Delta Kayan Sembakung di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) pernah menjadi rumah bagi vegetasi mangrove. Kini, akibat tata kelola wilayah yang kurang cermat, hutan mangrove tersebut telah berganti menjadi kawasan tambak udang windu.
Selama ini, Provinsi Kaltara telah dikenal sebagai salah satu daerah utama penghasil udang windu (Penaeus monodon) di Indonesia. Hingga tahun 2016, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kaltara mencatat, luasan lahan tambak di provinsi tersebut telah mencapai 149.958 Ha. Tambak-tambak tersebut sebagian besar terletak di Delta Kayan Sembakung dan berada di dalam kawasan hutan.
Luasnya lahan tambak yang telah dibuka di kawasan Delta Kayan Sembakung menyebabkan penurunan jumlah luasan ekosistem mangrove dan fragmentasi habitat secara masif. Padahal, ekosistem mangrove memegang peranan vital bagi keseimbangan lingkungan dan sangat penting keberadaannya bagi para petani-petani udang windu.
Ekosistem mangrove berfungsi sebagai benteng alam yang menahan laju abrasi dan melindungi kawasan daratan dari bencana geofisik seperti tsunami. Selain itu, hutan mangrove juga menjaga kelestarian ekologis, dengan menjadi habitat alami bagi satwa, mulai dari serangga, udang windu, hingga mamalia besar seperti bekantan (Nasalis larvatus).
Menyusutnya ekosistem mangrove akibat pembukaan tambak menyebabkan penyempitan habitat, sehingga mengancam kelestarian satwa-satwa liar. Selain itu, degradasi kualitas lingkungan kawasan Delta Kayan juga berdampak buruk terhadap produksi udang windu.
Laporan penelitian yang ditulis oleh tim ahli Universitas Mulawarman Samarinda memaparkan, kerusakan ekosistem mangrove menyebabkan produksi udang windu menurun drastis dari 12.724 ton pada tahun 2011 menjadi hanya 457,90 ton pada tahun 2012. Kondisi ini tak banyak berubah pada tahun 2013 dan 2014, dengan total produksi hanya 723,30 dan 539,90 ton.
Penurunan hasil tambak bukan satu-satunya dampak buruk yang terjadi akibat praktik budidaya perikanan yang tidak ramah lingkungan. Udang windu yang berasal dari Delta Kayan juga terancam kehilangan pasar internasional jika tidak memenuhi persyaratan sertifikasi produk budidaya perikanan yang berkelanjutan. Pasalnya, saat ini tren pasar dunia mensyaratkan produk perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan (Sustainable & Responsible Fisheries), hal ini akan berdampak luas khususnya pada petambak.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan terkait legalitas lahan, tata kelola kawasan (konservasi dan budidaya perikanan), dan tata kelola niaga budidaya perikanan di Delta Kayan Sembakung, Pemerintah Kaltara telah memulai revitalisasi pengelolaan di delta tersebut. Upaya revitalisasi dilakukan bersama dengan berbagai pihak termasuk program kerja sama bilateral pemerintah Indonesia dan Jerman, Forests and Climate Change Program (FORCLIME). FORCLIME Kerja Sama Teknis (TC) adalah program yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dan GIZ, dan didanai oleh Kementerian Federal Jerman untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ).
Revitalisasi tersebut penting dilakukan agar peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat bisa berjalan selaras dengan pelestarian lingkungan di Delta Kayan Sembakung.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR