Belajar Tentang Perbedaan dari Suku Korowai di Papua

By National Geographic Indonesia, Kamis, 29 Agustus 2019 | 15:27 WIB
Suku Korowai. (Irfan Nugraha)

Nationalgeographic.co.id - Umpatan nama binatang yang digunakan oknum anggota organisasi masyarakat (ormas) dan aparat untuk mengintimidasi mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, selain melahirkan gelombang solidaritas #kamibukanmonyet, juga menyulut rusuh di berbagai kota di Indonesia.

Peristiwa di Surabaya bukan kali pertama menimpa orang Papua. Sebelumnya sempat juga terjadi di Malang, Jawa Timur; Semarang, Jawa Tengah; dan Yogyakarta. Selain politis, sebagian musababnya soal sepele atau salah paham.

Sikap terhadap kelompok orang yang berbeda ini cenderung mengarah pada penolakan atau bahkan kekerasan. Padahal menurut riset saya, orang Papua cenderung terbuka terhadap perbedaan.

Masyarakat Indonesia banyak yang memiliki persepsi orang Papua sebagai orang yang sulit bergaul atau beradaptasi , dan persepsi ini yang menguat belakangan.

Pola hidup sebagian orang Papua yang masih sederhana dikaitkan anggapan bahwa orang Papua sulit menghadapi perbedaan. Namun benarkah, demikian?

Koroway yang lestari sekaligus terisolasi

Pada 2017, saya bersama melakukan riset pada komunitas Koroway (Korowai) di Kampung Yafulfa, Boven Digul, di selatan Papua dengan metode etnografi mengenai kelestarian arsitektur tradisional rumah pohon (luop haim) serta memahami praktik tradisi di tengah dinamika sosial-ekonomi yang terjadi di papua.

Dalam penelitian yang saya lakukan, saya juga melihat bagaimana komunitas pedalaman Koroway masih bisa menghargai perbedaan meski hidup dalam lingkungan yang terisolir. Riset saya menunjukkan bahwa pada komunitas yang masih hidup bersahaja ini, mereka cukup bisa menerima perbedaan.

Suku Koroway baru melakukan kontak dengan dunia luar pada tahun 1978 saat bertemu misionaris Belanda dan sebelumnya hidup tersebar di bolup (area bermukim dan tempat berburu sesuai marga).

Bolup tetap ada sebagai area berburu dan meramu, serta menjadi lokasi untuk menyaksikan pesta ulat sagu atau rumah tinggi.

Meskipun orang Koroway sudah merasakan program pemberdayaan komunitas adat terpencil dari Kementerian Sosial, hidup mereka masih terisolasi. Akses jalan darat dan fasilitas pendidikan serta kesehatan terbatas.

Keterisolasian itu menciptakan situasi keterasingan yang unik, sehingga proses interaksi orang Koroway dengan yang liyan tidaklah intensif.

Lantas, apakah situasi orang Koroway yang sangat sedikit bersentuhan dengan dunia luar membuat mereka bereaksi keras terhadap sesuatu yang berbeda? Riset saya menyatakan sama sekali tidak tidak.