Sepanjang interaksi dengan sesama keluarga besar Papua di Jawa tahun 1990-an, penulis dan sesama warga Papua selalu membahasakan diri dengan sebutan “masyarakat” untuk menyebut komunitas kami, tanpa membedakan warna kulit meski penulis tidak berdarah Papua.
Aktivitas makan, tidur, hingga bekerja sama dalam satu atap membuat hubungan semakin erat dan penggunaan kata “masyarakat” untuk membahasakan diri kami semua menjadi penting.
Kesetaraan dan persaudaraan masyarakat Papua berjalan lintas warna kulit dan agama. Semisal, tokoh Papua, Thaha Al Hamid yang seorang muslim, dihormati setara dengan para pemimpin adat Papua yang lain.