Toko Djoen: Mencecapi Rasa Khas Roti Lawas di Ketandan Yogyakarta

By Agni Malagina, Kamis, 22 Agustus 2019 | 16:06 WIB
Dapur toko roti Djoen beroperasi setiap hari membuat roti segar. Tiga serangkai personelnya memulai kegiatan meracik, membuat adonan dan memanggang sejak pukul 9 pagi. Setidaknya mereka telah bekerja dan menjadi bagian dari keluarga toko Djoen sejak 40 tahun silam. (Sigit Pamungkas)

Widowati menunjukkan cagayan resep Cake Tan Ing Hwat. Widowati mengaku terkejut menemukan resep tersebut. Ia bermaksud akan mencoba mengolah resep roti karya sang ayah. (Sigit Pamungkas)

 Obrolan saya dengan Emak dan Mbak Widowati semakin seru. Bermacam cerita tentang perkembangan Ketandan Malioboro pun muncul dari ingatan Emak dan putrinya. “Kami ya begini-begini saja. Kalau ada kejadian bencana di kota seperti ketika kampung Kantil kebakaran ya kami cuma bisa nyumbang roti. Waktu Sultan wafat dulu pun kami cuma bisa nyumbang roti. Waktu Engkong dan papine Engkong meninggal ya Sultan datang melayat,”kenang Emak.

“Pelanggan toko Djoen ini ya orang-orang kuno atau turunannya, sekarang ya begini ini. Mesin ya listriknya habis besar, tenaga yang bikin ya tinggal sedikit, kami bisanya begini,”ujar Widowati yang berencana memanbah meja di sudut tokonya agar pelanggan atau tamunya dapat bersantai makan roti sambil menikmati minuman rasa rootbeer khas Yogyakarta bermerk Sarparella.

Siang itu, seorang pakar kuliner di Indonesia singgah berkunjung ke Toko Djoen. Tendi Nuralam seorang pengusaha kuliner pun memberikan saran kepada suksesor Toko Djoen. "Toko Djoen sudah punya nama besar, tur di toko roti ini bisa menarik sambil makan roti, sambil melihat proses pembuatannya dan mendengar cerita sejarah toko serta Yogyakarta," ujar Tendi.

Tendi Nuralam (kanan) dan koleganya tengah berdiskusi dengan cucu pemilik Toko Djoen mengenai pengembangan dan kekuatan wisata kuliner. (Sigit Pamungkas)

"Dibuat storytellingnya, rotinya dikemas tanpa plastik, bisa juga ada kafe sederhana dengan kreasi roti tawar Djoen dengan isian dan lainnya. Mesin dan tungku jadulnya pun menarik, itu sejarah. Kuat nilai historisnya, layak dikunjungi wisatawan,"ujar Tendi yang juga Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah Religi Seni Tradisi dan Budaya, Kementerian Pariwisata Republik Indonesia yang juga menyarankan beberapa hal terkait efesiensi produksi.

"Mesin dan tungku yang sekarang itu makan energi besar. Bisa memakai mesin kecil dan bisa membuat roti beberapa kali produksi sehingga segar terus sampai malam, lebih efesien,"ujarnya diamini oleh Widowati yang memang ingin memulai langkah efesiensi. 

"Butuh bahan bakar banyak untuk tungku itu,"ujar Widowati. 

Ya, dapur Toko Djoen istimewa! Mesin lawas import, tungku pembakaran raksasa, cetakan kuno yang bertahan selama lebih dari 5 dekade, pekerja yang hafal resep  tanpa catatan menjadi salah satu keistimewaan kisah Toko Djoen.

Toko Djoen terletak di pusat keramaian Jalan Malioboro. (Sigit Pamungkas)

Tak lama, seorang pelanggan masuk. Ia langsung memesan roti pisang beberapa bungkus dan sebungkus roti tawar. Namanya Agus, rupanya ia dan orangtuanya adalah pelanggan tetap roti Djoen. “Saya kenal Djoen ya sejak kecil, favorit saya ya roti pisang,”ujar Agus yang juga menantu keluarga pemilik sebuah restoran lawas termana, Mahkota – restoran di Jalan Pajeksan yang terkenal dengan menu Mi Kakap. “Ya beberapa kuliner di Ketandan dan Pajeksan yang kuno-kuno masih ada. Djoen, Mahkota, mi Ketandan. Oiya, ada Li Djiong juga di dekat klenteng Gondomanan,”ujar Agus sambil menambahkan kenangan masa kecilnya tentang Ketandan, pecinan Yogyakarta yang termasuk menjadi bagian kota tua dengan aset bangunan kunonya yang melimpah walau beberapa diantaranya telah direvitalisasi dan bahkan berganti wajah.  

Ketandan Yogyakarta memang menyimpan aneka kisah ingatan masa lalu dari warganya. Ketandan pun menjadi bagian penting dari perkembangan kota Yogyakarta di kawasan teramai Kota Pelajar dan Kota Batik itu. Semoga Ketandan tetap lestari!