Makam Kapitan Cina Pertama di Batavia, Makam Tertua Seantero Jakarta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 1 Agustus 2019 | 13:43 WIB
Prasasti pada makam Souw Bing Kong. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Bola plastik yang ditendang melambung itu memantul di dinding lorong sempit. Riuh jerit tawa anak-anak kampung pun membahana. Sesekali permainan itu terhenti sejenak karena ada pengendara sepeda motor yang melintas atau penjual daging babi yang lewat.

Sebuah potret makin terhimpitnya ruang bermain bagi anak-anak kota. Bermain bola saja sulit, bagaimana mungkin negeri ini mencetak pemain bola berbakat. Begitulah, pemandangan singkat suatu sore di Gang Taruna, sebuah lorong Jalan Pangeran Jayakarta di Jakarta Pusat, tak jauh dari kawasan pusat perbelanjaan Mangga Dua.

Beberapa waktu silam, lorong sempit itu dilewati para peziarah yang akan melakukan sembahyang Ceng Beng, sekaligus memperingati wafatnya seorang terhormat perintis budaya peranakan di Batavia, Souw Beng Kong. Dia adalah Kapitan Cina pertama di Batavia yang telah terbaring di bawah bongpai sejak 1644.

Dahulu, lorong itu bernama Gang Souw Beng Kong. Saya tidak tahu sejak kapan dan siapa yang berinisiatif menggantinya dengan nama Gang Taruna, yang seolah merendahkan si pemilik makam yang pangkat titulernya adalah kapitan.

Makam Souw Beng Kong tampak lebih lega dan bersih setelah sebuah yayasan yang menggunakan nama kapitan itu mengusahakan pembebasan lahan dan pemugaran pada 2008. Makam yang tadinya hanya satu meter persegi karena terhimpit permukiman, diperluas menjadi sekitar 170 meter persegi!

Baca juga: Empat Abad Batavia, Awal Rupa Bandar Terpenting di Asia Tenggara

Lilie Suratminto, pengajar di Program Studi Belanda FIB UI, menerjemahkan prasasti riwayat hidup Souw Bing Kong. Prasasti ini ditambahkan pada pemugaran pertama oleh Mayor Cina Khouw Kim An pada 1929. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sebelum pemugaran, ketika saya berkunjung pertama kali, keadaannya sangat mengenaskan: terpuruk dalam kungkungan rumah-rumah dan tempat cuci piring menjadi hiasan altar makamnya. Terzalimi hati ini melihat ketakberadaban kala itu. Selama berpuluh-puluh tahun makam Beng Kong memang terbengkalai. Kebun kelapa tempatnya bersemayam pun kini telah berubah menjadi hutan beton.

Saya berkesempatan berjumpa dengan Su Shien Ming, yang akrab dikenal sebagai Hendarmin Susilo, di kantornya. Dia menjabat sebagai ketua Yayasan Souw Beng Kong yang sekaligus mengikhtiarkan pelaksanaan pemugaran makam ini pernah mengungkapkan, “Dari tujuh makam di kebun itu hanya tersisa dua, lainnya milik seseorang bermarga Lie yang keadaannya jauh lebih memprihatinkan.”

Dia menyusun buku bertajuk Riwayat Kapiten Pertama Batavia Souw Bing Kong (1580-1644) yang berisi biografi singkat dan upaya pemugaran makamnya. Di dalam buku itu terdapat peta kecil yang memerikan peta permakaman di dalam area "klappertuin" atau kebun kelapa di "Kampong Mangga Doea" yang berlokasi di tepian "Weg van Jacatra".

Peta permakaman Cina di Kampong Mangga Doea, di kawasan kebun kelapa. Dinukil dari buku 'Kapiten Pertama Batavia Souw Beng Kong' yang disusun Hendarmin Susilo. (Hendarmin Susilo dalam Kapiten Pertama Batavia Souw Beng Kong)

 

Hendarmin wafat pada awal 2013. Selain menjabat sebagai ketua yayasan tadi, publik juga mengenangnya sebagai pengurus INTI DKI Jakarta, pemilik perusahaan rekaman Gema Nada Pertiwi, dan pemerhati musik keroncong.

Prasasti beraksara Cina menghiasi sisi tengah bongpai Beng Kong. Tiga prasasti yang mengapitnya bertutur tentang kehidupannya dalam dwi bahasa, Belanda dan Cina. Prasasti tengah merupakan prasasti aslinya. Sementara kedua prasasti di sisi kiri dan kanannya ditambahkan kemudian saat renovasi makam oleh Kong-Kuan (dewan perwakilan warga Cina di Batavia) atas prakarsa Mayor Cina Khouw Kim An pada 1929.

Tampaknya makam Beng Kong merupakan makam tertua di seantero Jakarta yang masih dapat kita kenali. Tahun 2019, kita mengenang pembangunan Kota Batavia pada 400 tahun silam, sebuah kota yang dibangun di atas reruntuhan Keraton Jayakarta.

Baca juga: Saatnya Gulungan Arsip VOC Ungkap Losmen Lampu Merah di Batavia

Pemandangan yang dilihat dari tepian barat Ciliwung, seberang Bastion Diamant (tidak tampak). Kapal-kapal bersandar, yang berlatar permukiman awal orang-orang Cina di Batavia. Sungai Ciliwung belum diluruskan. (Rob Tuytel/Westfries Museum)

Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen menunjuk Souw Beng Kong sebagai kapitan pada 1619 untuk membangun tata kota baru. Sang Kapitan bertanggung jawab atas perdagangan dan perkembangan warga Cina di Batavia. Jadi meski berlabel kapitan, jabatan ini tidak berkait dengan fungsi militer. Beng Kong bertugas selama 17 tahun, dalam masa pemerintahan lima gubernur jenderal.

Seperti layaknya etnis Cina di Jakarta hari ini, kesibukan Beng Kong pun tidak jauh berbeda. Ia pemilik berbagai usaha seperti pembuatan mata uang koin tembaga, pemilik kapal, kontraktor, dan pengawas rumah perjudian dan rumah penimbangan.

Dia menghuni kawasan permukiman orang-orang Cina, yang sudah ada pada zaman Kota Jayakarta. Mungkin saja, kawasan itu menjadi tempat bermukim orang-orang Cina yang didatangkan Coen ke Batavia. Menurut catatan semasa, kediamannya dijaga 12 serdadu Eropa.

Adolf Heuken, dalam Historical Sites of Jakarta, mengungkapkan bahwa Beng Kong memiliki lima anak. Satu anak bermukim di Tiongkok; Dua anak lelaki yang dilahirkan dari budak perempuan asal Bali; seorang anak lelaki dari perempuan Cina; dan seorang anak perempuan dari ibu yang tidak jelas asal-usulnya. "Istri resminya (yang kedua?), Nyai Inqua, barangkali berdarah Melayu," tulis Heuken, "karena wasiat terakhir suaminya harus dijelaskan kepadanya dalam bahasa itu."

Beng Kong mengundurkan diri sebagai kapitan pada 1636, lalu pulang ke Taiwan untuk mengembangkan pertanian padi dan perkebunan tebu. Tiga tahun kemudian, ia kembali lagi ke Batavia.

Baca juga: Gemerlap Para Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC

Peta Batavia 1627, yang direproduksi dari peta karya Frans Florisz. Berckenrode. Kini, disimpan di Tropenmuseum, Belanda. (Tropenmuseum)

Peta di atas menunjukkan rupa Batavia pada 1627, kota yang dibangun oleh orang-orang Cina yang didatangkan Coen. Mona Lohanda, arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia dan pemerhati sejarah peranakan Cina, berpendapat bahwa Kota Batavia banyak berhutang kepada warga Cina pendatang pada masa awal pembangunannya. Mereka tidak hanya pedagang, tetapi juga artisan dan tukang. “Anda lihat interior Gedung Arsip Nasional yang didominasi warna keemasan dan merah, sekalipun hiasan bergaya barok", ungkap Lohanda. “Insinyur bangunan itu tentu saja orang Eropa dan biasanya VOC membuat kontrak dengan para aannemer (kontraktor) Cina itu, sangat rinci perjanjiannya.”

Boleh dikata, kemakmuran Batavia disumbang oleh warga Cina. Mereka membayar pajak kepala, sementara warga lainnya tidak. Belum lagi pajak-pajak lain yang dipungut oleh pachter (pemegang lisensi) orang Cina yang disetorkan kepada VOC untuk pembiayaan kota.

Namun, Lohanda juga mengingatkan perihal sumbangan untuk Batavia dari warga pribumi lain yang bekerja sebagai budak, serdadu, orang bebas. Juga para kapitannya ―seperti Kapitan Bali, Kapitan Melayu, Kapitan Ambon, Kapitan Bugis, Kapitan Makassar, Kapitan Jawa, dan Kapitan Sumbawa. “Tidak baik terlalu menonjolkan peranan warga Cina di sini, tetapi memang jelas, Batavia dan VOC berhutang banyak kepada mereka,” ungkap Lohanda.

Baca juga: Stigma Janda Muda dalam Tembok Kota Batavia

Makam Kapitan Cina yang pertama di Batavia, Souw Bing Kong (1580-1644), tak berdaya dihimpit peradaban yang dahulu pernah dibangunnya. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Semua warga di Gang Taruna mengetahui keberadaan makam kapitan itu, namun hampir semuanya tak tahu siapa sejatinya Beng Kong. Sumiyati yang tinggal di dekat makam itu sejak 1960 sampai sekarang tak tahu sosok yang bersemayam di depan rumahnya itu. “Ibu nggak tahu siapa dia, orang sini juga pada nggak tahu,” katanya.

“Di dekat sini dulu juga ada makam,” ungkap Sumiyati sambil menunjuk ke beberapa jengkal dari tempatnya berdiri , “Dulu ada batunya, tapi sudah ditimbun untuk rumah.”

Andai makam kapitan itu ikut punah terlindas jantera zaman—seperti makam-makam di sebelahnya—tak ada lagi bukti awal peradaban masyarakat peranakan di Jakarta. Sampai saat ini makam tertua di Jakarta itu masih mengharapkan dukungan pemerintah dan warga supaya terhindar dari aniaya kota yang dulu pernah ia rintis peradabannya.

Seperti harapan anak-anak Gang Taruna untuk menjadi pemain bola dengan segala keterbatasan sarana kota: Semua itu perlu kerja keras untuk mewujudkannya.