Candu, Perbudakan, dan Kebobrokan Kolonial di Pontianak Abad Ke-19

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 10 Juli 2019 | 12:24 WIB
Ida Laura Reyer Pfeiffer (1797-1858), pelancong perempuan pertama di Hindia Belanda. Relief yang menampakkan raut wajah Ida, yang menajdi penanda makamnya di Wina, Austria. (Vienna History Tour)

Nationalgeographic.co.id— “Pontianah,” demikian Ida Laura Reyer Pfeiffer menyebut Kota Pontianak, “adalah permukiman Belanda di Timur yang pertama kali saya datangi.” Kemudian dia melanjutkan bercerita, “Saya mengakui, memasuki kawasan ini dengan segenap perasaan tak nyaman.”

Ida telah melewati perjalanan panjang di daerah pedalaman yang belum dipasifikasi Kapten Brooke—sang penguasa Sarawak. Dari Sarawak, usai menyaksikan trofi kemenangan perang berupa dua kepala manusia yang baru saja ditebas, Ida melanjutkan perjalanan melancongnya ke Pontianak.

Dia melewati jalanan setapak menuju Beng-Kallang Boenoet (Pangkalanbun, kini Ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah). Saat itu daerah Pangkalanbun belum diklaim sebagai teritori Hindia Belanda. Sultan memberikan bantuan kepada Ida sebuah perahu kecil untuk perjalanan berikutnya.

Perjalanan Ida Laura Reyer Pfieffer keliling dunia yang bermula dari kediamannya di Wina, Austria. (Terra Mater)

Sebuah kanal di perkampungan Pontianak, sekitar 1920-an. (Tropenmuseum/Wikimedia)

“Tidak ada hotel atau penginapan, dan sangat sedikit orang Eropa yang berkunjung ke Borneo,” ungkapnya. Namun, dia beruntung bisa bertemu dengan Nyonya T.J. Wilier, istri seorang Residen Pontianak, yang mempersilakannya bermalam di rumahnya. “Sebuah undangan yang saya terima dengan senang.”

“Saya dapat menggunakan waktu untuk sedikit berkenalan dengan Pontianah,” ungkap Ida. “Situasi kota tampak segala sesuatunya menyenangkan,” tulisnya, "meskipun tiada satu pun hotel atau penginapan."

Ketika bermalam, Ida memastikan surat-surat jalannya tidak hancur akibat dimakan semut. Dia punya kebiasaan untuk mengumpulkan spesimen serangga untuk dijual kepada kolektor pribadi atau museum di Wina. “Barang-barang yang dapat dimakan harus dapat diselamatkan dari kerusakan dengan cara memasukkan semut itu ke dalam wadah kaleng tertutup.”   Ida kerap menolak saran pejabat setempat untuk menggunakan pemandu. Dia hanya memohon dibekali surat jalan yang ditujukan untuk penguasa atau raja di kawasan yang akan dilaluinya. Ida, bersama pendayung perahu, berangkat ke Landak dengan menyusuri sungai ke arah hulu.

Pemandangan jalanan di Pecinan Pontianak sekitar 1890. (KITLV)

Kota Pontianak terletak sekitar 20 kilometer dari bibir pantai. Sehamparan dataran, tanpa tanaman padi, dan terlindung dari pepohonan rapat. Di dekat kota terdapat sebuah benteng yang dikelilingi dinding tanah, yang dijaga sekitar 130 serdadu. Pemerintahan Eropa dibentuk oleh residen, yang didukung sekitar enam pejabat, beberapa perwira militer, dan seorang dokter. Ketika Ida bertandang ke Pontianak, penduduk kota itu sekitar enam ribu jiwa.

“Tempat tinggal Sultan menghadap pantai,” demikian kata Ida, yang mungkin maksudnya adalah tepian Sungai Kapuas yang bermuara di lautan lepas. Dia juga membandingkan para pangeran di India dan pangeran Kalimantan. Satu-satunya perbedaan. menurutnya, pangeran di Kalimantan meminta bantuan Belanda atas kemauan mereka sendiri, yang sejatinya bertentangan dengan keinginan mereka.

“Para pangeran Borneo tidak memiliki kekuatan,” ungkapnya. “Di satu sisi untuk menyelesaikan perselisihan antara warga Melayu, Cina, dan Dayak; sementara di sisi lain mengurangi konspirasi yang kerap terjadi dalam keluarga mereka sendiri.” Oleh karena itu, demikian ungkap Ida, mereka rela menerima beban atau kewajiban dari pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi kepentingan mereka. "Banyak sultan dan pangeran yang mendapatkan pensiun dari Belanda, sebagai kompensasi hak mereka yang telah dicabut."

“Mereka meninggalkan kedamaian di tanah mereka lewat berbagai pajak, pencucian emas dan tambang intan di wilayah mereka,” demikian ungkapnya. “Namun, Belanda mengklaim punya monopoli garam dan penerimaan dari opium, juga komoditi lainnya”

Baca juga: Sang Sultan Yogya dan Tamansari dalam Catatan Perempuan Eropa Abad Ke-19

Rumah Residen Pontianak sekitar 1867. Kemungkinan, Ida Pfeiffer menginap di rumah ini. (JA Messen/KITLV)
Di Pontianak pertengahan abad ke-19, selain kelas ningrat, ada juga kelas budak. Ida memaparkan bahwa para budak diambil dari tahanan perang, dan para pengutang yang tak melunasi hutangnya. Juga bagi siapa saja yang selama tiga tahun tidak membayar pajak kepada sultan akan menjadi budaknya, catat Ida.“Menurut hukum yang barbar,” ungkap Ida menggambarkan, “pengutang harus bersedia mengabdikan dirinya sebagai budak kepada pemberi utang, sampai utangnya lunas.” Kemudian Ida menambahkan, “Apabila pengutang tadi mati sebelum lunas, istri, anak, atau keluarga dekatnya akan menggantikan posisinya.”  Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfeiffer yang terbit di London pada 1855.

Ida Laura Reyer Pfeiffer mengenakan syal dan kain renda. Ida sangat ingin mengatasi keterbatasannya sebagai seorang wanita dari abad ke-19, tetapi dia tidak sepenuhnya menentang kodratnya. Globe di latar belakang menambah sentuhan ilmiah. (Mary Somers Heidhues/Archipel/Wikimedia)

 
 
Dia berkesempatan mengunjungi sebuah rumah candu pada suatu malam di pecinan Pontianak. Di rumah itu pengunjung bisa menikmati isapan candu. Di dalamnya tampak para pecandu yang duduk atau berbaring di alas. Di sebelah mereka terdapat sebuah lampu api untuk menyalakan pipa candu. Di beberapa rumah candu, beberapa perempuan hadir untuk sekadar menambah gairah bagi pengunjung yang semuanya lelaki.
 
Bagaimana komentarnya tentang rumah-rumah candu di Pontianak?
 
“Kejahatan lain, bahkan lebih hebat, yang berdampak tak hanya pada perorangan, melainkan juga seluruh bangsa adalah,” kata Ida, “pemakaian candu.” Namun, dia melanjutkan kisahnya, pemerintah Hindia Belanda tidak berusaha memberangus. “Sebaliknya, tampak pemerintah justru menggunakan kuasa untuk membesarkannya.”
 
Kadang candu memiliki efek menggembirakan untuk beberapa saat, demikian catat Ida. Dalam pengaruh barang sialan itu mereka bisa mengobrol dan tertawa lepas sampai tak tersadar, namun begitu terbangun mereka seolah bersukacita dalam mimpi yang menyenangkan.

“Saya tidak dapat menggambarkan lagi, betapa mereka yang tak lagi punya kesadaran, namun masih bisa mengikis atom candu yang tersisa dengan tetap berhati-hati,” ungkapnya. “Sebuah gambaran mengerikan yang dapat disaksikan di tempat-tempat itu.”

Baca juga: Misi Penjelajah Norwegia Mencari Ras Manusia Berekor di Kalimantan

Sosok Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam busana melancong dari kain linen warna kelabu. Litografi karya Adolf Dauthage, 1825–1883. (Adolf Dauthage, 1825–1883)

Di Kalimantan, candu memberikan bagian pendapatan yang besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Ketika Ida berkunjung di kawasan itu, pemakaian candu memang sedang marak, jumlah pemakai meningkat setiap tahun.

Dalam catatan perjalanannya, dia memberikan tanggapan atas situasi di Pontianak saat itu, yang tampaknya menjadi gambaran umum untuk Hindia Belanda. "Ini benar-benar aneh," ungkap Ida. "Pemerintah Eropa membentuk di satu sisi sebuah koloni dan negara, sebagaimana yang mereka katakan, untuk menyebarkan peradaban dan agama Kristen. Namun di sisi lain, mereka mendukung tujuan baru dalam kejahatan yang secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Kristen dan kemajuan peradaban."

Ida melontarkan sebuah retorika. Menurutnya, bagaimana mungkin orang Eropa—dia menyebutnya dengan kita—meminta bangsa pribumi tak beradab untuk menghormat, tatkala pribumi dibiarkan menyaksikan hal yang tak berprinsip dan memalukan itu terjadi. Perdagangan candu telah dilegalkan dan menyumbang laba besar untuk Hindia Belanda. “Sejumlah keuntungan yang cukup membuat kita semakin mirip dengan penjahat yang menjijikkan.”

Pemadat tengah menikmati racikan opium, tampaknya difoto di sebuah studio di Jawa. (KITLV)

Ida Pfeiffer merupakan perempuan tomboi yang gemar melancong sendiri, mengarungi samudra sejauh 240.000 kilometer, dan 32.000 kilometer perjalanan darat di empat benua!Kisah perjalanannya di Kalimantan tampaknya yang paling menarik karena sampai dicetak ulang hingga lima kali, selama 1880-an hingga 1906. "Bahwa sesoenggoehnja adalah seorang orang perempoean, yang bernama Ida, anak ditanah Eropah; maka terlaloe amat soeka perempoean itoe pergi melihat-lihat negeri-negeri, akan mengetahoei 'adat lembaganja, dan tabi'at masing-masing bangsa manoesia; maka apaapa yang dilihatnja atau didengarnja, sekaliannja disoeratkannjalah, soepaja akan dibatja oleh sekalian orang, dengan maksoed, pertama akan menambah pengetahoean mereka itoe, kedoea akan menghiboer-hiboerkan hati mereka itoe djoea adanja."Demikian kutipan sebuah buku berjudul Kesah pelajaran kepoelau Kelemantan, yang diterbitkan di Batavia pada 1888. Seorang penjelajah Kalimantan melaporkan bahwa buku perjalanan Madame Pfeiffer dalam bahasa Melayu telah menjadi salah satu buku bacaan anak-anak sekolah pada akhir 1940-an!

Catatan perjalanannya pertama kali diterbitkan di Wina pada 1844, yang berjudul Reise einer Wienerin in das Heilige Land (Perjalanan Seorang Perempuan Wina ke Tanah Suci). Untuk mengenang penerbitan tersebut, web National Geographic Indonesia mengisahkan kembali serangkaian petualangannya tatkala dia berjejak di Hindia Belanda.

Sekitar 2.500 spesimen telah menjadi koleksi Ida dalam perjalanan keliling dunia ini. Sebagian koleksinya seperti udang, siput, kumbang yang menghuni Kalimantan. Dunia ilmu pengetahuan mengabadikan nama perempuan itu dalam spesimen temuannya dengan imbuhan “ideae” atau “pfeifferi”.

Ida memang mempunya gaya melancong tersendiri. Tidak seperti gaya pelancong sekarang yang umumnya lebih mengutamakan daftar belanjaan dan oleh-oleh, tampaknya Ida Pfeiffer melancong untuk menyelami lebih dekat dengan peradaban setempat—geotraveling.

Mary Somers Heidhues, ahli sejarah politik dari University of Göttingen, menyingkap kiprah pelancong ini dalam Woman on the Road : Ida Pfeiffer in the Indies, terbit di jurnal Archipel pada 2004. “Dia menceritakan kisah yang bagus,” ungkapnya. “Tak heran bahwa buku-bukunya yang dibaca, diterbitkan, dan diterjemahkan ke dalam bahasa lain memberikan semangat bagi para pembaca pemula.”