Delta Okavango Afrika Yang Kini Terancam

By National Geographic Indonesia, Selasa, 3 September 2019 | 10:55 WIB
Pola air dan tanah yang rumit dan senantiasa berubah, menunjang kehidupan margasatwa dan tumbuhan yang berlimpah di Delta Okavango di Botswana. Gajah menambah dinamikanya dengan membuka jalur yang menjadi saluran air. (Cory Richards)

Nationalgeographic.co.id - Ekspedisi ambisius melalui salah satu wilayah delta besar di dunia mengungkap ancaman yang dihadapi dan kekayaan hayati yang dimilikinya.

Kisah ini ditulis oleh David Quammen dan difoto oleh Cory Richards. 

Dilihat dari luar angkasa, jauh di atas Afrika, Delta Okavango menyerupai kembang dahlia raksasa yang ditempelkan ke bentang alam Botswana utara. Tangkainya menjuntai ke tenggara dari perbatasan Namibia, kelopaknya berisi air kemilau dan membentang 150 kilometer di Cekungan Kalahari. Inilah salah satu lahan basah terluas di bumi, rangkaian kolam musiman, danau, serta aliran sungai, membawa kehidupan di tengah wilayah yang sangat kering di benua ini.

Delta ini tidak mengalir ke laut. Aliran airnya tertahan seluruhnya di cekungan itu, terhenti di pantai tenggara dan menghilang ditelan padang pasir Kalahari. Tempat ini bisa dianggap sebagai oasis terbesar di dunia. Suaka basah yang menghidupi gajah, kuda nil, buaya, dan anjing liar; serta antelop lahan basah lainnya; warthog dan kerbau, singa dan zebra, serta berbagai kawanan burung. Belum lagi industri pariwisata yang bernilai triliunan rupiah setiap tahunnya. Namun, dari ketinggian, kita tidak dapat melihat anjing liar berteduh di bawah semak berduri atau ekspresi bahagia di wajah pengunjung. Hal lain yang tidak dapat kita lihat adalah sumber airnya.

Baca Juga: Menyelamatkan Delta Kayan Sembakung

Hampir seluruh airnya berasal dari Angola, negeri penuh konflik yang terpisah dua negara dari Botswana. Mata airnya berasal dari dataran tinggi tengah Angola yang banyak hujan dan mengalir ke tenggara, alirannya cepat di satu daerah aliran sungai utama, Cubango, dan lambat di DAS lainnya, Cuito, tempat airnya terkumpul menjadi danau. Meresap perlahan melalui bantaran banjir berumput, lapisan gambut, dan pasir di bawahnya; lalu merembes ke anak sungai. Sungai Cuito dan Cubango bertemu di perbatasan selatan Angola, membentuk sungai yang lebih besar, Okavango, yang mengalir melintasi Jalur Caprivi, tanah Namibia yang menjorok ke timur, dan masuk ke Botswana. Setiap tahun, rata-rata 9,4 triliun liter air mengalir ke sini. Jika anugerah air terhenti, lenyap pulalah Delta Okavango. Tempat itu akan berubah, dan tidak ada lagi kuda nil atau elang-laut Afrika.

Kuda nil, yang berlimpah di delta dan di sungai yang bermuara ke sana, merumput di darat pada malam hari dan beristirahat dalam air saat siang. Jantan berkelahi memperebutkan wilayah, sedangkan betina melindungi anak-anak. Gigi taringnya mematikan bagi penyusup. (Cory Richards)

Perubahan di Angola tenggara yang sedang atau diperkirakan akan terjadi—membuat bayangan suram ini semakin nyata. Itulah sebabnya Sungai Cuito dan Cubango, diam-diam mencuri perhatian kalangan tertentu. Itulah sebabnya sekelompok ilmuwan, pejabat pemerintah, perencana sumber daya, dan penjelajah muda tangguh, yang dimotori oleh ahli biologi konservasi Afrika Selatan bernama Steve Boyes, dengan dukungan National Geographic, memulai upaya eksplorasi, pengumpulan data, dan advokasi konservasi yang disebut Okavango Wilderness Project. Mereka menyadari bahwa masa depan Delta Okavango terancam—dan demikian pula masa depan Angola tenggara. Namun, kondisinya lebih memprihatinkan.

“Kita tak punya waktu lagi,” tutur Boyes, sambil duduk di perkemahan di tepi Sungai Cubango awal tahun ini setelah seharian mengayuh mokoro (sampan khas Okavango) ke hilir. Dibesarkan di Johannesburg, dengan kecintaan akan alam yang besar, Boyes bertahun-tahun menekuni berbagai pekerjaan—bartender di pabrik anggur, naturalis dan pemandu, serta manajer kamp di Delta Okavango. Sementara itu, dia menuntut ilmu sampai meraih gelar doktornya. Pada 2007, dia mengetahui masalah sumber air tersebut dan mencoba untuk mengingatkan orang-orang di Botswana tetapi kebanyakan cuma pasrah.

“Mereka sama sekali tidak tertarik,” katanya, sambil mengingat reaksi yang biasa ditemuinya: Ya, Angola memang tempat mengerikan, dan sayang sekali kalau sungai itu mati. Itu memaksanya bertindak. “Kita akan membereskannya,” dia bersumpah. “Kita akan berusaha memahami dan mempelajari cara kerja sistem ini.” Sebenarnya dia berharap tidak sekadar mampu memahaminya, tetapi juga dapat membantu melestarikannya.

Okavango Wilderness Project dari National Geographic adalah upaya menyurvei dan membantu melindungi daerah hulu delta. Proyek ini dimulai pada 2015 melalui sebuah ekspedisi di Sungai Cuito di Angola. Karena lintasan di dekat sumber airnya begitu sempit, sampan tim yang sarat muatan harus dihela selama delapan hari. (Cory Richards)

Sulit dibayangkan, pada 2017 Angola menjadi tempat untuk upaya konservasi visioner, tetapi ini juga memberikan kesempatan yang tidak biasa. Negeri jajahan Portugis ini meraih kemerdekaannya pada 1975 setelah perang kemerdekaan yang sengit, lalu dirundung perang saudara selama 27 tahun. Medan perang tidak langsung antara negara adidaya ini, bertaburan ranjau darat. Negeri ini penuh penderitaan dan juga perselisihan.

Untungnya, keadaan berubah drastis sejak 2002, ketika pihak pemberontak, UNITA, mengalami kekalahan telak. Setelah itu ekspor minyak berjalan lancar dan bisnis pun meledak. “Hal terpenting yang harus kami sampaikan kepada dunia adalah bahwa Angola sekarang negara yang stabil,” kata menteri lingkungan, Maria de Fátima Monteiro Jardim, kepada saya baru-baru ini di sebuah pertemuan di Luanda, ibu kota negara itu. “Kami berkomitmen untuk melestarikan alam,” katanya. Dampak komitmen itu terhadap kenyataan di lapangan masih perlu pembuktian.