Kengerian Pelancong Perempuan Pertama di Batak pada Abad ke-19

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 5 Juli 2019 | 11:29 WIB
Ida Pfeiffer (1797-1858), putri dari produsen kapas Austria yang kaya, terkenal karena perjalanannya di seluruh dunia dan seorang penulis buku perjalanan. Buku-buku itu diterjemahkan ke dalam tujuh bahasa. (steemit.com)

“Darah mereka diawetkan untuk minum, dan kadang dibuat menjadi puding yang disajikan dengan nasi.”

 

Ida Laura Reyer Pfeiffer mengenakan syal dan kain renda. Ida sangat ingin mengatasi keterbatasannya sebagai seorang wanita dari abad ke-19, tetapi dia tidak sepenuhnya menentang kodratnya. Globe di latar belakang menambah sentuhan ilmiah. (Mary Somers Heidhues/Archipel/Wikimedia)

Ida bersama seorang pemandunya menunggang kuda selama perjalanan di pedalaman Sumatra. Perjalanan di pulau ini dibagi beberapa tahapan atau rute militer. Setiap 12 hingga 20 kilometer terdapat benteng atau bangunan kecil tempat kantor pemerintah, sekaligus tempat bermalam para pelancong seperti Ida.

Pada pertengahan Agustus 1852, keduanya menuruni bukit di Silindong, dekat Danau Toba. Namun, sebelum menuju lembah, pemandunya menyarankan supaya  Ida untuk tak menjauh darinya.  Mereka menyaksikan prosesi yang dilakukan enam lelaki bersenjata tombak. Ketika kedua orang itu mendekat, mereka justru disambut dengan tombak dan parang. Setelah si pemandu menjelaskan, Ida boleh melewati kawasan itu.

“Di suatu tempat, kejadiaannya bahkan lebih serius,” demikian Ida berkisah. “Lebih dari 80 lelaki berdiri di jalanan setapak dan menghalangi perjalanan kami.” Kemudian dia melanjutkan, “Sebelum saya menyadarinya, sekawanan lelaki telah melingkari saya seraya menodongkan tombak mereka, dengan tatapan ngeri dan liar.”

Ida melukiskan sosok lelaki Batak yang mengepungnya. Mereka berbadan tegap dan kuat, tingginya hampir dua meter, penampilannya beringas dan militan. “Mulut lebar mereka dengan geligi yang menonjol, tampaknya lebih mirip dengan binatang buas ketimbang manusia manapun.”