Nationalgeographic.co.id - “Hoi, mau kemana? Kalian tak boleh lewat jembatan ini. Kalau lewat saya pukul, pulang jam ini juga!” ujar seorang yang berlogat Papua berbadan tegap. Dia berkacamata hitam menutupi matanya sambil berteriak bernada marah. Dag dig dug, sontak jantungku berdetak cepat, bahkan gugup dan kebingunan. Saat itu saya bersiap mengambil foto jembatan penghubung menuju Desa Yeflio, Distrik Mayamuk, Papua Barat.
Tiba-tiba dari kejauhan suara itu terdengar. Tak pikir panjang saya dan kawan-kawan berbalik arah mengurungkan niat menyeberangi jembatan. Dalam hatiku daripada kena jotos. Memang tak ada harga foto senilai nyawa.
Dari sungai seberang datanglah sebuah sampan, kemudian menepi. Turunlah dua orang penumpang. Seorang laki-laki mengenakan topi dan membawa dua jerigen merah menghampiri. “Mau kemana adik-adik ini?” tanyanya dengan senyum. “Ke pantai pak, katanya disana ada pantai” jawabku dengan senyum balasan.
Baca Juga: Karawapop, Laguna Hati yang Berapit Gugusan Pulau Papua Barat
Dengan mengutarakan maksud tujuan untuk melihat potensi wisata pantai yang dimiliki Desa Yeflio akhirnya saya dipersilahkan untuk menyeberang. Bapak yang turun dari sampan tadi bagiku ibarat malaikat penyelamat dari kesalahpahaman warga yang tak memperbolehkanku melewati jembatan ke desa seberang.
Untuk menuju Desa Yeflio bukanlah hal yang mudah, saya harus melewati jembatan kayu yang dibangun swadaya masyarakat berukuran satu setengah meter. Beberapa jembatan kayu itu terlihat usang, pun ada yang patah. Semoga jembatan reyot ini mampu menopang semua benda yang melewati diatasnya.
Usut punya usut proyek jembatan yang menghubungkan ke desa sudah mangkrak beberapa tahun lalu. Oleh karena itu warga sangat benci dengan orang pemerintahan setempat karena tak kunjung menyelesaikan pembangunan. Warga menjadi terkendala transportasi menuju desa sebelah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Desa Yeflio terletak di selatan kota Sorong sekitar 35 kilometer. Untuk menuju desa ini harus melalui jalan yang belum diaspal, berkerikil bahkan beberapa diantaranya berlubang. Tak jarang di jalan yang kondisi memprihatinkan harus bergantian untuk melewati satu jalan karena kanan-kiri terdapat banyaknya lubang. Tak hanya itu, debu yang beterbangan berasal dari jalan tanah yang kering membuat jarak pandang hanya 10 meter saja.
Bayangkan saja, jika dari arah berlawanan tak melihat kendaraan lawan arahnya bisa saja terjadi kecelakaan, brak!. Jalan debu dengan jarak terbatas ini mengingatkanku pada kondisi rumahku kala diguyur hujan debu Gunung Kelud dua tahun silam.
Mata terkesima menyaksikkan hamparan samudra. Angin sepoi-sepoi menyejukkanku, padahal panas terik menyengat. Tak seorang pun tampak. Pantai Yeflio, begitu warga menyebutnya. Dermaga mungil pun seakan mengajakku untuk menari diatasnya. Hanya serasa sejangkah kaki saja jarakku ke Pulau Sakanun yang berada di tengah pantai.