Nationalgeographic.co.id— “Pontianah,” demikian Ida Laura Reyer Pfeiffer menyebut Kota Pontianak, “adalah permukiman Belanda di Timur yang pertama kali saya datangi.” Kemudian dia melanjutkan bercerita, “Saya mengakui, memasuki kawasan ini dengan segenap perasaan tak nyaman.”
Ida telah melewati perjalanan panjang di daerah pedalaman yang belum dipasifikasi Kapten Brooke—sang penguasa Sarawak. Dari Sarawak, usai menyaksikan trofi kemenangan perang berupa dua kepala manusia yang baru saja ditebas, Ida melanjutkan perjalanan melancongnya ke Pontianak.
Dia melewati jalanan setapak menuju Beng-Kallang Boenoet (Pangkalanbun, kini Ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah). Saat itu daerah Pangkalanbun belum diklaim sebagai teritori Hindia Belanda. Sultan memberikan bantuan kepada Ida sebuah perahu kecil untuk perjalanan berikutnya.
“Tidak ada hotel atau penginapan, dan sangat sedikit orang Eropa yang berkunjung ke Borneo,” ungkapnya. Namun, dia beruntung bisa bertemu dengan Nyonya T.J. Wilier, istri seorang Residen Pontianak, yang mempersilakannya bermalam di rumahnya. “Sebuah undangan yang saya terima dengan senang.”
“Saya dapat menggunakan waktu untuk sedikit berkenalan dengan Pontianah,” ungkap Ida. “Situasi kota tampak segala sesuatunya menyenangkan,” tulisnya, "meskipun tiada satu pun hotel atau penginapan."
Ketika bermalam, Ida memastikan surat-surat jalannya tidak hancur akibat dimakan semut. Dia punya kebiasaan untuk mengumpulkan spesimen serangga untuk dijual kepada kolektor pribadi atau museum di Wina. “Barang-barang yang dapat dimakan harus dapat diselamatkan dari kerusakan dengan cara memasukkan semut itu ke dalam wadah kaleng tertutup.” Ida kerap menolak saran pejabat setempat untuk menggunakan pemandu. Dia hanya memohon dibekali surat jalan yang ditujukan untuk penguasa atau raja di kawasan yang akan dilaluinya. Ida, bersama pendayung perahu, berangkat ke Landak dengan menyusuri sungai ke arah hulu.