Sejarah baru tercipta di Muara Ciliwung. Kamis, 30 Mei 1619, serdadu-serdadu VOC asal Belanda dan tentara bayarannya asal Belgia, Denmark, dan Jepang bergempita merayakan keberhasilan penaklukkan Jaccatra di benteng mereka. Sementara itu Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen justru masih berada nun jauh di Kepulauan Rempah, Maluku.
Jaccatra adalah sebutan dalam dokumen VOC untuk Kota Jayakarta. Para serdadu telah mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Batavia, penghormatan kepada suku bangsa Batavier sebagai leluhur orang-orang Belanda. Benteng kecil Jaccatra pun berganti nama menjadi Kasteel Batavia.
Setelah penaklukan itu Sultan Banten memerintahkan seluruh rakyat dan tentaranya agar mengungsi dan mengosongkan kota. Sebuah kota baru di sisi selatannya dibangun di atas puing-puing kekalalahan Jayakarta. Kita tidak tahu pasti lokasi persis keraton dan alun-alunnya, namun diduga berada di sisi barat Ciliwung.
Kendati Jayakarta ditaklukkan pada 1619, sejatinya nama resmi “Jaccatra” masih digunakan hingga dua tahun kemudian. Barulah pada Sabtu, 28 Agustus 1621, Coen menulis dalam Plakaatboek bahwa kompeni diperintahkan “supaya kota ini harus disebut dan diberi nama sejak saat ini dan seterusnya [sebagai] Kota Batavia dan bentengnya Kasteel Batavia yang terletak di dalam Kerajaan Jaccatra.”
Baca juga: Serdadu VOC Asal Tanah Madura
Kastel Batavia bukanlah bangunan Eropa pertama di Nusantara kita. Sekitar seabad sebelum benteng itu berdiri, sebuah kota koloni pertama di negeri ini telah dibangun Portugal di Ternate. Fort São João Baptista, demikian nama benteng yang diprakarsai oleh Antonio de Brito pada 1522. Pembangunan bertahap telah mewujudkan barak, kapel, sekolah, permukiman, dan menara-menara ala kastel di Eropa, dan dikelilingi parit.
Sejak awal Agustus 1619, sejatinya Coen sudah resah tentang keadaan Kasteel Batavia yang layaknya tempat tinggal darurat dan hidup ala kadarnya. Intinya, benteng itu terlalu kecil sehingga perlu diperbaiki atau membangun benteng baru.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang akan membangun kota taklukan yang tanpa penduduk ini? Batavia mendapati kesulitan sumber daya manusia. Coen memiliki siasat jitu—dan tak beradab—untuk perkara ini. Semua orang Cina yang berada di kapal jung mereka akan dikirim ke Batavia untuk meneruskan pekerjaan pembangunan kota. Tidak hanya orang Cina, orang Jawa, tawanan perang, dan orang Banda pun dipindahkan ke Batavia.
Demi pembangunan benteng baru, Kompeni menugaskan Kapten Willem Ysbrandtszoon Bontekoe (1587 – 1657) untuk mendatangkan material dari Kepulauan Seribu. Kini, patung torsonya dipajang di pelabuhan kota kelahirannya, Hoorn. Ia menulis catatan perjalanannya dari Hoorn ke Hindia Timur, yang terbit pada 1646. “Mereka memberi saya empat puluh laskar untuk mengungkit dan mengikat batu-batu dengan tambangsupaya dapat menghelanya ke dalam perahu,” ungkapnya. “Batu-batu tersebut sangat putih, jauh lebih putih daripada batu kapur di negeri Belanda. Benteng di bangun terutama dari batu seperti itu, dari dalam air terus hingga puncak. Senang melihatnya. ”
Baca juga: Hikayat Rumah Perdesaan Milik Petinggi VOC di Palmerah
Luas Kasteel Batavia yang baru kira-kira tiga kali luas benteng yang lama. Empat bastionnya—kubu benteng—memiliki nama-nama batu mulia, searah jarum jam berawal dari barat laut: Parel, Saphir, Robijn, dan Diamant. Penamaan itu menandai penyebutan Kota Intan sebagai toponimi kawasan ini. Kantor VOC berpindah ke Kastel Batavia, yang sebelumnya menempati kota pelabuhan penting di Banten, Makassar, dan Ambon. Dan, Kastel Batavia menandai permulaan pembangunan kota modern di Muara Ciliwung.
Sedikitnya jumlah warga perempuan di Batavia karena VOC memberikan aturan ketat dalam menerima pemukim baru. Coen mendesak terpenuhinya persyaratan kebutuhan dasar bagi warga kota yang beradab. Dia dengan gemas melarang keras pergundikan, perzinahan, dan pelacuran. Kota yang beradab, demikian hemat Coen, harus dimulai dari warga yang beradab.
Kompeni menunjuk Souw Beng Kong sebagai kapitan pada Oktober 1619 untuk membangun tata kota baru. Sang Kapitan bertanggung jawab atas perdagangan dan perkembangan warga Cina di Batavia.
Ia pemilik berbagai usaha seperti pembuatan mata uang koin tembaga, pemilik kapal, kontraktor, dan pengawas rumah perjudian dan rumah penimbangan. Kelak, Beng Kong bertugas selama 17 tahun, dalam masa pemerintahan lima gubernur jenderal.
Baca juga: Saatnya Gulungan Arsip VOC Ungkap Losmen Lampu Merah di Batavia
Sampai awal 1628, Batavia masih kesulitan mencari warga yang bersedia menghuni dan membangun di kota itu. Saat itu jumlah orang-orang Cina di Batavia mencapai 3.000 jiwa. VOC mengakui bahwa mereka tipe pekerja keras dan lihai berdagang, namun tidak dapat diandalkan untuk bertempur.
Mona Lohanda, arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia dan pemerhati sejarah peranakan Cina, berpendapat bahwa Kota Batavia banyak berhutang kepada warga Cina pendatang pada masa awal pembangunannya. Namun, ia juga mengingatkan perihal sumbangan warga Nusantara yang bekerja sebagai budak, serdadu, dan para kapitan mereka di kota ini. “Tidak baik terlalu menonjolkan peranan warga Cina di sini, tetapi memang jelas, Batavia dan VOC berutang banyak kepada mereka,” kata Mona.
Sebelum penyerangan pertama Mataram ke Batavia pada pertengahan 1628, Kasteel Batavia kedua telah berdiri. Di sisi selatannya tampak permukiman baru yang bersabuk jaringan kanal. Bahkan, seruas kanal telah dibangun di sisi timur, berikut dengan bangunan pertahanan.
Mona menerangkan kepada saya sebuah plakat yang berisi pengumuman hasil sidang Dewan Hindia pada 1630. Plakat itu menegaskan aturan yang disebut negenuursbloemen. Peraturan itu membolehkan budak-budak Kota Batavia—nama lama untuk Jakarta—untuk membuang sampah rumah tangga dan kotoran manusia ke jaringan kanal kota setelah pukul 21.00. Rupanya, kebiasaan buang sampah di saluran air itu berlanjut hingga hari ini.
Baca juga: Zaman VOC, Biang Kemacetan Bisa Kena Denda
“Sistem kanal itu gagal,” ujar Restu Gunawan, sejarawan yang saat ini juga menjabat sebagai Direktur Kesenian di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Setelah Gunung Salak meletus pada 1699,” menurut Restu, “Batavia seperti gua yang runtuh.” Kanal-kanal yang dibangun VOC tersumbat endapan lumpur. Penyakit menyeruak dari kanal, dan kota mengalami kehancuran. “Tidak ada bukti sejarah, setelah kanal itu dibangun, orang di sekitarnya terbebas dari banjir.”
Dalam penelitiannya soal sejarah lingkungan Jakarta, Restu mengungkapkan kegagalan sistem kanal yang juga dibangun era kolonial disebabkan pemerintah Hindia Belanda tidak memperhitungkan geografi Batavia. Kawasan ini merupakan dataran rendah yang terbentuk karena erosi sungai dari gunung berapi di sisi selatan kota. “Sedimentasi Negeri Belanda tak seperti Jakarta,” ungkapnya. “Sedimentasi membuat kanal tidak optimal.
National Geographic Indonesia edisi April 2019 bekerja sama dengan Westfries Museum, yang bertempat di Horn, untuk menyajikan rupa kota Batavia pada dekade pertamanya. Kami menyampaikan terima kasih kepada Cees Bakker selaku kurator Westfries Museum dan Rob Tuytel sebagai seniman di balik riset dan karya impresinya tentang Kota Batavia.
Peta Batavia yang menjadi acuan Rob adalah peta karya Frans Florisz. Berckenrode, seorang pengukur Batavia. Ia menorehkan pada kanvas, setahun sebelum penyerbuan Mataram. Tampaknya, sebagian dari wajah Batavia yang dilukis Frans pada peta itu merupakan rencana yang belum sepenuhnya dikerjakan. Peta itu menjadi koleksi Jan Pieterzoon Coen, yang setelah sang gubernur jenderal VOC itu wafat pada 1629, dibawa pulang oleh istrinya ke Hoorn, Belanda. Pada 1918, peta itu ditemukan kembali lalu dibuat reproduksinya yang kini disimpan di Tropenmuseum.
Baca juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
Sampul pada edisi April 2019 melukiskan Kastel Batavia pertama yang masih berdiri kokoh pada 1627, meski Kastel BataviaKedua sudah hampir selesai. Lokasinya di Muara Ciliwung. Tampak perkembangan permukiman kota itu dalam dekade pertamanya.
Penyebutan sepetak kawasan di Muara Ciliwung ini memiliki sejarah panjang tentang dinamika penyebutan sebuah kota. Pada masa Kerajaan Pajajaran, kota pelabuhan ini dijuluki Sunda Kelapa. Setelah ditaklukkan Kesultanan Banten, ia berganti nama menjadi Jayakarta. Berikutnya, Batavia menggantikan Jayakarta setelah penaklukkan Belanda. Terakhir, sejak pendudukan Jepang pada 1942, kota ini bernama Jakarta—sampai sekarang.
Rupa Kota Batavia merupakan jawaban atas tantangan yang dihadapinya pada 400 tahun silam: berbenteng, bertembok kota, dan permukiman bersabuk kanal. Kini, rupa kota itu mungkin telah menjelma sebagai kota modern, namun kadang kita bisa merasakan adanya gairah warganya terkait toponimi lamanya. Dari jejak budaya sebuah kawasan atau seruas jalan, kita pun mengetahui jantung atau pembagian ruang kota.
Saat singgah ke sebuah kota, di mana pun itu, kita bisa menyusurinya dengan berjalan kaki atau berbincang dengan warganya. Kadang, kita akan menemukan persepsi warga yang lebih segar terkait kota yang mereka huni.
Baca juga: Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai "Kota Tahi"
Belakangan ini kita bisa mengamati menjamurnya komunitas di beberapa kota yang menggelar diskusi-diskusi tentang riwayat kota dan persoalan tentang pelestariannya. Sebuah kota muncul dan berkembang bukan untuk dikagumi belaka. Ketersediaan akses, infrastruktur, fasilitas publik, dan aglomerasi ekonomi merupakan latar yang memengaruhi perkembangan suatu kota—baik direncanakan maupun tidak direncanakan. Kini, seberapa jauh peran kota dalam melayani kebutuhan warganya menjadi salah satu indikator kota yang layak huni.
Sebagai warga, kita kerap melewatkan pemahaman soal keruangan. Padahal, penataan kawasan mungfkin akan menghidupkan kembali jiwa kota. Forum diskusi yang digelar warga demi menelusuri jejak kota mereka dan memahami ruang yang berubah merupakan bagian dari pencarian kesejatian jiwa kota.
Sebagai toponimi, Batavia memang sudah punah. Namun, sebagai awal peradaban kota modern di Muara Ciliwung, Batavia masih berlanjut. Namanya telah menginspirasi narasi komunitas-komunitas sejarah dan budaya kota ini. Sejatinya warga Jakarta pun masih menghadapi persoalan yang sama dengan warga Batavia silam. Perkara utamanya, menurut saya bukan pada nama, melainkan semangat mewujudkan kota cerdas yang nyaman dihuni. Kini, tantangan warganya adalah menemukan kembali jiwa kota.
Beberapa waktu silam, kami berbincang bersama kawan-kawan dari APIK—Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan, yang didukung USAID. Takdir Jakarta sebagai salah satu kota yang rawan petaka. Setiap tahun, kota ini menghadapi ancaman bencana hidrometeorologi. Kenaikan muka air laut, banjir, sampai menyusutnya air tanah yang dibarengi amblesnya sebagain daratannya. Penyebabnya berbagai faktor: alam dan perilaku warganya.
Baca juga: Gemerlap Para Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC
Belakangan, kota ini semakin rawan karena ancaman dampak perubahan iklim global terhadap meningkatnya risiko kesehatan warganya. Dampaknya bisa beragam menurut usia, jenis kelamin, geografi, dan status sosial ekonomi warganya.
Kini, warganya perlu waspada tentang dampak temperatur, curah hujan, dan kelembapan yang meninggi. Tingginya indikator ini akan mendorong munculnya ragam penyakit tropis. Jakarta memerlukan panduan untuk selamat. Kita berharap kota ini tumbuh semakin cerdas dan ramah bagi penghuninya.
Kita pun menengok catatan kota ini pada awal November 1628. Dalam suasana kacau pascapenyerangan pertama pasukan Mataram ke Batavia, Coen menulis penuh harap, “Semoga Yang Mahakuasa melindungi Batavia terhadap segala malapetaka!”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR