Sepenggal Kisah Bahagia dan Haru Para Kesatria Biru di Jakarta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 29 Juli 2019 | 13:43 WIB
Setelah berjam-jam melawan api dan asap, seorang petugas tertunduk kelelahan. Mereka bersemboyan "pantang pulang sebelum padam". Namun, permukiman padat dan tak tertata adalah medan perang yang sulit. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id— Alasan menjadi pemadam kebakaran bisa jadi berbeda untuk setiap petugas. Wahyudi, petugas dari Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana di Jakarta Pusat, punya alasan sendiri. Lelaki yang telah berkeluarga ini mempunyai pandangan bahwa pekerjaan termulia di dunia ini hanya ada tiga: guru, pemadam kebakaran, dan tukang pos.

Berangkat dari pemikiran itulah Wahyudi awalnya bercita-cita jadi guru. Setamat SMA ia melanjutkan ke UNJ Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan Bahasa Jerman. Namun, bahasa Jerman tak semudah yang ia bayangkan. Akibatnya tiga tahun berturut-turut indeks prestasinya di bawah cukup, sehingga ia dikeluarkan.

Suatu hari lowongan pemadam di harian ibu kota membulatkan impiannya untuk menjadi ksatria biru. Setelah serangkaian uji masuk dilalui, akhir 2004 ia sudah bertugas sebagai pasukan pemadam. Salah satu pekerjaan yang dianggapnya termulia itu sudah di bahu Wahyudi, menunggu darma menjaga Ibu Kota.

Baca juga: Petugas Pemadam Kebakaran Berisiko Terkena Serangan Jantung, Benarkah?

Sekelompok personel pemadam kebakaran Group A beristirahat makan siang di Markas Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, Provinsi DKI Jakarta. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Petugas pemadam kebakaran adalah pekerjaan unik. ”Orang lain bekerja menghindari bahaya, tapi pemadam justru bekerja menghadang bahaya”, kata Wahyudi. Pendapatnya bukan tanpa alasan. Setiap menjalani tugas, seorang pemadam bak bergadai nyawa sejak berada dalam perjalanan, risiko konflik dengan warga atau preman setempat, hingga pemadaman di lokasi kebakaran.

Sesampainya di lokasi kadang petugas disambut umpatan kekecewaan warga karena dianggap terlambat datang dan bekerja sangat lamban. Tak jarang petugas harus berhadapan dengan kepanikan warga yang cenderung brutal dan membahayakan jiwa petugas. ”Kalau pekerjaan berhasil tidak mendapat pujian, tetapi kalau pemadaman tidak berhasil dianggapnya kelalaian petugas, kurang cekatan, tidak bawa air,” ujar Widodo Ngadono lelaki mantan pasukan pemadam yang kini menjadi polisi khusus pemadam.

Dua petugas pemadam kebakaran mengarahkan air ke api yang sudah membesar pada sebuah kebakaran di Ja (Alex Pangestu)

Gatot Santoso seorang pengemudi mobil pompa satuan Bantuan Operasional pernah dipaksa warga memasuki gang sempit. Awalnya lelaki mantan satpam ini menolak, namun seorang warga tiba-tiba mengancamnya dengan kalungan celurit. Gatot berat hati menyanggupi permintaan warga. Mobil pompa berhasil masuk ke permukiman meski rusak parah setelah menerobos gang sempit, melibas kandang ayam, dan merubuhkan gapura.

Kepanikan warga ketika kebakaran memang bisa dimaklumi para petugas. Namun kadang warga yang panik tersebut mengganggu usaha pemadaman dengan cara merebut selang dari tangan petugas. Kadang terjadi pertikaian antarwarga sendiri karena saling berebutan selang. Mereka yang berebut adalah warga yang rumahnya belum terbakar. Akibatnya selang dengan tekanan delapan bar terlepas dan meliuk-liuk tak terkendali, malah menimbulkan bahaya baru.

Tak hanya itu, kejadian lain yang menguji samudra kesabaran para pemadam adalah seringnya panggilan bencana kebakaran palsu. Sepanjang tahun lalu, setidaknya 8 kasus panggilan palsu per bulan di DKI Jakarta telah membuat petugas kerepotan. Operator radio di pusat komando kini lebih teliti jika menerima berita panggilan kebakaran yang masuk dari nomor 113. Untuk memperoleh data kejadian kebakaran yang valid, para petugas operator selalu menanyakan dengan detail  nama pelapor, nomor telepon yang bisa dihubungi, lokasi kebakaran, dan pokok benda yang terbakar.

Baca juga: 9 Alasan Mengapa Perubahan Iklim Memicu Kebakaran di Berbagai Negara