Neef, selain menangkap ikan dengan bubu, juga bertugas mengambil data kualitas air dari dua sensor saat kami mendayung ke hilir. Dan dia mengurus fotografi kontinu—satu kamera 360 derajat di atas tripod, ditambah dua DSLR yang terpasang di haluan mokoro, mengambil gambar dengan interval lima menit. Pada malam hari di kamp, Neef memasang detektor kelelawar, yang kemudian digunakan untuk mengidentifikasi spesiesnya. Anggota ekspedisi lainnya mencatat data burung, reptilia, serta aktivitas manusia. Boyes sendiri merupakan kepala ahli ornitologi kedua sungai itu. Dia menyebutkan burung yang terlihat, yang dicatat ahli biologi muda dari Angola, Kerllen Costa, di tablet beserta data lokasi GPS. Adik perempuan Costa, Adjany, adalah ahli iktiologi dan National Geographic Emerging Explorer; juga asisten direktur proyek itu. Saat tidak berada di salah satu mokoro ekspedisi, dia bertugas sebagai penghubung dengan pejabat Angola. Tim Boyes juga melibatkan tenaga lapangan dari Zimbabwe, Afrika Selatan, Namibia, AS, dan tentu saja Botswana, tempat asal juru mudi mokoro paling terampil, yang direkrut langsung dari Delta Okavango.
Nama asli kapten mokoro saya adalah Tumeletso Setlabosha. Tetapi, semua orang memanggilnya Water. Lelaki kecil kuat dari suku Wayeyi tersebut dibesarkan di delta pusat. Ibunya memanggilnya demikian karena dia dilahirkan di sebuah kolam, saat bepergian melintasi laguna. Saat ditanya usianya, Water menjawab bahwa di darat umurnya 54, tetapi “ketika mendayung, umur saya 25.” Dia membiarkan saya berada di haluan perahunya selama seminggu, terkagum-kagum, mencatat, dan berusaha mendayung semampu saya.
Jarang terlihat kehadiran manusia di sepanjang hulu Cubango, sekalipun perang telah berakhir dan orang dapat kembali ke desa mereka di pedalaman selatan yang dahulu dikuasai pemberontak UNITA. Mendayung melintasi gelagah di kedua tepian, sesekali kami melihat mokoro di pantai, kampung nelayan yang sepi, wanita mencuci pakaian atau membuat tuak (kashipembe) dari buah eboni afrika atau buah liar lainnya secara sederhana—dan kemudian, kian ke hilir, semakin banyak orang dan perahu. Pada malam hari, kami mendengar deru mesin truk di jalan tanah buruk tetapi penting di tepi sungai. Jalan itu mengarah ke perbatasan dengan Namibia, mobil masuk membawa kebutuhan sehari-hari sementara kendaraan keluar membawa kayu Angola. Selain kayu dan daging buruan ilegal serta air, tidak banyak yang bisa ditawarkan Lembah Cubango kepada dunia. Sepertinya belum ada yang menemukan berlian atau emas atau minyak di sudut Angola ini. Air bersih: Itulah minyak dan emasnya.
Suatu hari sekitar tengah hari, kami mendarat di tepian di hulu jeram kecil, dan karena mokoro yang bermuatan penuh terlalu rentan dan sulit dikendalikan di jeram, kami mencari jalur terbaik dari darat. Saat berjalan, Boyes melihat perangkap kuda nil dari kawat tebal, disamarkan dengan batang gelagah. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada lolongan kuda nil terjerat, katanya, lalu dia memotong kawat itu dengan tangnya. Boyes sangat bersimpati terhadap kebutuhan masyarakat di sepanjang Sungai Cubango, dan dia menyadari bahwa perbaikan kualitas kehidupan mereka harus menjadi bagian dari perlindungan kedua sungai itu, aliran airnya, kekayaan biologis Angola tenggara, serta Delta Okavango. Tetapi kuda nil, yang dagingnya dimakan dan giginya dijual sebagai gading, adalah komoditas terlarang yang tidak dapat dipanen secara berkesinambungan dari Cubango.
Suatu hari, kami mendarat lebih awal untuk menghindari berkemah di dekat desa Savate, yang masih banyak ranjau darat di sekelilingnya. Kami menepi di hulunya, di tepian tanah itu alih-alih ranjau darat, tahi sapilah yang meranjau kami. Anak-anak menonton kami menurunkan seabrek perlengkapan—tenda, meja, kotak makanan, ransel, bangku lipat, perlengkapan elektronik canggih. Kaum wanita datang ke tepian ini membawa pakaian kotor untuk dicuci, dan harus bekerja di antara sampan kami. Seekor keledai yang ditambatkan merumput tidak jauh dari situ. Keledai merupakan barang mewah di tempat ini. Setelah matahari terbenam, saat makan malam berupa kacang dan nasi diangkat dari api unggun dan menebarkan bau lezat, anak-anak itu telah menghilang. Saya bertanya-tanya apa kesan mereka terhadap kami.
Dilihat dari cessna, 150 meter di atas Botswana utara, Delta Okavango menyerupai hamparan permadani dengan motif garis, kotak, dan lingkaran, yang sebagian besar berwarna hijau dan cokelat. Air laguna nyaris tampak hitam dari atas. Batang sungai dan keloknya terlihat berkilau saat memantulkan sinar matahari sore yang hampir tenggelam. Di tengah pulau-pulau kecil, dikelilingi pepohonan, terlihat warna putih endapan garam. Di atas kita bisa merasakan cara air menyentuh dan mengukir serta membentuk tanah seiring waktu. Air membuka jalur baru, menutup yang lama, naik dan surut seiring musim, memenuhi cekungan, kemudian mengering, mengepung pulau-pulau, dan dengan demikian membentuk ekosistem yang luar biasa. Demikian cara saya memandang delta itu, setelah berkunjung ke Angola, berkat John “Tico” McNutt, ahli biologi konservasi kawakan dari Amerika.
McNutt, teman dari teman saya, menjemput saya di bandara kecil di Maun yang melayani wisata Okavango dan menerbangkan kami ke kamp penelitian tempat dia bekerja selama hampir tiga dekade, meneliti anjing liar Afrika yang terancam punah. Dia sangat memahami dinamika ekologi dan politik delta itu. Selain menunjukkan kawanan anjing di darat, selama empat hari dia memberi saya perspektif dari udara dan memberi penjelasan.
Kami melihat kawanan besar lechwe (antelop), busut anai-anai di tengah pulau-pulau kecil, jalur kuda nil seperti bekas cakar di bantaran banjir, dan bayangan gajah yang memanjang menjelang petang hari.
“Tidak ada burung pemakan bangkai,” komentarnya. “Biasanya bertengger di petak palem ini—dahulu penuh burung nasar.”