandu acara yang mengenalkan tema konser ke-21 Jakarta City Philharmonic pada 19 Juni silam. Tajuk Schumanniade merujuk pada pementasan untuk merayakan bersama karya Robert Schumann.

Sang komponis romantik itu lahir di Zwickau, kota kecil di Jerman utara pada 1810. Sejatinya, kemampuan bermusik Schumann baru bermula pada usia sepuluh tahun. Berbeda dengan Mozart yang sudah menggubah karya pertamanya, sebuah sonata untuk biola dan piano, pada usia enam tahun. Kawan sebaya Schumann, Felix Mendelssohn, telah mempertunjukkan keahliannya memainkan piano dalam suatu trio kepada publik pada usia sembilan tahun.

Schumann tertarik dengan musik sejak usia sembilan tahun, namun mengikuti jejak keluarga sebagai mahasiswa hukum di Universitas Leipzig. Meskipun Schumann bukan anak ajaib, layaknya Mozart, kelak ia menjadi salah satu komposer paling berpengaruh sepanjang abad ke-19. Pun, pamornya masih diakui setelah 200 tahun kelahirannya.

Baca juga: Jakarta City Philharmonic: Pertama Kalinya Lima Bagian "Eine Kleine Nachtmusik" Dipentaskan untuk Warga Jakarta

Jakarta City Philharmonic mempersembahkan adikarya Schumann bertajuk Konserto Piano dalam A minor, Op. 54 yang memiliki tiga bagian: Allegro affettuoso, Intermezzo: Andantino grazioso, dan Allegro vivace. Pengaba oleh Budi Utomo Prabowo, sementara sebagai pianis tamunya adalah Harimada Kusuma. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Eric memulai pembicaraan tentang karakter musik Schumann. Setiap penggubah musik memiliki karakter atau ciri yang membedakan dengan penggubah lainnya. Sebagai contoh Ludwig van Beethoven. “Kalau dia lagi marah, bahagia, senang, itu muncul dalam musiknya,” ujarnya. “Tetapi, tidak muncul dalam style atau karakter si komponisnya.”

Kemudian Eric juga mengambil contoh Johannes Brahms, yang berbeda karakter dengan Beethoven. Brahms, menurutnya, menggambarkan manusia dari perspektif agak luar. Komposisi karyanya tidak seemosional Beethoven.

Bagaimana karakter Schumann? “Intriknya selalu menjadi suatu karya atau eksplorasi untuk semua orang yang mendengar atau untuk musisi-musisinya juga,” ungkap Eric. “Di dalamnya selalu ada motif-motif obsesif, jadi kita bisa merasakan ada sesuatu obsesi dalam karya Schuman.”

Pada malam itu Jakarta City Philharmonic mempersembahkan adikarya Schumann bertajuk Konserto Piano dalam A minor, Op. 54 yang memiliki tiga bagian: Allegro affettuoso, Intermezzo: Andantino grazioso, dan Allegro vivace. Pengaba oleh Budi Utomo Prabowo, sementara sebagai pianis tamunya adalah Harimada Kusuma.

Harimada mendapat pendidikan formal dalam piano di Konservatorium Rotterdam dan Konservatorium Amsterdam. Ia meraih gelar Bachelor Music pada 2008, dan dua tahun kemudian meraih Master of Music dengan predikat cum laude. Setelah 12 tahun bermukim di Jerman, ia kembali menetap di Indonesia. Mada, sapaan akrabnya, mengajar piano di Konservatorium Musik Jakarta, Sekolah Musik Yayasan Pendidikan Musik, Sekolah Musik Musicorum, dan Allegria Music Bandung.

“Karya Schuman memang kurang terekspose,” kata Mada. Mujurnya, istri Robert Schuman, Clara Wieck, adalah seorang pianis nan piawai. Selain usianya lebih muda dan seorang penampil, ia juga seorang komponis. Sedangkan Robert Schuman lebih dikenal sebagai seorang komponis, imbuhnya.

Baca juga: Mendengarkan Musik Saat Bekerja Justru Menghambat Kreativitas?

 

"Octabones untuk Dua Marimba" karya Morag Adi (1976) turut dipentaskan dalam konser "Schumanniade". Karya ini diaransemen ulang oleh Alfin Satria dan Algi Dilanuar. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pernikahan Schumann dan Clara sejatinya tidak direstui oleh Friederich Wieck, ayah Clara, yang sekaligus pembimbing belajar piano bagi Schumann. Namun, pasangan muda itu tetap menggelar pernikahan tanpa dihadiri ayah Clara. Friederich Wieck berang, ia tidak mengakui keabsahan pernikahan putrinya. Pun, sang ayah ini mencabut bantuan dana setiap bulannya untuk Clara, sembari mengutuk Schuman sebagai seorang yang gemar mabuk-mabukan dan tidak waras.

“Tapi mereka juga berantem di rumah,” kata Mada. Pasalnya, Schuman menyukai komposisi pagi hari, sementara Clara juga menyukai corak komposisi yang sama. “Nah, itu yang bikin Schumann kadang marah sama Clara.”

Karya Clara Schumann juga dipentaskan sebagai penampilan musik kamar menjelang konser Schummaniade, yang berlokasi di Serambi Teater Jakarta. Budi Utomo Prabowo memainkan piano mengiringi Mozosopran Anita Kristiana. Mereka membawakan Dua Tembang Puitik. Pertama, Warum willst du and're fragen (Mengapa ingin kau tanyakan yang lain?). Kedua, Die Lorelie: Ich weiß nicht, was soll es bedeuten (Sang Lorelei: Aku tak tahu apa artinya ini).

Kendati suasana durja kerap hadir dalam rumah tangga Schumann dan Clara, keduanya saling menulis surat sebagai bentuk komunikasi. Jadi, lanjut Mada, dari surat-menyurat antara suami-istri inilah kita bisa mengungkap kehidupan mereka sesungguhnya. Terkuaklah, sebetulnya Clara yang telah mengorbitkan karya-karya Robert Schumann. Komposisi Konserto Piano dalam A minor, Op. 54 karya Schumann, yang dipentaskan Jakarta City Philharmonic, pun dipentaskan pertama kali oleh Clara pada momen tahun baru 1846.

Baca juga: Terungkap, Musik Cadas dan Kebisingan Kota pun 'Tak Ramah' Lingkungan

Karya Clara Schumann juga dipentaskan sebagai penampilan musik kamar menjelang konser Schumanniade, yang berlokasi di Serambi Teater Jakarta. Budi Utomo Prabowo memainkan piano mengiringi Mezosopran Anita Kristiana. Mereka membawakan karya "Dua Tembang Puitik". (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Dalam surat-surat itu terungkap pula bahwa Clara hadir sebagai seorang penampil, musisi piano yang mementaskan karya-karya Schumann. Saat itu Clara memang lebih tenar ketimbang Schumann. Kendati bukan seorang penampil, Schuman ingin sebagai seorang pria—yang statusnya pada zaman itu—dinilai lebih tinggi ketimbang perempuan. Mada menambahkan, “Di sinilah pemicu keributan mereka.”

“Kita kalau lagi marah sering keluar omongan dengan kata-kata kasar ya,” imbuh Mada sembari berkelakar. “Ini bisa jadi acuan bagi kita semua. Kalau lagi marah sama suami atau istri, menulislah!”

Sebelum menikah sejatinya Clara sudah menyadari bahwa hidupnya akan menderita saat ia menikah dengan Schumann, lanjut Mada. Pada kenyataannya Schuman memang tidak bisa mendukung keuangan keluarga. Mirisnya, belakangan Schuman memiliki kelainan kejiwaan, sehingga dia harus menjalani terapi medis. Sampai-sampai ia berusaha bunuh diri dengan membenamkan diri ke Sungai Rhine. Dia menghabiskan dua tahun terakhir hidupnya di sebuah rumah sakit jiwa. Kondisinya kian memburuk, dan wafat pada 1856.

Eric mengatakan bahwa Jakarta City Philharmonic memiliki tradisi menampilkan karya komponis Indonesia, yang akan bersanding dengan karya komponis mancanegara. Baginya, begitu penting untuk membanggakan repertoar orkestra karya Indonesia sebagai pengenalan musik Indonesia yang bisa dimainkan hingga ke penjuru dunia.

Baca juga: Musik Memiliki Hubungan yang Erat dengan Tingkat Empati Seseorang

Konser Jakarta City Pilharmonic ke-21 membawakan tajuk Schumanniade—pentas merayakan karya Robert Schumann. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pada kesempatan malam itu Jakarta City Philharmonic memilih karya komponis besar asal Makassar, Mochtar Embut, yang bertajuk Suita Kaliurang. Kita mengenal keduanya sebagai komponis romantik. Namun, ia tidak seperti Schumann. Mochtar Embut mulai bermain piano pada usia lima tahun. Dan, dia menggubah lagu sederhana bertajuk Kupu-kupu pada usianya yang kesembilan. Genius!

Lagu-lagu ciptaan Embut mencerminkan hidupnya yang sepi, pemalu, dan tak menyukai publisitas. Karya itu sejatinya dimainkan untuk piano, namun pada pentas malam itu karyanya telah menjelma sebagai orkestra berkat sentuhan Budi Utomo Prabowo dan Fafan Isfandiar. Harapannya, setelah proses orkestrasi, audiens bisa lebih merasakan Kaliurang saat mendengarkan karya tersebut.

Fafan Isfandiar, violis dan Dewan Komisaris Jakarta City Philharmonic, mengatakan terdapat beberapa bagian yang akan mereka tampilkan. Pertama, Gethuk Lindri yang merupakan nama kudapan khas Jawa yang berbahan utama singkong. Dalam Getuk Lindri, lanjut Fafan, terdapat bagian-bagian yang dimainkan bergantian mewakili ragam warna getuk lindri dengan instrumen yang berbeda. Kedua, Rumah Gadang—perkara judul ini Fafan pun masih bertanya-tanya mengapa ada rumah gadang di Kaliurang. Ketiga, Merapi yang sangat terikat dengan Kaliurang yang berada di lereng gunung tersebut. Dan, terakhir bukan menggambarkan Kaliurangnya, ujar Fafan, melainkan bercerita tentang satu keluarga di kawasan itu. Namanya, Keluarga Pak Pawira. “Nah, Keluarga Pak Pawira dan Getuk Lindri memang suasananya sangat terasa di Kaliurang,” kata Fafan.

Aditya Setiadi, musikolog muda Indonesia, mengungkapkan lebih jauh tentang Keluarga Pak Pawira dalam buku program Schumanniade. Menurutnya karya itu mengisahkan tentang kehidupan keluarga agraris di Jawa. Pak Pawira bekerja di kebun atau sawahnya, sementara istrinya bekerja mengurus rumah. “Keeratan hubungan kekerabatan pada struktur masyarakat tradisional seolah memantikkan kekaguman bagi seorang komposer yang lebih banyak menghabiskan hidupnya di metropolitan…,” ungkapnya.

Baca juga: "Milky Way Blues" , Perkawinan Musik Jazz dengan Galaksi Bima Sakti

Pemandangan konser Jakarta City Philharmonic yang bertajuk Schumanniade yang dilihat dari Lantai 3, Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Juni 2019. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Dalam misi menghadirkan musik klasik yang terjangkau warga, pemerintah (Badan Ekonomi Kreatif, Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dan Unit Pelaksana Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki) tertantang untuk mendukung peningkatan kualitas dan kesinambungan pada setiap gelaran konser Jakarta City Philharmonic. Warga kota pun cukup mendaftar secara daring—dan memberikan donasi sukarela. Mereka bisa menikmati program kesenian berkualitas tinggi, namun tetap terjangkau dan dapat dinikmati publik.

Leonardus Yudi Andreas, seorang penikmat musik klasik yang kebetulan memiliki hari lahir yang sama dengan Robert Schumann, memberikan impresinya tentang konser ini. Kendati ia bukan penggemar berat Schumann, karya yang ditampilkan terasa menyenangkan untuk disimak. Ia mengapresiasi pemilihan karya yang tepat ini karena sejatinya banyak karya Schumann yang lebih rumit. Di konser ini “bagi orang yang tidak pernah mendengarkan Schumann pun bisa menikmati karyanya,” ujar Yudi. “Rohnya ada di konserto piano pada babak pertama.”

Ia juga melihat sisi apresiasi audiens. Konser malam itu—dan konser sebelumnya—banyak dihadiri oleh audiens milenial. Namun, ia heran mengapa pada sesi setelah istirahat banyak audiens yang meninggalkan gedung konser. Ia menyarankan, “Mungkin karya-karya chorus yang bersifat pakem musik klasik ditampilkan di sesi satu.” Kemudian ia melanjutkan, “Lalu, pada sesi dua menampilkan orkestra yang bersifat populer—namun tetap dalam tema sama—yang ditujukan untuk audiens pemula.”

Clara Wieck dan Robert Schumann. Clara lebih dikenal sebagai pianis tenar dan penampil ketimbang sebagai komponis. Dialah yang pertama kali memopulerkan karya-karya Schuman, suaminya. (Wikimedia Commons)