Burung Murai Batu Terancam Punah, Akankah Kita Akan Kehilangan Penyanyi Unggas Paling Merdu?

By Mahmud Zulfikar, Kamis, 22 Agustus 2019 | 16:54 WIB
Burung murai batu ((foto antara/triono subagyo))

Nationalgeographic.co.id - Bagi para pecinta burung tentu tidak asing dengan jenis burung Murai Batu. Burung yang dikenal sebagai penyanyi asal Asia Tenggara ini dikabarkan akan punah.

Kabar sedih ini tentu tidak ingin terjadi kepada siapapun yang menggantungkan hidup dari ekosistem bisnis burung.

Burung Murai Batu memang tidak memiliki jenis warna bulu sebanyak burung lovebird, tapi kicauan merdu suaranya bikin hati adem mendengarnya.

Dilansir dari Kompas.com, ebuah analisis baru memaparkan, perdagangan burung murai batu (Copsychus malabaricus) di Asia Tenggara dalam beberapa dekade mengalami peningkatan.

Habitat burung murai batu tersebar di pelosok Pulau Sumatera, Semenanjung Malaysia, dan sebagian Pulau Jawa.

Baca Juga: Lebih Dari 11 Ribu Burung Alami Kematian Massal dan Jatuh dari Langit

Penggemar burung yang terus bertambah membuat perburuan burung ikut meningkat. Kecintaan masyarakat kepada burung Murai Batu untuk dipelihara ataupun dijadikan sebagai peserta lomba kicau semakin menjamur.

Hal inilah yang menyebabkan banyak spesies di alam liar mulai menemui kondisi terancam punah.

Spesies yang sudah menghilang pun tidak sedikit. Terhitung sudah 24 spesies berpindah dari habitat aslinya di wilayah Asia Tenggara akibat tingginya angka perburuan burung untuk diperjualbelikan.

"Permintaan yang tinggi untuk burung penyanyi di Asia Tenggara dan berkurangnya populasi mereka bukan lagi hanya masalah domestik. Ini telah menjadi masalah internasional yang harus diperhatikan," kata Kanita Krishnasamy, Direktur TRAFFIC Asia Tenggara dikutip dari Kompas.com.

Baca Juga: Polusi Sampah, Foto Ini Tunjukkan Induk Burung Beri Makan Anaknya Puntung Rokok

Terdapat 4.280 ekor murai batu diselundupkan dari Malaysia ke Indonesia pada Juli 2017. Pada tahun 2019, setidaknya 1.627 ekor ditangkap dalam empat insiden baik di Indonesia dan Singapura.

Tingginya permintaan untuk membeli dari daerah-daerah seperti Jawa, Bali, Lombok dan Kalimantan. Hal ini telah diteliti oleh lembaga TRAFFIC, Monitor, YPI, Oxford Wildlife Trade Research Group, WWF Malaysia, Universitas Gadjah Mada dan PERHILITAN. "Banyaknya penyitaan yang kami lakukan dalam dekade terakhir membuktikan bahwa ini adalah masalah yang mengkhawatirkan. Kita nampaknya akan kehilangan burung ini, meskipun nantinya, peraturan perdagangan berlisensi akan dibuat," ujar Dato Abdul Kadir bin Abu Hashim, Direktur Jenderal Departemen Margasatwa dan Taman Nasional, Semenanjung Malaysia. (Kompas.com/Farren Anatje Sahertian)