Saya bersama peneliti lainnya masuk ke dalam hutan untuk melihat keseharian hidup orang Koroway ketika berada di dalam bolup. Pada satu kesempatan di bolup, salah satu anggota tim peneliti meminta ijin untuk menunaikan sholat.
Islam sudah akrab terdengar oleh banyak orang Koroway, tapi mereka tidak pernah menyaksikan seperti apa dan bagaimana Islam itu. Islam adalah sesuatu yang benar-benar asing dan jelas berbeda bagi orang Koroway.
Lantas, bagaimana reaksinya? Apakah rekan peneliti saya kemudian dilarang untuk menggelar sajadahnya?
Rupanya tidak. Pemuka marga mempersilakan anggota tim untuk menjalankan ibadahnya. Orang Koroway memperlakukan dia dengan penuh hormat.
Usai ritual sholat, barulah orang Koroway bertanya mengenai ritual yang baru kali pertama mereka saksikan. Mereka berkesimpulan, “Oh, sama seperti kami; kami juga beribadah. Hanya beda saja caranya.”
Bahkan, orang Koroway dapat secara spontan mencari titik temu persamaan dari perbedaan itu: jika kami beribadah, maka orang lain pun sama, hanya saja caranya berbeda. Bukan suatu permasalahan.
Interaksi spontan itu menunjukkan tidak adanya pertentangan antara pola hidup tradisional dengan pola interaksi dalam konteks keberagaman.
Kekerasan karena perbedaan
Di Indonesia, persepsi perbedaan yang berujung rasisme jarang dipermasalahkan.
Misalnya, pandangan merendahkan soal orang Papua suka mabuk, bahkan soal aroma tubuh mereka tidak jarang terucap. Sebagian kita tetap melihat rasisme terhadap mahasiswa Papua ini suatu tindakan yang normal.
Ini tidak lain karena seringkali sentimen kebencian hadir dalam persoalan yang begitu dekat dan lekat dengan keseharian kita, sehingga kita tidak mengkritisinya dan menganggapnya sebagai pola interaksi yang wajar.
Padahal seringkali perbedaan persepsi ini bisa menimbulkan kekerasan.
Hal ini karena pemerintah gagap dalam merespons rasisme terhadap Papua.