Pelesir Sesaat di Kota Sorong

By Rahmad Azhar Hutomo, Senin, 26 Agustus 2019 | 12:58 WIB
Anak-anak menghabiskan waktu siang hari dengan bermain karet bersama di salah satu halaman rumah di desa Yeflio, distrik Mayamuk, Sorong, Papua Barat. Untuk menuju ke desa ini kita harus melewati jembatan kayu yang berlubang. Memang sedang dibangun fasilitas jembatan yang lebih layak, namun proyek p (Rahmad Azhar Hutomo)

Nationalgeographic.co.id - “Hoi, mau kemana? Kalian tak boleh lewat jembatan ini. Kalau lewat saya pukul, pulang jam ini juga!” ujar seorang yang berlogat Papua berbadan tegap. Dia berkacamata hitam menutupi matanya sambil berteriak bernada marah. Dag dig dug, sontak jantungku berdetak cepat, bahkan gugup dan kebingunan. Saat itu saya bersiap mengambil foto jembatan penghubung menuju Desa Yeflio, Distrik Mayamuk, Papua Barat.

Tiba-tiba dari kejauhan suara itu terdengar. Tak pikir panjang saya dan kawan-kawan berbalik arah mengurungkan niat menyeberangi jembatan. Dalam hatiku daripada kena jotos. Memang tak ada harga foto senilai nyawa.

Dari sungai seberang datanglah sebuah sampan, kemudian menepi. Turunlah dua orang penumpang. Seorang laki-laki mengenakan topi dan membawa dua jerigen merah menghampiri. “Mau kemana adik-adik ini?” tanyanya dengan senyum. “Ke pantai pak, katanya disana ada pantai” jawabku dengan senyum balasan.

Baca Juga: Karawapop, Laguna Hati yang Berapit Gugusan Pulau Papua Barat

Dengan mengutarakan maksud tujuan untuk melihat potensi wisata pantai yang dimiliki Desa Yeflio akhirnya saya dipersilahkan untuk menyeberang. Bapak yang turun dari sampan tadi bagiku ibarat malaikat penyelamat dari kesalahpahaman warga yang tak memperbolehkanku melewati jembatan ke desa seberang.

Untuk menuju Desa Yeflio bukanlah hal yang mudah, saya harus melewati jembatan kayu yang dibangun swadaya masyarakat berukuran satu setengah meter. Beberapa jembatan kayu itu terlihat usang, pun ada yang patah. Semoga jembatan reyot ini mampu menopang semua benda yang melewati diatasnya.

Pagoda Sapta Ratna, tempat ibadah satu-satunya umat Budha di Kota Sorong. Vihara ini telah berusia 82 tahun. Dari sini kita dapa menikmati sajian pemandangan pelabuhan dan pulau-pulau sekitar Sorong. Sore hari adalah waktu yang pas untuk mengunjunginya. (Rahmad Azhar Hutomo)

Usut punya usut proyek jembatan yang menghubungkan ke desa sudah mangkrak beberapa tahun lalu. Oleh karena itu warga sangat benci dengan orang pemerintahan setempat karena tak kunjung menyelesaikan pembangunan. Warga menjadi terkendala transportasi menuju desa sebelah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Desa Yeflio terletak di selatan kota Sorong sekitar 35 kilometer. Untuk menuju desa ini harus melalui jalan yang belum diaspal, berkerikil bahkan beberapa diantaranya berlubang. Tak jarang di jalan yang kondisi memprihatinkan harus bergantian untuk melewati satu jalan karena kanan-kiri terdapat banyaknya lubang. Tak hanya itu, debu yang beterbangan berasal dari jalan tanah yang kering membuat jarak pandang hanya 10 meter saja.

Bayangkan saja, jika dari arah berlawanan tak melihat kendaraan lawan arahnya bisa saja terjadi kecelakaan, brak!. Jalan debu dengan jarak terbatas ini mengingatkanku pada kondisi rumahku kala diguyur hujan debu Gunung Kelud dua tahun silam.

Pagoda Sapta Ratna, tempat ibadah satu-satunya umat Budha di Kota Sorong. Vihara ini telah berusia lebih dari 80 tahun. (Rahmad Azhar Hutomo)

Mata terkesima menyaksikkan hamparan samudra. Angin sepoi-sepoi menyejukkanku, padahal panas terik menyengat. Tak seorang pun tampak. Pantai Yeflio, begitu warga menyebutnya. Dermaga mungil pun seakan mengajakku untuk menari diatasnya. Hanya serasa sejangkah kaki saja jarakku ke Pulau Sakanun yang berada di tengah pantai.

“Dulu saya bangun gubug itu, ya sekitar tahun 2011” saut tukang ojek yang berbaju kerah merah sambil menunjuk gubug yang sudah reyot dan tak layak pakai. Sungguh sayang, kondisi pantai yang memprihatinkan. Tak terawat, terlihat kumuh bak pantai yang ditinggalkan pengunjungnya. Seharusnya pemerintah setempat peka. Bayangkan saja jika fasilitas seperti akses jalan yang nyaman dan fasilitas lainnya dibangun, pastinya pengunjung tak henti berkunjung.

Saya beranjak sejenak dari pantai, melangkahkan kaki mengitari perkampungan. Mataku terpukau dengan pesona bayu yang menyibakkan bendera Merah Putih. Di bawah bendera yang kokoh berdiri tegak itu terlihat gedung sekolahan, gedung itu tak lain satu-satunya sekolah di desa itu, SD YPK Yeflio. Kusempatkan untuk mengunjunginya. Ternyata mata pelajaran Matematika masih berlangsung untuk kelas enam. Mereka terlihat serius mengerjakan soal yang diberikan oleh guru.

Warga menjajakan dagangannya beraktifitas di Pasar Boswesen, Sorong. Mereka menjajakan dagangan seperti ikan, inang, sayur, pakaian dan perlengkapan sehari-hari. (Rahmad Azhar Hutomo)

“Kami hanya memiliki tiga gedung saja, padahal kami mengajar dari kelas satu hingga kelas enam” ujar seorang ibu guru yang mengajar. Tiga gedung ternyata digunakan secara bergantian. Terdapat enam guru yang mengampu sekolah ini. Tampaknya keterbatasan ini tak menyulutkan semangat belajar para siswa, mereka tetap semangat untuk mengikuti pelajaran setiap harinya demi meraih cita-cita.

Kota Sorong, Papua Barat memang termasyur dengan kekayaan patranya. Terbukti sejak tahun 1935 perusahaan minyak milik Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) pernah melakukan aktifitas produksinya di kota ini. Sorong merupakan kota yang strategis, beberapa kabupaten mengililinginya. Shingga kota Sorong pun merupakan kota industri, perdagangan dan jasa.

Tak terbendung kegiranganku, terlebih bayang-bayang yang selalu muncul di benakku selama keberangkatan tentang wajah kota Sorong. Alih-alih ini perjumpaanku yang pertama kalinya ke Bumi Cenderawasih. Bagiku Papua adalah mutiara bagi ibu pertiwi. Sungguh beruntung dalam hatiku berkata.

Beragam pinang yang dijual di Pasar Boswesen, Sorong, Papua Barat beragam. Dari harga dua ribu rupiah hingga puluhan ribu rupiah. (Rahmad Azhar Hutomo)

Bagi para pelancong, pasti Sorong merupakan tempat persinggahan sebelum menuju ke Raja Ampat. Jangan sekali-kali menyiakan waktu untuk bersinggah. Punggung bukit akan menyuguhi arsitektur yang apik di Pagoda Sapta Ratna. Dari pagoda yang telah berumur 32 tahun dapat disaksikan keelokan pesona pantai yang membentang di kota Sorong. Tak jarang terlihat jejeran kapal-kapal berlabuh yang menambah bumbu pemandangan lebih sedap. Pulau Doom, bakal kota Sorong pada masa Hindia Belanda pun tak luput dari indera. 

Merasa masih penasaran dengan kota Sorong saya pun menyewa ojek. Setelah menego harga akhirnya saya memulai penjelajahan. Mendung yang selalu menutupi kota Sorong beberapa hari tak menyudutkanku.

Siang yang begitu terik, memacu para bocah untuk menceburkan diri ke kolam alami di kawasan tambang pasir, Sorong Utara. (Rahmad Azhar Hutomo)

Laju kuda besi meroda menuju pusat perekonomian, Pasar Boswesen. Pasar berjarak delapan kilometer dari kota Sorong. Selain memakai ojek, bisa juga menaiki angkutan umum yang selalu berlalu-lalang di setiap sudut jalan. Bagi yang pehobi fotografi, pasar Boswesen cukup menarik untuk diabadikan. Berlatar belakang dengan laut langsung menjadikan pasar semakin unik. Sore hari adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi. Pasar Boswesen masih termasuk pasar tradisional, pedagang menjajakan dagangan mereka dipinggir jalan saja. Banyak warga pribumi beraktifitas di pasar ini.

Pencarianku belum berakhir, tengah hari saya melaju ke daerah Soorong Utara. Banyak dijumpai tambang-tambang pasir yang masih beroperasi. Pasir tambang ini unik, warnanya hamper sama dengan putih pasir pantai. Dari kejauhan saya melihat gerombolan anak-anak. Mereka melucuti pakaian satu-satu. Saya pun mendekat. “Kakak mau ikutan mandi juga?” tanya bocah kecil yang telah melepas bajunya. “Ah tidak, kakak nonton saja” jawabku sambil menyiapkan peralatan rekam. Ternyata di tengah tambang pasir terdapat kolam kecil yang berisi air. Bagi anak-anak mungkin kolam ini bak kolam renang gratis.

Tembok berlin, begitu warga sekita menjulukinya karena bentuknya menyerupai tembok di Jerman. Tempat ini menjadi favorit muda-mudi di kota Sorong, tak jarang mereka membawa pasangan untuk menikmati senja sore hari. (Rahmad Azhar Hutomo)

Byuuur! Mereka mulai melompat dari tebing yang cukup tinggi, mungkin empat meter tinggi tebing itu. Cipratan air mulai membasahi celana dan bajuku. Saya tetap fokus merekam kegirangan mereka. Sesekali tanganku mengusap-usap lensa kamera yang basah. Bress! Hujan pun turun. Saya akhirnya berpamitan dengan empat bocah. Mungkin suaraku tak digubris karena mereka hanyut dalam keriangan.

Sore pun tiba, matahari mulai membenamkan diri ke ufuk barat. Cahaya mulai sayu-sayu pendarnya. Saya merencanakan menghabiskan waktu sore hari menuju ke Tembok Berlin. Tembok ini berada di utara Kota Sorong. Tempat ini berada di pinggir pantai, sehingga tempat ini menjadi favorit para muda-mudi. Tak jarang mereka membawa pasangan. Saya duduk sejenak sambil menatap luasnya samudra. “Da dah pantai besar” ujar anak kecil yang melambaikan tangannya. Tembok Berlin menjadi destinasi penutup kunjunganku.

Menghabiskan waktu sore hari dengan berenang di pantai di daerah tembok berlin, Sorong menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak setiap harinya. (Rahmad Azhar Hutomo)

Foto dan teks oleh Rahmad Azhar Hutomo.