Nationalgeographic.co.id - Awal bulan ini, publik dikejutkan oleh berita penangkapan Para Wijayanto, pemimpin jaringan teroris Jema'ah Islamiyah (JI) baru. Jaringan teroris yang bertanggung jawab atas pemboman Bali tahun 2002 itu ternyata masih ada dan aktif.
JI pernah dianggap sudah habis setelah para pemimpinnya seperti Abu Bakar Ba'asyir dan Umar Patek ditangkap, kemudian pemimpin yang lain seperti Noordin Top dan Azahari terbunuh.
Penangkapan terbaru tersebut mengungkap bahwa JI menggunakan bisnis perkebunan kelapa sawit untuk mencari dana. Sebelumnya, pendanaan JI sebagian besar berasal dari kegiatan ilegal, seperti perampokan dan cybercrime.
Apakah menggunakan bisnis legal sebagai kedok untuk mendanai terorisme ini tren baru?
Saya meneliti dinamika pendanaan organisasi teroris. Jaringan terorisme menggunakan cara-cara legal dan ilegal untuk mendanai aktivitas mereka–baik untuk serangan teror, propaganda, rekrutmen atau pelatihan militer.
Pendanaan teror
Menurut undang-undang pendanaan anti-teroris Indonesia, pendanaan teroris mengacu pada aset yang diketahui, atau patut diduga, digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan, organisasi, atau individu yang terkait dengan terorisme.
Ada tiga tahap pendanaan teroris: penggalangan dana, pemindahan dana, dan penggunaan dana.
Mereka dapat menggunakan bank atau cara lainnya untuk memindahkan uang mereka.
Bisnis teror
Menurut polisi, Para Wijayanto sebagai pemimpin JI yang baru, menjalankan bisnis perkebunan sambil merekrut lebih banyak anggota. Tujuannya adalah untuk mendirikan negara Islam di Indonesia.
Perkebunan kelapa sawit adalah bisnis besar di Indonesia; negara ini pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Bisnis ini bisa menghasilkan pendapatan yang besar. Berdasarkan penelitian saya, perkebunan sawit biasanya berada di lokasi terpencil sehingga ideal sebagai tempat persembunyian dan pelatihan militer.
Selain itu, perkebunan juga memberi peluang untuk membeli bahan kimia dalam jumlah besar, misalnya pupuk, yang bisa digunakan untuk merakit bom.
Jaringan JI telah lama melakukan bisnis secara legal untuk membiayai terorisme.
Pada awal 2000-an, anggota JI mengumpulkan uang tidak hanya melalui perampokan dan peretasan, namun juga mendirikan perusahaan penerbitan buku di Jawa Tengah. JI menggunakan langkah ini untuk menyebarkan propaganda sekaligus mencari uang.
Gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga telah mempengaruhi sebagian besar kelompok teroris di Indonesia, apalagi setelah ISIS mengumumkan keberadaannya di sini pada tahun 2014. Kelompok-kelompok yang terkait dengan JI telah bersumpah setia pada ISIS. Pemimpin JI, Abu Bakar Ba'asyir, juga bersumpah setia kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi.
ISIS memberi inspirasi cara-cara pendanaan baru. Penyelidik menemukan bahwa kelompok lokal mendirikan bisnis termasuk obat-obatan herbal dan toko bahan kimia.
Teknologi, terutama media sosial dan pesan instan, membantu bisnis-bisnis yang dimiliki para teroris ini. Mereka diduga menggunakan Facebook, Twitter, dan Whatsapp untuk menyebarkan propaganda, mendapat penghasilan dari bisnis online, dan untuk meminta atau menerima sumbangan.
Berikut adalah beberapa contoh bisnis legal yang dilakukan oleh anggota organisasi ekstremis tersebut:
1. Agen perjalanan
Pada akhir 2016, polisi menangkap tersangka yang terafiliasi dengan jaringan Katibah Nusantara, cabang ISIS di Asia Tenggara yang berbasis di Suriah dan diduga dipimpin oleh Bahrun Naim. Polisi juga menemukan agen perjalanan yang dijalankan oleh Rafiqa Hanum, istri Naim. Naim yang diyakini bertanggung jawab atas serangan di Jakarta pada 2016.
Polisi menyebut agen perjalanan tersebut membantu dua orang Muslim Uighur, Cina, yang merupakan bagian dari Gerakan Islam Turkistan Timur (East Turkestan Islamic Movement, kini Turkistan Islamic Movement), masuk ke Indonesia secara ilegal dan menyembunyikan mereka di Batam. Perusahaan itu juga membantu para pejuang teroris asing untuk masuk Suriah menyamar sebagai atau peserta umroh atau haji.
2. Obat herbal
Dalam dua kasus, penyelidik menemukan teroris yang berkaitan dengan usaha obat herbal. Dalam sebuah penangkapan pada tahun 2013 pada teroris yang melakukan kegiatan jihad di Poso, Sulawesi Tengah, polisi menemukan tersangka di Kebumen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai pengusaha obat herbal pada warga setempat.
Pada kasus lain pada tahun 2018 yang melibatkan Dita Oepriyanto, pelaku bom bunuh diri Surabaya, polisi menemukan ia menjalankan bisnis minyak herbal kemiri. Dia membeli bahan kimia untuk membuat bom dari pemasok online.
3. Usaha elektronik
Pada 2017, seorang tersangka teroris dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) ditangkap di Bekasi, Jawa Barat. Dia memiliki toko ponsel. Di tokonya, polisi menemukan bom pipa, peralatan elektronik, dan buku panduan untuk membuat bom.
Pilihan bisnis teroris
Faktor-faktor yang mempengaruhi teroris dalam memilih metode pendanaan mereka termasuk diantaranya keterampilan apa yang mereka miliki dan situasi yang mereka hadapi–misalnya adanya pemantauan ketat oleh pemerintah terhadap pemindahan dana lintas negara.
Undang-undang pendanaan anti-teroris telah meningkatkan kemampuan penegak hukum dalam mengurangi jaringan teroris Indonesia yang terhubung dengan jaringan lain di Asia Tenggara. Banyaknya penangkapan teroris dalam lima tahun terakhir adalah buktinya.
Ketika penegakan hukum menjadi lebih kuat, teroris harus mengubah taktik, termasuk penggunaan bisnis legal untuk menutupi gerakan dan menghindari pengawasan.
Baru-baru ini, metode lain telah ditemukan: penggunaan layanan keuangan mikro Baitul Maal. Baitul Maal adalah layanan keuangan mikro Islami berbasis masyarakat informal yang menggunakan pendekatan ekonomi dan sosial-keagamaan dengan menawarkan layanan keuangan kepada orang-orang miskin, termasuk mengumpulkan sumbangan dan memberikan pinjaman rendah untuk usaha kecil.
Selanjutnya apa?
Pemerintah harus tetap waspada terhadap perubahan metode pendanaan teroris. Tidak hanya metode penggalangan dana yang berubah, penggunaan dana juga telah berganti.
Dana digunakan tidak hanya untuk mempersiapkan serangan, tetapi juga untuk menghidupi keluarga tahanan, janda, dan anak-anak terpidana teroris. Misalnya, memberikan beasiswa kepada anak-anak dan layanan kesehatan untuk para janda dan istri tahanan teroris.
Masalah ini penting dan berbahaya karena dalam situasi demikian pemindahan dana menjadi semakin samar karena tidak digunakan secara langsung untuk kegiatan teroris.
Dalam analisis saya, orang-orang yang menyumbang dana tetap setia terhadap kelompoknya serta menciptakan generasi baru jihadis. Hanya ada sedikit program pemerintah yang menyediakan insentif sosial dan ekonomi untuk keluarga jihadis, namun tidak jelas hasilnya, serta kurang dipantau dan dikontrol. Saya percaya, program penanggulangan yang lebih mutakhir sangat dibutuhkan.
Penelitian terhadap pendanaan teroris sangatlah penting karena uang selalu menjadi pusat kekuatan semua kelompok teroris. Mereka bergantung pada pendanaan; kita harus meningkatkan kemampuan untuk mengatasi masalah ini.